Kamis, 22 Desember 2016

Naskah Drama Pada Suatu Hari Bagian 1

Naskah drama ini merupakan salah satu karya : Arifin C. Noer

Para Tokoh:
Nenek
Kakek
Pesuruh
Janda, Nyonya Wenas
Arba, Sopir
Novia
Nita
Meli
Feri


SANDIWARA INI DIMULAI DENGAN MENG-EXPOSE LEBIH DULU:
1. POTRET KAKEK  DAN NENEK KETIKA PACARAN
2. POTRET KAKEK  DAN NENEK KETIKA KAWIN
3. POTRET KAKEK  DAN NENEK DENGAN ANAK-ANAK
4. POTRET KELUARGA BESAR
5. POTRET KAKEK  TUA
6. POTRET NENEK TUA
7. MAIN TITLE ETC-ETC

Kakek  dan Nenek duduk berhadapan.
Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum. Suatu saat mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang pemuda dan pemudi. Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu beberapa saat saling memandang, tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan, seperti pepasang pengantin, malu-malu dan sebagainya, demikian seterusnya..


TIGA
Kakek    Sekarang kau nyanyi.
Nenek                   (menggeleng sambil tersenyum manja)
Kakek    Seperti dulu.
Nenek                  (menggeleng sambil tersenyum manja)
Kakek    Nyanyi seperti dulu.
Nenek                   (Malu)
Kakek    Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek                   Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi.
Kakek    Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau lagi.
Nenek                   Saya tidak mau menyanyi.
Kakek    Kapanpun?
Nenek                   Kapanpun.
Kakek    Juga untuk saya.
Nenek                   Juga untuk kau.
Kakek    Sama sekali?
Nenek                  Sama sekali.
Kakek    Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar kau
menyanyi.
Nenek                   Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak ada gunanya.
Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu.
Kakek    Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang salah saya.
Tetapi kalau sejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya memang sangat memainkan kau, tentu kau bisa memaafkan segala macam ejekan-ejekan saya. Tuhan, saya kira saya akan menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang menyanyikan sebuah lagu ditelinga saya.
Nenek                   Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi segala-galanya berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek    Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji.
Nenek                   Tentu, tentu.
Kakek    Kau mau menyanyi.
Nenek                   Tentu, sayang, tentu.
Kakek    Kapan?
Nenek                   Suatu ketika.
Kakek    Sebelum saya mati?
Nenek                   Ya, sayang, ya, sayang.
Kakek    Sekarang.
Nenek                   Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta beberapa hari yang lalu?
Kakek    (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang.
Nenek                   Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya sakit.
Kakek    Kau melebih-lebihkan.
Nenek                   Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu kau tahu.
Kakek                    Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya akui. Saya minta dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur saya…….
Nenek   Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga berhenti menyebut-nyebut soal kematian.
Kakek    Maaf, tidak lagi.
Nenek                   Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat.
Kakek    Apa?
Nenek                   Kau harus menyanyi.
Kakek    (menggelengkan kepalanya)
Nenek                   Kalu begitu, kau tak saya maafkan.
Kakek    Dan sorga saya…?
Nenek                   Mungkin, tertutup.
Kakek    Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya batuk.
Nenek                   Tidak. Satu lagu.
Kakek    Nanti batuk.
Nenek                   Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi. Dan kau selalu menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa batuk.
Kakek    Satu lagu?
Nenek                   Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang penyanyi.
(Kemudian Kakek  menyanyi du tiga baris dari no other love stand – chen Schubert atau lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir Nenek bertepuk tangan dengan semangat.)
Nenek                   Suara kau tidak pernah berubah.
Kakek                    Mana album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya menyanyi di depan umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau ingat kapan itu.
Nenek                   Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu.
Kakek    Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya.
Nenek                   Habis pandangan kau nakal.
Kakek     Habis kau juga suka mencuri pandang.
Nenek                   Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium saya.
Kakek                    Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.

EMPAT
Pesuruh               Ada tamu, nyonya besar.
Nenek                   Siapa?
Pesuruh               Nyonya Wenas, nyonya.
Nenek                   (Melirik pada Kakek ) Nyonya janda itu (kepada pesuruh) Sebentar saya ke depan.
Pesuruh exit.
Nenek                   Kau surati dia?
Kakek    Tidak.
Nenek                   Kau bohong. Bagaimana dia bisa tahu tentang pesta kita?
Kakek    Saya tidak tahu.
Nenek                   Kau bohong (Exit) Demam saya mulai kambuh.

LIMA
Kakek    Seharusnya dia tidak perlu datang kemari.
\                              Kemudian Kakek  mondar-mandir sambil bersungut-sungut.
Kakek                    Saya takut dia betul-betul demam karena kedatangan janda itu. Ah. Lebih baik saya menyingkir ke ruang baca. (Exit)

ENAM
Nenek                   Kami sangat berharap sekali nyonya hadir kemarin. Suami saya juga heran kenapa nyonya tidak datang kemudian.
Janda                    Kami sakit.
Nenek                   Kami? Maksud nyonya….
Janda                    Ya, saya dan anjing saya sakit. Setiap kali saya sakit anjing saya juga ikut sakit. Saya agak senang karena sekarang saya agak sembuh, tetapi Bison agak parah sakitnya.
Nenek   Kasihan. Sayang. (Heran suaminya tidak ada). Dimana kau? Dia tadi disini. Sebentar, nyonya (beseru) Onda, dimana kau? (Exit)

TUJUH
Sambil mengamati ruangan tengah itu nyonya Wenas membenahi dirinya.
Janda                    Terlaknat saya, kenapa saya jadi gemetar?

DELAPAN
Pesuruh muncul membawa minuman, ketika pesuruh itu akan pergi,
Janda                    Nanti dulu.
Pesuruh               Ya, nyonya.
Janda                    Siapa yang memilih minuman ini?
Pesuruh               Saya sendiri, nyonya, kenapa?
Janda                    Ini memang kesukaan saya.
Pesuruh               Menyenangkan sekali. silahkan minum, nyonya.
Janda                    (Minum) Segar bukan main. Bagaimana kau tahu saya suka minuman ini?
Pesuruh               Tuan besar sering menceritakan perihal nyonya kepada saya. Dan ketika saya tahu nyonya datang, segera saya buatkan minuman itu. Selamat minum nyonya.
Janda                    Nanti dulu.
Pesuruh               Ya, nyonya?
Janda    Tuan besar masih suka…
Pesuruh               Menyirami kaktus?
Janda                    Ya?
Pesuruh               Tidak, nonya, tapi tuan besar menyirami seluruh bunga sekarang, setiap pagi dan sore. Memang tengah malam seringkali diam-diam ia menyirami kaktus yang ditaruh di dalam kakus. Maaf nyonya, saya harus ke dalam.

SEMBILAN
Nenek   Selamat datan, nyonya.
Janda    Selamat atas….
Kakek    Terima kasih. Maaf , nyonya Tampubolon?
Nenek   Kau pelupa benar.
Kakek    Siapa bilang, Nyonya pasti nyonya Mangandaralam.
Nenek   Sayang, ini nyonya Wenas.
Kakek    Ya, saya maksud nyonya Wnas. Apa kabar suami nyonya?
Nenek   Maaf, Nyonya. Sayang, tuan Wenas telah meninggal sebelas tahun yang lalu.
Kakek    Maafkan kau benar sayang. Daya ingat saya jelek sekali. maafkan nyonya.
Janda    Tidak apa.
Nenek   (Berseru) Joni.!
Pesuruh               Ya, nyonya.
Nenek   Bawa minuman ini ke dalam.
Pesuruh membawa minuman tadi ke dalam.
Kakek    Baik-baik nyonya?
Janda    Berkat doa tuan dan nyonya. Tuan sendiri?
Kakek    Berkat doa nyonya.
Nenek   Nyonya suka minum jeruk?
Janda    Minuman apa saja saya suka. Tapi es susu saya paling uka.
Kakek    Saya sendiritidak begitu, tapi……..
Nenek                  Kita berdua minum jeruk saja. Kita flue (Berseru) Joni!
Pesuruh               Ya, nyonya.
Nenek                  Bikin es susu dan dua gelas jeruk panas.
Pesuruh               Dua es susu dan satu gelas jeruk panas, maksud nyonya?
Nenek   Dua es jeruk satu susu panas.
Kakek    Bagaimana anak-anak nyonya?
Nenek                   Sayang, Nyonya dan tuan Wenas tidak diberkahi putera. Kenapa kau bertanya begitu?
Kakek    Maaf, saya lupa. Maksud saya apa tujuan nyonya datang kemari?
Nenek                   Maafkan suami saya, Nyonya. Kadangkala dia amat kaar, tapi sebenarnya dia lelaki yang amat lembut.
Janda    Betul, nyonya. Onda adalah lelaki yang amat lembut, malah sangat amat lembut. Onda selalu cermat dalam memilih kata-kata dan juga saya kira ia tidak pernah memakai tanda seru selama hidupnya.

Kakek    Kita minum  apa? Nyonya suka….
Nenek                   Onda, kita baru saja memesan minuman (menyeret) Tingkahmu berlebihan sehingga memuakkan.
Kakek    Kausendiri yang menyuruh agar saya berlaku pura-pura tidak kenal kepada nyonya itu.
Nenek   Ya, tapi kau berlebihan. Kau kurang wajar.
Kakek                    Susah. Kalau saya wajar kau marah. Kalau saya berlebihan kau juga marah. Kalau saya jumput di perpustakaan kau juga marah. Saya tidak tahu bagaimana supaya kau tidak marah dan saya tidak mau marah agar kau tidak marah.
Nenek                  Pendeknya berlakulah sedikit agak sopan.
Kakek    Saya coba.
Nenek                   Kendorkan urat wajahmu.
Sementara itu pesuruh telah menyajikan minuman di atas meja dan baru saja akan melangkah pergi.
Kakek    Udara sangat baik akhir-akhir ini, di rumah nyonya sering turun hujan?
Janda                    Ya, terutama belakangan ini.
Nenek   Memang musim hujan.
JAnda                    Dan terutama kalau sore.
Kakek    Seperti di rumah kita, tidak begitu, sayang?
Nenek                   Tentu saja. Kalau di rumah nyonya Wenas jatuh hujan di rumah kitapun turun hujan, sebab nyonya dan kita satu kota, bahkan satu wilayah kecamatan.
Kakek    memang satu kota, satu kecamatan. Tidak begitu nyonya eh, siapa? O ya nyonya Wenas? Tidak begitu?
Janda                    Ya, kita satu kota.
Kakek    Mari kita minum, satu kota mari.
Nenek                  Silahkan, nyonya.
Kakek    (Setelah minum) Alangkah hangat es jeruk ini.
Nenek                  Ya, silahkan, nyonya. Nyonya tidak suka?
Janda                    (Menjerit) Alangkah sejuknya. Terima kasih.
Kakek    Sejak kapan nyonya suka es susu yang panas?
Janda                    Sejak, sejak kemarin. Ya, kemarin.
Kakek    Kami sendiri menyukai wedang jeruk yang sejuk baru saja. Tidak begitu sayang?
Nenek                  Ya.
Janda                    Terus terang saya sangat kagum pada nyonya. Saya tidak pernah melihat nyonya bertambah tua.
Nenek                  Nyonya berlebihan.
Janda    Saya sungguh-sungguh, nyonya.
Nenek   Kalau begitu saypun berterus terang. Nyonya semakin tua semakin cantik.
Kakek                    Memang (Nenek melotot). Maksud saya, maksud saya ketuaan itu hanya timbul apabila kita merasa tua. Adapun tua itu sendiri hanya hasil dari suatu penjabaran, hanya sayangnya penjabaran tersebut dilakukan oleh waktu, sehingga menyebabkan kurang enak kita terima konsekwensinya.
Nenek                  Saya kira tidak begitu. Tua adalah konsekwensi dari kesadaran kita.
Kakek                    Ya, kalau saja kita punya matematika, kita tidak akan pernah tua. Juga kalau saja kita tidak punya jam kita tidak akan pernah tua.
Janda                    Tapi kita punya matahari.
Nenek                  Itu susahnya.
Kakek    Takdir. Sekarang mari kita minum seakan kita tidak punya matahari.
Janda    Alangkah sejuknyausu pana ini.
Kakek    Alangkah panasnya es jeruk ini. Tidak begitu, sayang?
Nenek                  Ya.
Janda    Tapi kalau kita tidak punya matahari kitapun tak akan pernah punya bulan.
Nenek   Juga kita tidak akan punya iang hari dan rematik kau akan lebih parah lagi.
Janda    Kita tidak akan punya siang dan punya malam.
Kakek    Kalau begitu?
Nenek   Lebih baik punya matahari daripada sama sekali tak punya apa-apa.
Kakek    Ya, dan itu berarti tuapun merupakan rahmat.
Janda                    Tidak, bukan rahmat tapi “apa boleh buat”
Kakek    Apa boleh buat mari kita minum lagi.
Mereka minum dan omong seperti tadi.
Janda    Tua dan tidak tua tetap saja ama, kaktus, misalnya.
Nenek   Ya, kaktus memang tetap kaktus kaku dan berduri kapanpun.
Kakek                    Saya jadi ingat Old Shatterhand dengan Winnetou, bagaimana keduanya merangkak di atas padang rumput sambil membaui udara yang mengantarkan bau musuh, atau bagaimana mereka mendengarkan bentak-bentakan kaki kuda musuh dari jarak ber-mil-mil. Kaktus-kaktus liar banyak bertumbuhan di Amerika.
Janda    Indahnya.
Nenek                   Apa tidak indah kemeriahan flamboyant, yang mampu menciptakan jalan selalu diliputi senja?
Kakek    Saya kira lebih indah, juga lebih bermanfaat. Kita bahkan bisa berteduh di bawah cahaya kuning merahnya.
Janda    Tapi flamboyant saya kira terlalu mewah dan kurang sederhana.
Nenek   Kaktus memang selalu kesepian.
Janda                    Memang ia kurang dihiraukan orang.
Nenek   Lantaran berbahaya.
Kakek                    Bagaimana kalau kita beralih kepada bunga bank saja. Ini lebih langsung menyangkut kepentingan ekonomi kita.
Janda    Sayang sekali kita telah sepakat menerima kehadiran matahari, sehingga saya kini telah ditegurnya. Sudah cukup lama. Saya di jamu di sini. Saya minta diri sekali lagi saya mengucapkan selamat ata perkawinan emas tuan dan nyonya. Sayang sekali dia sedang sakit: saya harus segera pulang.
Nenek   Terima kasih banyak ata kunjungan nyonya.
Kakek    Terima kasih banyak. Salam pada suami nyonya.
Janda    Terima kasih (Sambil pergi) Bisonku.

0 komentar

Posting Komentar