(Sebuah Sandiwara Gelap)
Catatan Gelap
1.Sobrat Pemuda Kampung Lisung
2.Samolo Pemuda Kampung Lisung
3.Doyong Pemuda Kampung Lisung
4.Mimi Ibu
Sobrat
5.Wak Lopen Pemilik Warung
6.Rasminah Nyai/Istri Sobrat
7.Surobromo Guru judi Sobrat
8.Mongkleng Hawa Nafsu
9.Silbi Gendruwi Mahluk Halus
Penguasa Bukit Kemilau
10Inang Honar Pencari Tenaga Kerja
11.Mandor Bokop Mandor
12.Mandor Burik Mandor
13.Mandor Mandor
14.Dongson Bandar
Judi Koplok
15.Dua Orang Centeng
Sebuah tempat bernama Tapakdara. Di tempat judi Koplok milik
Dongson yang ramai oleh kaum lelaki dan pelayan wanita yang disebut Biti-biti[1]
DONGSON (mengocok batok kelapa berisi dadu)
Koplok-koplok-koplok! (menjatuhkan ke lantai judi) Kelabang,
kalajengking, ah laba-laba! (tertawa)
Kalian kalah! (kepada wanita di sampingnya) Lampok, Simpan di tong! (wanita pelayan itu dengan telaten memunguti
uang Benggol[2]
dan memasukannya ke tong kayu. Para penjudi tampak gelisah dan penasaran,
termasuk Sobrat yang tampak layu. Dongson kembali mengocok batok kelapa)
Koplok-koplok-koplok! (menjatuhkan ke lantai judi) Laba-laba,
kelabang! Laba-laba! (tertawa) Kalian
tak seberuntung malam kemarin! (pada
Sobrat) Sobrat, habis!?
Sobrat mengangguk, tapi tiba-tiba ia berdiri, ia membuka baju dan
celana panjangnya. Lampok menjerit, lalu tertawa. Sobrat menaruh baju dan
celananya di lantai judi. Semua riuh menyaksikan kelakuan Sobrat. Sobrat tidak
peduli
DONGSON (mengocok kembali batok kelapa)
Koplok-koplok-koplok! (menjatuhkannya ke lantai judi) Capung!
Kelabang! Jangkrik! (teriak) Hampir,
Sobrat! Tapi sayang, laba-laba! (tertawa)
Tiba-tiba keriuhan hilang, sangat sepi. Hanya tampak adegan
perjudian ini tanpa bunyi. Hanya aksi saja. sobrat berdiri dengan hanya mengenakan
cawat. Dia berjalan ke depan melakukan solilokui[3]
SOBRAT
Beginilah hidupku di Tapak dara ini!
Jauh dari kampung Lisung datang ke bukit Kemilau hanya untuk mengadu nasib
menjadi kuli kontrak penambang emas. Padahal aku cukup bahagia bersama Mimi[4],
ibuku. Mimi yang sangat telaten, suka memasak sayur asem untukku, suka
membuatkan pepes ikan dan sambal pedas untukku. Semuanya itu kutinggalkan demi
emas. Kalau aku beruntung, upah yang kudapat, lalu habis di lantai judi dan
biti-biti. Lalu aku kontrak lagi. Aku selalu tergoda, sejak pergi tinggalkan
kampung, sejak pergi dari tanah yang sebenarnya subur, sawah yang ledok[5]
dan Kebo[6]
yang montok.
Diam
Kalau saja aku tidak tergoda oleh
bujuk rayu Inang Honar[7]waktu
itu, mungkin aku sekarang tengah memandikan kebo milik ngabihi, orang kaya di kampungku. Mungkin sekarang aku
tengah makan singkong bakar dari hawu[8] sambil sesekali menggigit gula jawa
biar tambah enak
Diam
Tapi godaan itu…. inang Honar si
pembujuk ulung menjanjikan bahwa uang mudah di dapat, kerlipan emas di bukit
kemilau seperti pasir yang berserak di mana-mana, termasuk wanitanya. Sekali
lagi aku tergoda (menirukan suara Inang
Honar, walaupun tidak persis suara wanita)
Sobrat, kamu itu pemuda yang kuat.
Tubuhmu berotot ibarat baja balung besi, mirip Gatotkaca dalam wayang kulit
Jawa. Pemuda macam kamulah yang bisa menjadi pemilik bukit Kemilau. Kamu hanya
korek-korek sedikit tanahnya, dan kamu bisa dapatkan butiran emas sebesar biji
salak; setelah itu kamu akan miliki apa yang kamu mau!
(meludah)
Haram jadah! Kalian lihat, aku begini
memalukan, hanya tinggal cawat katok[9]
(merubah suaranya) Sobrat! Sobrat! Kamu pulang, nak. Oh, anakku sayang semata
wayang. Bawa harta dan sutra, bawa kemakmuran bagi kampungmu. Sobrat datang!
Sobrat datang! Sobrat sayang, anakku semata wayang!
(bersuara keras)
Tapi, aku takkan pulang, Mi. aku telah
terjebak dalam pusaran hidup di bukit Kemilau ini. Aku takkan pulang, Mi. aku
belum kaya, Mi. utangku banyak, Mi. aku harus menggali bukit padas dan batu
keras, Mi. aku harus masuk sumur maut berjam-jam, Mi. sembari berdoa agar
talinya tidak putus, Mi! aku takkan pulang, Mi! (Sobrat menjatuhkan dirinya ke
tanah. Hening)
SOBRAT (lirih)
Aku akan pulang, bila aku sudah kaya,
Mi…!
LAMPU GELAP
BAGIAN DUA
Tampak permainan music kendang pencak
silat irama “Padungdung”[10].
Terompetnya bertuat-tuit riang. Tampak pula adu gulat tradisional ala Sunda
yang disebut “permainan Dogong” tengah berlangsung. Yang bermain yaitu Sobrat
dan Samolo. Kedua-duanya jago Dogong kampung Lisung, semenara itu tampak pak
Ngabihi – kepala kampung – ditemani Inang Honar, tamu istimewa dari seberang
sekaligus seorang pencari tenaga kerja. Orang-orang berkerumun menikmati
permainan Dogong.
Tiba-tiba Sobrat berhasil menjatuhkan
Samolo dan menindihnya, Samolo tak berdaya, ia kalah. Semua bersorak. Inang
Honar dengan kipas warna merahnya tampak senang, music kendang pencak silat terdengar naik-turun. Jika ada
dialog, terdengar menurun, sementara jika merespon situasi, akan terdengar
menaik.
WASIT DOGONG
Akhirnya, lahir jago Dogong baru dari
kampung Lisung, yaitu Sobrat!
ORANG-ORANG
Hidup Sobrat! Hidup Sobrat!
Musik naik. Tampak Sobrat bersalaman
dengan Samolo. Music menurun, sampai akhirnya berhenti. Para pemain music
pengiring permainan Dogong berkemas. Lalu Sobrat dipanggil menghadap Inang
Honar. Inang Honar mengeluarkan sekanjut kundang[11]
uang logam, dan ditimang-timangnya di depan Sobrat. Semua orang kampung melongo
INANG HONAR
Kamu luar biasa. Permainan Dogong
memang permainan lelaki. Hanya lelaki kuatlah yang bisa main Dogong. Di tempat
asalku permainan semacam ini disebut masurangut[12].
Kalau kalian ikut aku, kalian akan memiliki banyak uang seperti ini. (Memberi
uang pada Sobrat) persenan ini untukmu, terimalah! Ingat, itu hanya beberapa
benggol. Kalau kamu mau, kamu bisa dapat lebih banyak!
SOBRAT
Bagaimana caranya, Inang?
INANG HONAR
Kamu ikutlah aku ke bukit Kemilau.
Tinggal korek-korek tanah, kamu akan dapatkan emas sebesar biji salak. Kamu mau
jadi penambang emas di sana?
PEMUDA-PEMUDA KAMPUNG
Mau, mau!
INANG HONAR (tertawa)
Bagus, aku senang para pemuda yang
trengginas[13].
Apakah kalian penakut?
PEMUDA-PEMUDA KAMPUNG
Tidak, tidak!
INANG HONAR
Siapa penakut, boleh mundur! (menunggu reaksi) Ternyata semuanya
adalah pemberani. Di sana nanti kalian akan dapatkan apa yang kalian inginkan,
emas gadis dan kebebasan hidup. (Pada Sobrat) kamu merasa bahagia malam ini.
Tapi ingat anak muda, kebahagiaanmu ini belum seujung tahi kuku kalau
dibandingkan dengan kebahagianmu di tanah seberang nanti, tanah yang
berpendar-pendar karena kemilau emas, gadis-gadisnya yang berkulit kuning
bersih dan halus, dan satu lagi…. Kebebasan hidup akan kamu reguk sepuasnya.
PEMUDA-PEMUDA KAMPUNG
Kami ingin ikut, kami ingin ikut!
INANG HONAR
Bagus, bagus.
SAMOLO
Bagaimana caranya, Inang?
INANG HONAR
Pokoknya begini saja. yang akan ikut
nanti berkumpul di kedai Wak Lopen. Tapi harus daftar dulu sama pak Ngabihi ini
ya!?
Inang Honar pergi diikuti pak Ngabehi
dan dua orang centeng, Sobrat dan para pemuda kampong berkumpul
SAMOLO
Kamu mau pergi, Brat?
SOBRAT
Aku harus minta izin Mimi dulu.
Para pemuda kampung menertawakan
ucapan Sobrat
SAMOLO
Seperi anak kecil saja harus minta
ijin. Kamu kan sudah gede, pake izin segala…
SOBRAT
Jangan begitu, Lo. Kamu enak sudah
tidak ada yang melarang, aku kan masih ada Mimi. Surga itu ada di telapak kaki
Ibu!
SAMOLO
Kaki ibu? Kaki Mimimu kan rorombeuheun[14]
dan bau!?
Para pemuda kampung menertawakan
ucapan Samolo. Dengan satu rangkulan dan pitingan, Samolo tak berdaya dijepit
Sobrat. Ia hampir tak bernapas.
SOBRAT
Ucapkan sekali lagi, Lo. “Kaki mimiku rorombeuheun dan bau!” Ayo!.
SAMOLO
Ampun, Brat, aku hanya main-main!
Ampun!
SOBRAT
Ibu tak boleh dipakai main-main! (pada yang lain) Kalian dilahirkan oleh
siapa heh? (Hening dan diam. Sobrat
melepaskan jepitan, lalu pergi)
SAMOLO
Hei Brat, kamu jadi ikut? Jangan lupa,
kami tunggu di kedai Wak Lopen.
Sobrat hanya mengangguk sambil ngeloyor pergi
LAMPU GELAP
BAGIAN TIGA
Kamar Sobrat hanya diterangi Cempor. Muncul orang satu persatu
sambil bersiul. Mereka menyeret rantai emas. Sobrat terbangun
SOBRAT
Apa itu?
ORANG I (berbisik)
Rantai emas, kawan!
SOBRAT
è…À‰Uôu$ƒL___…ÀÇEè____t_‹@_…Àt_jÿPÿ_ p_0‹Mì‹Eô…À_„p___iÿ|___‰øë‹
[1]
Gadis Abdi dalem istana (bahasa melayu)
[2]
Mata uang tembaga bernilai 2.5 persen (dipakai pada zaman penjajahan
Belanda)
[3]
Senandika; wacana seorang tokoh dalam karya susatra dengan dirinya sendiri di
dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin
yang paling dalam dari tokoh tersebut.
[4]
Ibu(bahasa Cirebon)
[5]
Sawah yang berlumpur subur (melayu)
[6]
kerbau
[7]
Tipu muslihat (melayu)
[8]
Perapian dari tanah liat (sunda)
[9]
Celana (panjang/pendek)
[10]
Peeniruan suara kendang pencak yang dipukul pada saat perkelahian seru
[11]
Kain yang dirajut untuk tempat uang
[12]
Permainan gulat tradisional di daerah Sumatera
[13]
Lincah dan terampil
[14]
Pecah-pecah kulit telapak kaki karena kutu air
0 komentar
Posting Komentar