Pengantar
Lakon Sidang Susila (karya
Ayu Utami dan Agus Noor) dipentaskan pertama kali oleh Teater Gandrik, pada
tanggal 21-23 Februari 2008 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Inilah lakon yang
menggambarkan satu upaya monopoli kebenaran moral. Sebuah zaman, ketika
Undang-undang Susila ditegakkan, yang bayang-bayangnya seperti sudah bisa
terasakan ketika naskah ini ditulis. Sebuah zaman yang menyeramkan tetapi juga
penuh kekonyolan. Bagi Anda, yang sudah menyaksikan pementasan lakon itu,
naskah lakon ini bisa menjadi bacaan sekaligus mencoba membayang-bayangkan
bagaimana proses kerja penafsiran estetik telah berlangsung dari jagat teks ke
jagat panggung, sebagaimana yang kemudian tampak dalam pementasan Teater
Gandrik itu.
Bagi yang belum sempet menyaksikan (semoga
saja bisa menontonnya apabila lakon ini dipentasulangkan oleh Teater Gandrik) naskah ini bisa
menjadi bacaan sembari mengimajinasikan bagaimana panggung berlangsung. Membaca
naskah lakon, memang seperti menyusun adegan dalam panggung yang tergelar dalam
kepala. Ini, siapa tahu, bisa jadi obat kagol, lantaran tak sempat menyaksikan
pertunjukannya.
Tetapi, siapa tahu, kelompok teater lain
berminat mementaskan. Tentu saja, naskah ini terbuka bagi kelompok teater mana
pun. Artinya, naskah ini boleh dipentaskan di mana pun kapan pun oleh siapa
pun, sepanjang memberitahukan pada penulis, tentu sekadar untuk sopan santun.
Satu hal lagi, Anda boleh mengutip sebagian atau seluruh bagian naskah ini,
sepanjang itu tidak digunakan untuk kepentingan bisnis.
BUKAN PERINGATAN PEMERINTAH:
Apabila naskah ini dipentaskan, harap
menyertakan tanda “17 tahun keatas” pada poster dan semua elemen publikasi
lainnya, termasuk tiket dan buku acara, untuk menyatakan kalau tontonan ini
lebih baik ditonton oleh para penonton yang memang “sudah dewasa”. Ini juga
dimaksudkan, bahwa tanpa undang-undang yang mengatur moralitas, sebagai
masyarakat kita pun sesungguhnya (sudah) bisa mengatur diri sendiri.
SIDANG SUSILA
Naskah: Ayu Utami & Agus Noor
OPENING
Suasana murung dan menekan.
Muncul serombongan Polisi Moral, yang
berjalan menderap, tegas. Seakan mengawasi keadaan dengan sikap waspada dan
curiga.Tampak segerombolan orang yang mengendap-endap menghindari Polisi Moral
itu. Orang-orang itu ketakutan, langsung sembunyi begitu melihat Polisi Moral
melintas. Sementara Polisi Moral itu terus berderap melintas, bagai menyebar ke
seluruh penjuru kota. Mengawasi keadaan. Memasang bermacam tanda gambar yang
penuh larangan.
Ketika para Polisi Moral itu akhirnya
melintas pergi, segerombongan orang yang tadi mengendap-endap itu tampak
gembira. Tampak mereka kemudian bersiap untuk menggelar tayuban.
SATU
Tayuban sedang berlangsung di sebuah
tempat di pingiran kota…
Para penari tayub asik ngibing.
Orang-orang yang yanggembira pun ikut menari dan berteriak-teriak menyenggaki
goyang para penari. Mira, seorang penari tayub bergerak sensual, mengundang
gairah para lelaki yang ikut berjoget. Suasana meriah dan bergairah.
Muncul Susila, membawa pikulan berisi
dagangannya: mainan anak-anak. Bermacam mainan anak-anak. Ada mobil-mobilan,
wayang, balon yang dibentuk dilekuk-lekuk aneka bentuk, kitiran, dll. Begitu
melihat sesila muncul, Mira langsung menyambut dengan genit.
MIRA: Waduh Mas
Susila… Ayo sini, Mas… ayo toh…
Beberapa penari tayub yang lain pun segera
mengrubungi Susila, seolah Susila sudah akrab dengan mereka, sudah terbiasa
datang ke tempat itu.
PENARI TAYUB 1: Kemana saja sih.. Kok lama nggak
kelihatan…
PENARI TAYUB 2: Apa nggak ngerti kalo dikangenin…
PENARI TAYUB 1: Makin montok saja…
PENARI TAYUB 2: Montok apanya?
PENARI TAYUB 1: (Sambil mentowel susu Susila) Ya susunya toh ya…
MIRA: Ealahhh,
sudah, sudah! Apa ndak liat kalo dia pinginnya sama saya!
Mira langsung menarik Susila untuk ikutan
ngibing. Maka Susila pun
segera menari. Tubuhnya yang tambun terlihat erotis tetapi juga lucu ketika
menari. Gerakan tarinya komikal dan mengundang tawa. Sampai kemudian Susila
terlihat kelelahan, lalu istirahat sembari kipas-kipas. Tubuh tambunnya yang
berkeringat membuat ia sumuk, lalu mulai membuka kancing bajunya. Tampak susu
Susila yang kimplah-kimplah. Mira mengelus-elus susu Susila, hingga Susila
merem-meleki ganjen, sambil terus memandangi penari tayub itu. Seperti
mengkhayalkan hal-hal yang erotis.
Muncul seorang lelaki, sikapnya hati-hati,
mendekati Mira. Laki-laki ini segera menarik Mira, menjauhi Susila. Tampak Mira
dan laki-laki itu berbisik-bisik, bercakap-cakap rahasia. Tampak lelaki itu
memberikan segulungan ketas pada Mira. Mira memperhatikan kertas itu.
Susila tampak tertarik, dan mendekati Mira.
Tetapi begitu melihat Susila mendekat, Mira segera cepat-cepat menggulung dan
menyembunyikan kertas itu. Sementara lelaki yang tadi memberikan segulungan
kertas pada Mira langsung menyelinap pergi…
SUSILA: Ada apa?
MIRA: Ndak apa-apa…
Ayo sudah nari saja lagi…
Maka Mira pun langsung mengajak Susila
menari. Suasana makin ramai dan gayeng. Mira langsung cekikikan genit ketika
Susila menggelitik perutnya. Tayuban terus berlangsung. Tarian makin hot.
Mendadak terjadi kepanikan. Muncul
beberapa Polisi Moral – yang langsung mengobrak-abrik tayuban itu. Para penari
dan pengunjung yang lain langsung kabur. Susila yang bertubuh tambun terlihat
kaget, bingung dan hanya melongo memandangi itu semua. Ia ingin ikut lari juga,
tapi tubuhnya yang tambun tak bisa membuatnya bergerak cepat.
Beberapa Polisi Moral langsung mengepung
Susila. Senapan-senapan dengan lampu infra merah mengarah ke tubuh Susila.
Susila hanya mengangkat tangan kebingungan. Titik-titik merah terlihat memenuhi
tubuh Susila. Susila hanya bisa pasrah ketika para Polisi Moral itu
meringkusnya dengan jaring yang dilemparkan. Susila terlihat kebingungan, nggak
ngerti dengan apa yang terjadi itu.
SUSILA: Lho, ada apa
ini… Ada apa… Waduh…
Seperti mendapat tangkapan paus besar,
para Polisi Moral itu langsung menyeret dan menggelandan Susila. Beberapa
petugas itu langsung membawa dagangan Susila
SUSLA: Waduh…
daganganku… Daganganku…
Para petugas yang meringkus Susila itu
segera menggelendangnya. Memukulinya. Susila hanya bisa berteriak-teriak
mengaduh kesakitan. Mereka exit.
Perlahan lampu meredup. Hanya terdengar
teriakan dan lolongan Susila. Mengingatkan pada inkuisisi yang penuh kekerasan.
Sayup-sayup suara Susila makin lemah dan menghilang.
DUA
Ketika lampu menyala di satu tempat,
terlihat Ibu Jaksa penuh gaya memberi keterangan pers di hadapan wartawan yang
mengerubutinya.
JAKSA: Tepat pukul
kosong kosong lebih kosong kosong, Undang-undang Susila telah ditetapkan secara
sah dan meyakinkan. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka secara resmi dan
konstitusional kita telah menjadi bangsa yang bermoral. Untuk itu secepatnya
kita juga akan menyusun Garis-garis Besar Haluan Moral Negara… Bertepatan
dengan itulah, kami mencanangkan Gerakan Nasional Moral Bangsa untuk mencapai
moralitas yang adil dan beradab. Kami sudah menggelar razia moral. Dan
Alhmandulillah, kami telah berhasil menangkep dari pada seorang penjahat
moral, yang secara terang-terangan melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi…
Para wartawan mencecarnya dengan
pertanyaan-pertanyaan…
JAKSA: Tenang…
tenang…Semua akan saya jawab… Tapi tolong dicatat yang baik. Jangan sampai
salah kutip… Nanti saya mesti repot membuat bantahan.
WARTAWAN: Siapa yang ditangkap itu, Bu?
JAKSA: Detailnya
nanti saya informasikan setelah penyidikan. Tapi yang jelas, orang ini adalah
penjahat moral pertama yang berhasil kita amankan.
WARTAWAN: Kapan disidangkan?
JAKSA: Segera.
Secepatnya. Ini prioritas kasus yang akan kami ungkap secara tuntas. Agar
masyarakat tahu, kalau kita tidak main-main dalam menegakken
Undang-undang Susila ini.
WARTAWAN: (Memotong dengan cepat) Bukankah Undang-undang ini bentuk lain
dari represi moral?
JAKSA: (Langsung bernada membentak marah) Bagimana pun Sodara-sodara, pornografi
dan pornoaksi harus kita babat! Karna begitulah, Sodara-sodara… Sebagaimana
firman Allah. Moral masyarakat harus dijaga, Sodara-sodara. Kalau penjahat
moral ini tidak segera dihukum, pasti masyarakat akan resah. Dia akan
mengganggu ketertiban. Membuat hidup kita sengsara. Haleluya!
Perlahan di tempat lain, cahaya menerangi
Susila yang sudah berada dalam sel. Dalam sel itu tampak tempat tidur kecil.
Dan di sampingnya ada closet. Susila sedang duduk terkantuk-kantuk di closet
itu. Sedang berak. Posisi duduknya mengingatkan kita pada pose patung The
Thinker Augusto Rodin.
JAKSA: Berdasarkan
laporan yang saya terima, orang ini boleh dibilang penjahat moral paling
menjijikkan… Jorok.. Bau busuk…
Di dalam sel, Susila kentut begitu keras.
Terdengar seperti suara orang terserang mencret, dan Susila sampai menutup
hidung tak tahan dengan bau tainya sendiri…
JAKSA: Dia penjahat
moral paling berbahaya. Karena itulah, kami menempatkannya di sel khusus,
dengan penjagaan ekstra ketat.
Lampu di bagian Bu Jaksa meredup. Bu Jaksa
dan para wartawan exit. Di panggung tinggal terlihat Susila yang masih duduk
terkantuk-kantuk sedang berak di closet. Bersamaan lenyapnya Bu Jaksa itu,
terdengar suara mencret yang menggelontor panjang. Dan Susila terlihat begitu
lega…
0 komentar
Posting Komentar