TIGA
Susila bangkit dari closet. Ia menuju
papan tempat tidur, duduk di situ dan memandangi selnya. Ia terlihat
kebingungan dan tak mengerti kenapa ia berada di sel itu. Ia berusaha tiduran,
tapi kerepotan karena tempat tidur itu begitu kecil dan sempit untuk tubuhnya
yang tambun. Lalu ia bangkit, mengambil gelas seng yang tergeletak di pojok.
Melihat isi gelas itu, lalu meminumnya, menenggak… Tapi rupanya gelas itu sudah
kosong. Di tumpahkan ke telapak tangannya berkali-kali, tak ada setetes air pun
menetes dari gelas itu. Ia terlihat berfikir sejenak, lalu tersenyum seperti
memperoleh ide cemerlang… Susila pun segera meludah berkali-kali ke dalam gelas
itu, lalu menenggaknya…
SUSILA: Lumayan…
Susila terlihat lega, terbebas dari rasa
haus di kerongkongannya. Lalu Susila terlihat bingung lagi. Mengelus perutnya,
merasa lapar. Segera ia memukul-mukulkan gelas seng itu ke jeruji besi, sambil
berteriak-teriak memanggil.
SUSILA: Mas… Mas… Mas
Pulisi… Mas… Mas Pulisi…
Susila terus memukul-mukulkan gelas seng
itu ke jeruji besi, terdengar berisik. Sampai tiba-tiba muncul dua orang
petugas, seperti pasukan anti teroris yang siap menyergap, mengacungkan senjata
ke arah Susila. Melihat itu Susila langsung mundur ke belakang, kaget, sampai
gelas yang dipeganginya jatuh…
SUSILA: Ampun … Saya
cuma mau minta minum kok… Haus… (melihat sikap petugas yang serius siap
menembak itu, ia jadi ketakutan juga) Ee… Ka…kalau tidak ya tidak apa-apa…
Biar saya minum ludah saya sendiri lagi…
Susila beringsut hendak mengambil
gelasnya. Ketika melihat Susila bergerak, dua petugas itu langsung mundur,
seperti ketakutan dan berjaga-jaga kalau Susila bisa sewaktu-waktu menyerang
mereka.
Susila mengambil gelasnya, meludah
berkali-kali ke dalam gelas itu. Kemudian menenggaknya… Sampai ia gelegekan.
SUSILA: Uenak tenan… (Menyorongkan
gelas itu ke arah petugas) Mau nyoba…
Petugas itu beringsut mundur ketakutan.
Tapi tetap dengan senjata siap tembak. Muncul Petugas Kepala, mengamati Susila.
Lalu memberi perintah pada seorang petugas.
PETUGAS KEPALA: Beri dia ransum!
Salah satu petugas dengan cekatan
mengambil piring berisi sekerat makanan dan siap menyorongkan ke dalam sel
Susila, tapi Petugas Kepala itu langsung membentak,
PETUGAS KEPALA: Tolol! Pakai tongkat pengaman!
Petugas itu langsung mengambil tongkat
dengan pengait di ujungnya. Lalu petugas itu menyorongkan piring yang sudah
dikaitkan di ujung tongkat itu ke dalam sel. Susila memandanginya dengan heran,
bingung, tak mengerti. Tapi begitu petugas itu menjauh, Susila langsung saja
menyamber makanan di piring itu, dan menyantapnya dengan cepat…
Para petugas memandanginya dengan waspada.
PETUGAS KEPALA: Semua siap?
KEDUA PETUGAS: Siap, Pak.
PETUGAS KEPALA: Saya ingatkan sekali lagi, agar kalian
hati-hati. Selama interograsi, jangan sampai kalian bersentuhan langsung dengan
pesakitan. Mana tabung antiseptiknya?
PETUGAS 2: (menunjukkan tabung semprot) Siap, ini Pak…
PETUGAS KEPALA: Itu buat berjaga-jaga. Langsung semprotkan
antiseptik itu ke tubuh kalian, bila kalian terpaksa bersenggolan atau
bersentuhan langsung dengan pesakitan itu. Biar virus pornonya langsung mati,
dan kalian tidak tertular…
KEDUA PETUGAS: Siap, Pak…
PETUGAS KEPALA: Keluarkan dia…
Petugas 2 segera membuka sel. Senjata
tetap waspada di tangannya. Petugas itu menyuruh Susila keluar. Sesila terlihat
malas, dan agak mengantuk, garuk-garuk kebingungan melihat sikap para petugas
itu yang memandang dan memperlakukannya begitu jijik. Setiap Susila berusaha
mendekati petugas itu, langsung petugas itu menjaga jarak, takut bersentuhan
dengan Susila.
Susila disuruh menuju Petugas 1 yang sudah
siap di meja. Susila mengulurkan tangan bermaksuk salaman dengan Petugas 1 itu,
tapi Petugas 1 langsung menarik tangannya menjauh, tak mau bersalaman…
PETUGAS KEPALA: Duduk!
Susila segera duduk di hadapan Petugas 1.
Dan interograsi pun berlangsung. Petugas 1 (seakan-akan) mengetik semua jawaban
Susila. Sementara petugas 2 siap di belakang Susila dengan senjata yang siap
ditembakkan.
PETUGAS KEPALA: Cepat duduk!!
SUSILA: (Latah) Eh, iya duduk
duduk…
Susila duduk di hadapan petugas 1
PETUGAS 1: Nama?
SUSILA: Susila, Pak…
Petugas 1 mengetik, begitu sepanjang
interograsi.
PETUGAS KEPALA: Yang jelas! Siapa?!
SUSILA: (Latah) Ee, ya.. ya
Susila, Pak… S. U. S. I. L. A. Itu yang tertulis di KTP. Su-si-la. Tapi lebih
sering dipanggil Susilo. Maklumlah, pak, orang Jawa… huruf a diucapkan o…
PETUGAS 1: Yang bener Susila pakai a, atau Susilo
pakai o?
SUSILA: Ya, Susila
juga ndak papa, Pak… Soalnya kalau Susilo, nanti dikira nyindir…
PETUGAS 1: Lengkapnya?!
SUSILA: Susila Parna,
Pak…
PETUGAS 1: Kok seperti orang Sunda? Tadi katanya
Jawa?!
SUSILA: Kalau a-nya
diucapkan o, kan jadi kedengaran mesum… Su-si-la jadi Su-si-lo… Par-na mestinya
kan ya jadi Por-no toh, Pak… Eh, sebentar…Porno apa Parno ya? Parno.. Porno..
Porno.. Parno… Welah, kok malah bingung sendiri saya…
PETUGAS 1: Jangan berbelit-belit! Jawab yang jelas.
Tidak usah mungkir. Awas, saya ceples pake penggaris batokmu! Nama lengkap?!
SUSILA: Susilo Porno,
eh Susila Parna, Pak… Bener, Pak… Susila, Pak…
PETUGAS 1: Pekerjaan?!
SUSILA: Pedagang, Pak…
Pedagang kaki lima…
PETUGAS 1: Pasti kamu jualan VCD porno!
SUSILA: Tidak, Pak..
PETUGAS KEPALA: Jangan mungkir!
SUSILA: (Latah) Eh mungkar
mungkir..…. Mbok jangan bikin kaget toh, Pak… Saya jadi porno eh parno…
PETUGAS KEPALA: Jadi bener kamu jualan VCD porno…
SUSILA: Kok porno?
Parno, Pak… Bener, Pak…saya jadi parno kalau kaget…
PETUGAS KEPALA: Jadi kamu jualan kalender porno juga.
SUSILA: Kok porno
terus sih…
PETUGAS KEPALA: Jawab yang jelas?! Barang-barang porno apa
lagi yang kamu jual?! Kartu remi porno? Tabloid porno? Majalah porno?…. (tiba-tiba
berbisik) Ada majalah Playboy tidak?… Bisa pesen satu? (kepada
Petugas 1 yang terus mengetik) Yang tadi nggak usah diketik!
SUSILA: Saya nggak
jualan gituan, Pak… Saya cuma jualan mainan…
PETUGAS KEPALA: Jadi kamu jualan mainan sex? Apa saja itu?
Kondom bergerigi? Viagra? Dildo? Vibrator? Boneka Barbie rasa strawberry?
Vagina elektrik?… (hendak berbisik…)
SUSILA: (Langsung menebak) Pasti mau pesen, toh?… Saya nggak jualan
gituan, Pak… yang saya jual itu cuma mainan anak-anak…
PETUGAS 1: Kamu itu jualan anak-anak, begitu? Berapa
usia anak-anak yang kamu jual itu?!
SUSILA: Welah,
bagaimana sih Bapak ini… Bukan jualan anak-anak, Pak… Jualan mainan anak-anak…
Jadi yang saya jual itu mainan… Bukan anak-anak… Saya jualan mainan anak-anak,
karena saya seneng sama anak-anak…
PETUGAS 1: Ya, ya… jangan kecepetan omonganya… Saya
bingung ngetiknya… Jadi kamu itu menyukai anak-anak… berarti kamu itu fedofil…
Iya, tidak? Jawab yang yang jelas…
SUSILA : (Jengkel, dan mulai tidak bisa
mengendalikan emosi)) Yang nggak jelas
itu siapa? Saya sudah menjawab jelas, malah situ yang pertanyaannya
tidak jelas… Kan sudah saya jelaskan, saya ini penjual mainan. Masak begitu
saja tidak jelas-jelas… (menarik tangan atau tubuh Petugas 1, agar mendekat)
Pen-ju-al ma-in-an… Apa masih kurang jelas?
Petugas 1 langsung gugup ketakutan,
berusaha melepaskan diri, dan langsung berteriak-teriak.
PETUGAS 1: Antiseptik! Cepat! Cepat antiseptik…
Petugas Kepala segera menyemprotkan
antiseptik ke tubuh Petugas 1, sementara petugas dua langsung mengokang
senapan. Mengancam Susila. Suasana menjadi begitu panik.
PETUGAS KEPALA: Cepat giring ke sel! Cepat!
Dibawah ancaman senjata, Susila di dorong
masuk sel. Susila terlihat bingung dengan semua kepanikan itu. Sel segera
dikunci. Petugas 1 masih terlihat gemetaran, ketakutan. Petugas kepala terus
menyemproti tubuh Petugas 1 dengan antiseptik – yang bentuknya bisa saja
seperti semprotan Baygon cair, atau Hairspray atau tabung penyemprot hama
sebagaimana dipakai para petani itu.
EMPAT
Muncul Hakim, Jaksa dan Pembela, ketiganya
menyaksikan petugas kepala yang sedang menyemprotkan semprotan antiseptik ke
tubuh Petugas 1. Sementara Susila sudah terkunci kembali dalam sel. Pada adegan
ini, blocking Pembela selalu berada di belakang, seakan tak ingin ketahuan. Pembela
itu terlihat menjaga jarak, bahkan sering menjauhi Hakim dan Jaksa – seperti
ada yang disembunyikan. Terutama, Pembela selalu menjaga jarak dengan sel
dimana Susila terkurung.
Petugas Kepala terkejut dengan kemunculan
tiga pejabat itu, yang terkesan mendadak.
HAKIM: Maaf kami
datang mendadak… (Menyerahkan koran kepada petugas kepala, yang segera
membacanya) Kita berkejaran dengan waktu. Kasus ini menjadi head line
semua media. Pers terus-terusan mem-blow up penangkapan ini. Semua
mendesak agar persidangan dilaksanakan secepatnya.
PETUGAS KEPALA: Kami sedang memprosesnya… Saya jamin semua
akan lancar dan tepat waktu. Cuma tadi ada insiden kecil. Pesakitan itu
menyerang anak buah saya.
Hakim dan Jaksa kaget dan beringsut
menjauhi Petugas 1…
PETUGAS KEPALA:enang… Saya sudah menyemprotkan
antiseptik.
JAKSA: Bisa kami
melihat pesakitan? Kami hanya ingin memastikan pesakitan siap menjalani sidang…
PETUGAS KEPALA: Silakan…
Jaksa dan Hakim segera menuju ke sel.
Keduanya segera menyorotkan lampu senter yang dibawanya ke arah Susila yang
meringkuk tak berdaya dan kebingungan dalam sel. Mereka menyenter Susila,
seperti tengah meneliti binatang buruan yang berhasil mereka tangkap. Susila
menutupi matanya, silau oleh sorot lampu senter itu. Hanya pembela yang mengamati
dari jarak agak jauh.
HAKIM: (Sambil terus menyorotkan senter ke
Susila) Waduh, waduh… memang
porno banget orang ini… Lihat itu susunya…. (menelan ludah)
momplok-momplok montok banget…
JAKSA: (Batuk-batuk kecil) Eghm… Eghm… Ingat Bapak Hakim… dilarang
terangsang di muka umum… Itu melanggar undang-undang.
HAKIM: Siapa yang
terangsang… (Menelan ludah, ekspresinya penuh birahi)… Saya hanya
mengatakan kalau susu pesakitan ini memang gede banget… Susu paling gede yang
pernah saya lihat… Bukankah begitu saudara Pembela? Coba lihat…
PEMBELA: (Kaget, menghindari melihat Susila secara
langsung) Eh, iya… iya… saya
kira itu memang susu paling gede sedunia…
JAKSA: Itu susu
paling berbahaya se dunia! Karena itulah kita menangkapnya. Susu itulah yang
menjadi sumber penyakit moral!
HAKIM: Rileks
sedikitlah, Bu Jaksa… Kita kan tidak sedang di ruang sidang…
JAKSA: Maaf, standar
moral saya jelas. Di dalam atau di luar sidang kita mesti menjaga moralitas
kita. Ingat, Bapak Hakim, saat ini kita sudah memasuki Orde Moral. Orde Susila.
Orde yang mengatur semua moral dan susila kita.
HAKIM: Tidak perlu
menyeramahi saya soal itu, Bu Jaksa… Apakah Bu Jaksa meragukan standar
moralitas saya?!
Jaksa dan Hakim saling tatap, kemudian
Jaksa mendengus membuang muka. Hakim segera menghampiri Pembela yang terlihat
menjauh dan gugup.
HAKIM: Kenapa gugup,
Saudara Pembela?
PEMBELA: Bapak hakim tahu… ini kasus pertama yang
saya tangani. Jadi saya masih nervous… Apalagi menurut saya ini perkara yang
terbilang luar biasa…
HAKIM: Apa kamu tidak
ingin melihat pesakitan?
PEMBELA: Tentu, Bapak Hakim… Saya ingin berbicara
dengan klien saya. Tapi, biar nanti saja… Ee, mungkin saya perlu minta waktu
khusus. Ee, maksud saya, saya perlu bicara berdua saja dengan klien saya.
HAKIM: (Kepada Petugas Kepala) Bagaimana? Apa kamu bisa jamin soal
kemananannya?
PETUGAS KEPALA: Saya bisa tempatkan seorang petugas untuk
berjaga-jaga…
PEMBELA: Terimakasih… Tapi saya hanya ingin berdua
dengan klien saya. Ini untuk kepentingan pembelaan… Percayalah, saya cukup bisa
menjaga diri.
PETUGAS KEPALA: (Setelah menimbang-nimbang) Baiklah… Tapi ingat, jangat terlalu dekat
dengan pesakitan…
Lalu Hakim, Jaksa, Petugas Kepala dan para
petugas, semuanya exit. Tinggal Pembela dan Susila yang masih merungkuk di
selnya.
0 komentar
Posting Komentar