LIMA
Pelan Pembela mendekati sel Susila,
menyorotkan senter ke arah Susila. Lalu Pembela memanggil Susila dengan pelan
dan hati-hati,
PEMBELA: Sstt… Bangun… Bangun… Ayo bangun… Ada yang
harus kita omongkan…
Susila menggeliat…
SUSILA: Saya kok
sepertinya kenal kamu, ya?
PEMBELA: Saya yang akan membela kamu… Cepat ke
sini…
SUSILA: (Mengingat-ingat) Kok kamu seperti…
PEMBELA: Ssttt… Sudah jangan banyak omong…
Susila mendekati jeruji selnya. Dan ketika
mereka sudah berdekatan, lalu lampu senter itu menyorot juga ke wajah Pembela,
Susila segera tahu…
SUSILA: Lho, kamu kan
Utami, to? Kamu anaknya Ngadimin… Masih ingat tidak, saya Pakdemu.. Pakde Sus…
PEMBELA: Iya, Pakde… Saya Utami…
SUSILA: Piye kabarmu,
nduk… Ayu bener Utami kowe saiki… Wah wah Utami, Utami…tambah semok kamu…
Wis lulus sekolahmu? Saya denger sekarang kamu jadi pengarang cabul…
PEMBELA: Ssssttt!!! Sudah, nggak usah banyak
tanya-tanya…
SUSILA: Walah-walah
kok ya wis gede banget toh susumu… Wong dulu waktu kamu saya
gendong-gendong, masih kecil kayak pentil kok…
PEMBELA: Ssttt!!! Pakde ini ndak berubah! Mesum
terus. Pantesan Pakde ditangkap kayak gini!
SUSILA: Masak begitu…
PEMBELA: (Langsung memotong, tegas) Sudah! Pakde dengarin saja apa yang saya
katakan… Nanti di persidangan, saya yang jadi pembela Pakde… Tapi nanti Pakde
harus pura-pura tidak kenal saya… Jangan sampai orang-orang tahu, kalau kita
masih ada hubungan darah.
SUSILA: Kamu malu ya
seduluran sama Pakde…
PEMBELA: Sudah, toh. Pakde manut saja. Nurut
apa yang saya katakan. Ini strategi, Pakde. Biar kita bisa menang sidang. Kalau
nanti ketahuan kita masih famili, saya sendiri yang repot. Nanti saya malah
diserang, dihabisi…
SUSILA: Dihabisi
bagaimana?
PEMBELA: Sssttt.. Sudah toh. Saya tidak suka
dibantah. Sudah, jangan ngeyel!
SUSILA: Lho tapi kan
kita memang ada hubungan darah… Kalau tidak, ya sudah lama kamu saya tumpaki…
Terdengar seperti ada langkah-langkah kaki
Petugas yang mendekat, membuat gugup Pembela…
PEMBELA: Kalau ketahuan saya famili Pakde, saya
akan dicap tidak bersih lingkungan! Nanti saya tidak bisa membela Pakde.
Suara langkah itu seperti makin mendekat…
PEMBELA: (Celingukan mendengar suara-suara itu) Pakde ngerti kan maksud saya? Ini juga
buat kebaikan Pakde sendiri…
Suara langkah kaki itu makin mendekat,
membuat Pembela itu ketakutan dan buru-buru menyelinap pergi…
PEMBELA: (Berhenti sejenak dan kembali berkata pada
Susila) Ingat…, nanti Pakde
harus pura-pura tidak kenal saya.
Panggung perlahan menggelap. Musik
transisi, seperti derap langkah kaki itu lama-kelamaan terdengar seperti menderap
menggemuruh, seakan ruangan itu sudah terkepung ribuang langkah kaki yang
menyebar dan menderap ke segenap penjuru…
ENAM
Muncul derap serombongan demonstran,
membawa bermacam poster yang menghujat Susila. “Gantung Susila”, “Hukum Susila
Seberat-beratnya”, “Pornografi Antek Komunis”, “Ganyang Pornografi Pornoaksi”,
dan lain-lain. Rombongan demonstran itu berteriak mengacungkan tangan dan
poster-poster yang dibawanya, dan bernyanyi:
Langit hitam penuh kemesuman
Kita bergerak harus meringkusnya
Kebebasan jadi ancaman
Pikiran kotor harus dibersihkan
Yang berbeda harus disingkirkan
Moral Negara harus ditegakkan
Kita bergerak untuk ketertiban
Pornografi telah mengancam
Pikiran kotor harus dibersihkan
Yang berbeda harus disingkirkan
Penjarakan Susila… Penjarakan Pikiran
Penjarakan Susila… Penjarakan kemesuman
Penjarakan Susila… Penjarakan Susila…
Penjarakan Susila… Penjarakan Susila…
Begitu seterusnya diulang-ulang
“penjarakan Susila… penjarakan Susila…”, hingga rombongan itu menderap keluar,
exit, dan suara nyanyian itu terdengar makin menjauh.
TUJUH
Muncul seorang petugas, memberikan
pengumunan menjelang sidang. Petugas itu membawa kentongan, kemudian memukulnya
beberapa kali..
PETUGAS: Mohon perhatian. Sidang Susila dengan
nomor kasus 001 antara Negara melawan Susila Parna, segera digelar di
Pengadilan Tinggi Negeri Tata Susila. Harap semua tenang. Segala macam alat
elektronik dan telepon selular harap dimatikan, karena akan menggangu sistem
navigasi persidangan…
Petugas memukul kentongan lalu Hakim muncul
diikuti Jaksa dan Pembela. Begitu Hakim, Jaksa dan Pembela on stage, petugas
itu exit.
Hakim membuka siding,
HAKIM: Pesakitan
harap segera dibawa ke ruang sidang!
Suasana mencekam. Susila muncul dikawal
seorang petugas dengan senapan siap ditembakkan. Kemunculan Susila mengingatkan
pada penjahat psikopat yang sadis, dimana kaki dan tangan Susila dirantai,
sementara kepala dan wajahnya ditutup dengan ikatan dari kulit warna hitam.
Mulut Susila ditutup dengan semacam keranjang, seperti penutup mulut anjing
galak. Sementara sebuah kayu dipasangkan menyilang ke sebalik dua tangan
Susila. Dalam todongan senjata Petugas, Susila segera didudukkan ke kursi
terdakwa.
Melihat Susila diperlakukan seperti itu,
Pembela langsung memprotes keras.
PEMBELA: Maaf, Bapak Hakim! Apa ini tidak terlalu
berlebihan?! Klien saya bukan psikopat. Dia bukan sejenis Sumanto soloensis,
yang suka memakan daging manusia. Klien saya sama sekali tidak
membahayakan.
JAKSA: Jangan lupa,
dia seorang penjahat susila paling tidak senonoh di negeri ini. Sodara pasti
tahu, penjahat susila sudah pasti jauh lebih berbahaya dari penjahat jenis
biasa. Lebih berbahaya dari pencopet. Lebih berbahaya dari garong. Bahkan lebih
berbahaya dari psikopat yang paling berbahaya.
PEMBELA: Itu terlalu dilebih-lebihkan, Bapak Hakim.
Klien saya tidak pernah melakukan tindakan apa pun yang membahayakan. Klien
saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik… Satu hal lagi, Bapak Hakim, saya
keberatan dengan penggunaan istilah pesakitan bagi terdakwa. Bagaimana pun dia
tetaplah berstatus terdakwa, bukan pesakitan.
JAKSA: Harap diingat
Sodara Pembela. Ini bukanlah sidang pidana atau perdata biasa. Ini adalah
sidang tindak susila. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Susila, para
pelanggar susila dengan sendirinya adalah orang yang sakit. Orang-orang sakit
jiwa. Orang yang berpikiran gila. Orang yang otaknya ngeres. Orang yang
pikirannya dipenuhi gagasan pornografi dan pornoaksi. Itulah sebabnya para
pelanggar susila adalah orang-orang yang hidup dalam gelimang dosa, Sodara-sodara…
Mereka sungguh-sungguh orang yang berbahaya, Sodara-sodara… Ukuran bahaya tidak
semata ditentukan dengan tindakan fisik. Tapi juga pikiran! Dan kejahatan yang
disebarkan pikiran, sudah barang tentu jauh lebih membahayakan, Sodara-sodara…
PEMBELA: Itulah yang saya anggap berlebihan!
Bagaimana pun klien saya sebagai terdakwa belum tentu bersalah, sampai
pengadilan membuktikannya bersalah. Karena itu saat ini sangatlah tidak tepat
mengatakan dia sebagai pesakitan. Dan satu hal lagi, kita ini hendak
menyidangkan perbuatan atau pikiran?!
JAKSA: Sidang tindak
susila bukan hanya berkait tindakan-tindakan yang asusila, tapi juga
pikiran-pikiran yang asusila. Ingat, Bapak Hakim, yang kita sidangkan ini bukan
hanya perbuatan pesakitan. Tapi juga pikiran pesakitan. Pikiran yang dipenuhi
gagasan-gagasan mesum dan cabul. Gagasan-gagasan yang menyebarkan penyakit
asusila. Dan kita tahu, Sodara-sodara, penyakit asu-sila, lebih cepat menular
dibanding penyakit asu-gila!
PEMBELA: Rupanya Saudara jaksa menderita paranoid…
JAKSA: Saya hanya
ingin menegaskan: yang kita lawan adalah kejahatan pikiran… Kita melawan sebuah
ide, Bapak Hakim. Ide yang yang dibungkus kebebasan berekspresi dan
keberagaman. Tapi semua itu tak lebih omong kosong, Bapak Hakim. Bagi saya, ide
kebebasan berekspresi bukanlah ide yang genial, tapi ide yang bersifat genital.
Yakni ide-ide yang hanya dipenuhi gagasan seputar alat vital. Inilah ide yang
lebih berbahaya dari pada ide komunisme…
JAKSA: (Bereaksi keras) Saya tetap keberatan! Itu sama sekali
tidak relevan!
Hakim langsung memotong.
HAKIM: Mohon Saudara
Pembela menjaga sikap. Ini ruang pengadilan, bukan pasar hewan. Ya, meski pun
saat ini sulit membedakan antara pengadilan dan pasar hewan, saya harap Saudara
Pembela bisa menjaga kesopanan…Lagi pula, saya kan belum membuka sidang…
PEMBELA: (Seolah tak memperdulikan peringatan Hakim) Saya tetap keberatan dengan semua
penyataan Saudara Jaksa yang terlalu berlebihan…
JAKSA: Semua
perkataan saya berdasarkan bukti dan fakta!
PEMBELA:Fakta yang
mana? Bukti yang mana?
Melihat Jaksa dan pembela makin keras
bertengkar, Hakim kembali mengetok palu sidang, memotong!
HAKIM: Sudara Pembela
dan Jaksa!!! Bicaralah yang pelan. Saya jantungan! Sini… (memberi kode agar
Jaksa dan Pembela mendekat.) Harap kalian bisa bekerja sama menjaga
jalannya persidangan. Saling pengertian begitu… Seperti kalau biasanya kalian
lagi tawar-menawar uang suap. Ingat, saya belum lagi membuka sidang, lha kok
kalian sudah sibuk berdebat kayak anggota dewan kurang kerjaan…
Kemudian Hakim dengan penuh wibawa
mengetokkan palu sidang. Sidang telah dibuka! Jaksa dan Pembela yang sama-sama
siap bertempur berada di posisi masing-masing.
HAKIM: Mohon petugas
melepas kepala Pesakitan… Maksud saya, melepas tutup kepala Pesakitan…
Seorang petugas segera mendekati Susila.
Petugas itu berdiri sebentar di depan Susila, kemudian segera memakai sarung
tangan karet sebagaimana yang dipakai dokter ketika hendak melakukan operasi,
kemudian begitu hati-hati membuka ikatan kepala dan mulut Susila. Begitu tutup
mulut itu terbuka, Susila terlihat sangat lega. Petugas segera menyingkir,
kembali berjaga.
Susila memandangi Pembela, seperti ingin
menyapa. Tapi Pembela segera melengos, pura-pura tidak mengenal Susila. Pembela
terlihat gelisah, apalagi ketika Susila seperti hendak memangil nama
Pembela…Untunglah Hakim segera memulai sidang…
HAKIM: Saudara
Pesakitan… Harap perhatikan kemari! Apakah benar, nama Saudara adalah Susila
Parna?
SUSILA: Dalem, Pak Hakim…
HAKIM: Apakah Saudara
Pesakitan dalam keadaan sehat?
SUSILA: Dalem, Pak Hakim…
Syukur alhamdulillah, saya sehat jasmani dan rohani. Ya, cuman agak sedikit
mengalami gangguan ejakulasi dini… Burung saya, Pak Hakim… (Bersin) Hachi…
Hakim dan semua yang hadir di ruang sidang
itu langsung menutup hidung mereka.
SUSILA: Burung saya… (Kembali
bersin) Hachi… sedikit flu…
HAKIM: (Membentak, mengetuk palu keras) Saudara Pesakitan jangan berbelit-belit…
SUSILA: (Kaget, dan latah) Eh silit.. eh sembelit… Iya, Pak Hakim…
Silit saya sakit…. maksud saya berbelit-belit… Eh, silit kok berbelit-belit…
HAKIM: (Membentak lebih keras) Mohon Saudara Pesakitan menjaga ucapan!
Dilarang ngomong jorok di persidangan!
SUSILA: (Makin
kaget, makin latah) Eh jorok jorok keprok… Dalem, Pak Hakim… (bersin)
Burung kok jorok… (bersin) Burung saya, eh, saya cuma pingin ngen…
HAKIM: (Memotong) Cuk… (dan langsung bersin, seakan
ketularan Susila) Haicih……
SUSILA: Bukan ngencuk,
Bapak Hakim tapi ngen…
HAKIM: (Kembali memotong) Cuk… Haicih… Cuk…kup, masud saya.
Cukup!
SUSILA: (Latah) Eh iya cukup,
cukup…Cukup ngencuknya, Bapak Hakim… Tapi saya tidak mau ngen…ngen…cuk, kok
Bapak Hakim…Saya cuma mau ngen…ngen…tut…
Lalu terdengar kentut yang panjang. Semua
menutup hidung. Susila terlihat sangat lega.Hakim sibuk membersihkan hidungnya
yang mendadak bersin-bersin… Dan selama Jaksa dan Pembela berbicara beikut ini,
Hakim terus sibuk membersihkan hidungnya dengan sapu tangan atau tissue.
JAKSA: Lihat sendiri,
Bapak Hakim… Kita benar-benar menghadapi Pesakitan yang tidak saja berbahaya,
tapi juga tidak punya etika. Dia telah dengan sengaja mengganggu jalannya
sidang…
PEMBELA: Klien saya hanya sedikit sakit perut,
Bapak Hakim!
SUSILA: Saya tidak
sakit perut kok… Cuma… (bersin) hacih… flu…
PEMBELA: Sama saja! Tidak penting sakit perut atau
sakit flu, intinya adalah sakit. Klien saya sedang sakit! Maka sidang ini tidak
bisa dilanjutkan!
SUSILA: Ee, tidak
apa-apa kok, Nduk…
PEMBELA: (Langsung membentak cepat) Diam! (Lalu kepada Hakim) Klien
saya mengatakan ia terkena flu… Dalam hal ini burungnya yang terkena flu…
Hakim menyodorkan tissue yang baru di
pakainya kepada Jaksa, Jaksa menerima kemudian membuang tissue itu, sementara
Pembela terus berbicara…
0 komentar
Posting Komentar