Jumat, 30 Desember 2016

Naskah Drama Sidang Susila Bagian 3

LIMA
Pelan Pembela mendekati sel Susila, menyorotkan senter ke arah Susila. Lalu Pembela memanggil Susila dengan pelan dan hati-hati,
PEMBELA: Sstt… Bangun… Bangun… Ayo bangun… Ada yang harus kita omongkan…
Susila menggeliat…
SUSILA: Saya kok sepertinya kenal kamu, ya?
PEMBELA: Saya yang akan membela kamu… Cepat ke sini…
SUSILA: (Mengingat-ingat) Kok kamu seperti…
PEMBELA: Ssttt… Sudah jangan banyak omong…
Susila mendekati jeruji selnya. Dan ketika mereka sudah berdekatan, lalu lampu senter itu menyorot juga ke wajah Pembela, Susila segera tahu…
SUSILA: Lho, kamu kan Utami, to? Kamu anaknya Ngadimin… Masih ingat tidak, saya Pakdemu.. Pakde Sus…
PEMBELA: Iya, Pakde… Saya Utami…
SUSILA: Piye kabarmu, nduk… Ayu bener Utami kowe saiki… Wah wah Utami, Utami…tambah semok kamu… Wis lulus sekolahmu? Saya denger sekarang kamu jadi pengarang cabul…
PEMBELA: Ssssttt!!! Sudah, nggak usah banyak tanya-tanya…
SUSILA: Walah-walah kok ya wis gede banget toh susumu… Wong dulu waktu kamu saya gendong-gendong, masih kecil kayak pentil kok…
PEMBELA: Ssttt!!! Pakde ini ndak berubah! Mesum terus. Pantesan Pakde ditangkap kayak gini!
SUSILA: Masak begitu…
PEMBELA: (Langsung memotong, tegas) Sudah! Pakde dengarin saja apa yang saya katakan… Nanti di persidangan, saya yang jadi pembela Pakde… Tapi nanti Pakde harus pura-pura tidak kenal saya… Jangan sampai orang-orang tahu, kalau kita masih ada hubungan darah.
SUSILA: Kamu malu ya seduluran sama Pakde…
PEMBELA: Sudah, toh. Pakde manut saja. Nurut apa yang saya katakan. Ini strategi, Pakde. Biar kita bisa menang sidang. Kalau nanti ketahuan kita masih famili, saya sendiri yang repot. Nanti saya malah diserang, dihabisi…
SUSILA: Dihabisi bagaimana?
PEMBELA: Sssttt.. Sudah toh. Saya tidak suka dibantah. Sudah, jangan ngeyel!
SUSILA: Lho tapi kan kita memang ada hubungan darah… Kalau tidak, ya sudah lama kamu saya tumpaki
Terdengar seperti ada langkah-langkah kaki Petugas yang mendekat, membuat gugup Pembela…
PEMBELA: Kalau ketahuan saya famili Pakde, saya akan dicap tidak bersih lingkungan! Nanti saya tidak bisa membela Pakde.
Suara langkah itu seperti makin mendekat…
PEMBELA: (Celingukan mendengar suara-suara itu) Pakde ngerti kan maksud saya? Ini juga buat kebaikan Pakde sendiri…
Suara langkah kaki itu makin mendekat, membuat Pembela itu ketakutan dan buru-buru menyelinap pergi…
PEMBELA: (Berhenti sejenak dan kembali berkata pada Susila) Ingat…, nanti Pakde harus pura-pura tidak kenal saya.
Panggung perlahan menggelap. Musik transisi, seperti derap langkah kaki itu lama-kelamaan terdengar seperti menderap menggemuruh, seakan ruangan itu sudah terkepung ribuang langkah kaki yang menyebar dan menderap ke segenap penjuru…
ENAM
Muncul derap serombongan demonstran, membawa bermacam poster yang menghujat Susila. “Gantung Susila”, “Hukum Susila Seberat-beratnya”, “Pornografi Antek Komunis”, “Ganyang Pornografi Pornoaksi”, dan lain-lain. Rombongan demonstran itu berteriak mengacungkan tangan dan poster-poster yang dibawanya, dan bernyanyi:
Langit hitam penuh kemesuman
Kita bergerak harus meringkusnya
Kebebasan jadi ancaman
Pikiran kotor harus dibersihkan
Yang berbeda harus disingkirkan
Moral Negara harus ditegakkan
Kita bergerak untuk ketertiban
Pornografi telah mengancam
Pikiran kotor harus dibersihkan
Yang berbeda harus disingkirkan
Penjarakan Susila… Penjarakan Pikiran
Penjarakan Susila… Penjarakan kemesuman
Penjarakan Susila… Penjarakan Susila…
Penjarakan Susila… Penjarakan Susila…
Begitu seterusnya diulang-ulang “penjarakan Susila… penjarakan Susila…”, hingga rombongan itu menderap keluar, exit, dan suara nyanyian itu terdengar makin menjauh.
TUJUH
Muncul seorang petugas, memberikan pengumunan menjelang sidang. Petugas itu membawa kentongan, kemudian memukulnya beberapa kali..
PETUGAS: Mohon perhatian. Sidang Susila dengan nomor kasus 001 antara Negara melawan Susila Parna, segera digelar di Pengadilan Tinggi Negeri Tata Susila. Harap semua tenang. Segala macam alat elektronik dan telepon selular harap dimatikan, karena akan menggangu sistem navigasi persidangan…
Petugas memukul kentongan lalu Hakim muncul diikuti Jaksa dan Pembela. Begitu Hakim, Jaksa dan Pembela on stage, petugas itu exit.
Hakim membuka siding,
HAKIM: Pesakitan harap segera dibawa ke ruang sidang!
Suasana mencekam. Susila muncul dikawal seorang petugas dengan senapan siap ditembakkan. Kemunculan Susila mengingatkan pada penjahat psikopat yang sadis, dimana kaki dan tangan Susila dirantai, sementara kepala dan wajahnya ditutup dengan ikatan dari kulit warna hitam. Mulut Susila ditutup dengan semacam keranjang, seperti penutup mulut anjing galak. Sementara sebuah kayu dipasangkan menyilang ke sebalik dua tangan Susila. Dalam todongan senjata Petugas, Susila segera didudukkan ke kursi terdakwa.
Melihat Susila diperlakukan seperti itu, Pembela langsung memprotes keras.
PEMBELA: Maaf, Bapak Hakim! Apa ini tidak terlalu berlebihan?! Klien saya bukan psikopat. Dia bukan sejenis Sumanto soloensis, yang suka memakan daging manusia. Klien saya sama sekali tidak membahayakan.
JAKSA: Jangan lupa, dia seorang penjahat susila paling tidak senonoh di negeri ini. Sodara pasti tahu, penjahat susila sudah pasti jauh lebih berbahaya dari penjahat jenis biasa. Lebih berbahaya dari pencopet. Lebih berbahaya dari garong. Bahkan lebih berbahaya dari psikopat yang paling berbahaya.
PEMBELA: Itu terlalu dilebih-lebihkan, Bapak Hakim. Klien saya tidak pernah melakukan tindakan apa pun yang membahayakan. Klien saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik… Satu hal lagi, Bapak Hakim, saya keberatan dengan penggunaan istilah pesakitan bagi terdakwa. Bagaimana pun dia tetaplah berstatus terdakwa, bukan pesakitan.
JAKSA: Harap diingat Sodara Pembela. Ini bukanlah sidang pidana atau perdata biasa. Ini adalah sidang tindak susila. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Susila, para pelanggar susila dengan sendirinya adalah orang yang sakit. Orang-orang sakit jiwa. Orang yang berpikiran gila. Orang yang otaknya ngeres. Orang yang pikirannya dipenuhi gagasan pornografi dan pornoaksi. Itulah sebabnya para pelanggar susila adalah orang-orang yang hidup dalam gelimang dosa, Sodara-sodara… Mereka sungguh-sungguh orang yang berbahaya, Sodara-sodara… Ukuran bahaya tidak semata ditentukan dengan tindakan fisik. Tapi juga pikiran! Dan kejahatan yang disebarkan pikiran, sudah barang tentu jauh lebih membahayakan, Sodara-sodara…
PEMBELA: Itulah yang saya anggap berlebihan! Bagaimana pun klien saya sebagai terdakwa belum tentu bersalah, sampai pengadilan membuktikannya bersalah. Karena itu saat ini sangatlah tidak tepat mengatakan dia sebagai pesakitan. Dan satu hal lagi, kita ini hendak menyidangkan perbuatan atau pikiran?!
JAKSA: Sidang tindak susila bukan hanya berkait tindakan-tindakan yang asusila, tapi juga pikiran-pikiran yang asusila. Ingat, Bapak Hakim, yang kita sidangkan ini bukan hanya perbuatan pesakitan. Tapi juga pikiran pesakitan. Pikiran yang dipenuhi gagasan-gagasan mesum dan cabul. Gagasan-gagasan yang menyebarkan penyakit asusila. Dan kita tahu, Sodara-sodara, penyakit asu-sila, lebih cepat menular dibanding penyakit asu-gila!
PEMBELA: Rupanya Saudara jaksa menderita paranoid…
JAKSA: Saya hanya ingin menegaskan: yang kita lawan adalah kejahatan pikiran… Kita melawan sebuah ide, Bapak Hakim. Ide yang yang dibungkus kebebasan berekspresi dan keberagaman. Tapi semua itu tak lebih omong kosong, Bapak Hakim. Bagi saya, ide kebebasan berekspresi bukanlah ide yang genial, tapi ide yang bersifat genital. Yakni ide-ide yang hanya dipenuhi gagasan seputar alat vital. Inilah ide yang lebih berbahaya dari pada ide komunisme…
JAKSA: (Bereaksi keras) Saya tetap keberatan! Itu sama sekali tidak relevan!
Hakim langsung memotong.
HAKIM: Mohon Saudara Pembela menjaga sikap. Ini ruang pengadilan, bukan pasar hewan. Ya, meski pun saat ini sulit membedakan antara pengadilan dan pasar hewan, saya harap Saudara Pembela bisa menjaga kesopanan…Lagi pula, saya kan belum membuka sidang…
PEMBELA: (Seolah tak memperdulikan peringatan Hakim) Saya tetap keberatan dengan semua penyataan Saudara Jaksa yang terlalu berlebihan…
JAKSA: Semua perkataan saya berdasarkan bukti dan fakta!
PEMBELA:Fakta yang mana? Bukti yang mana?
Melihat Jaksa dan pembela makin keras bertengkar, Hakim kembali mengetok palu sidang, memotong!
HAKIM: Sudara Pembela dan Jaksa!!! Bicaralah yang pelan. Saya jantungan! Sini… (memberi kode agar Jaksa dan Pembela mendekat.) Harap kalian bisa bekerja sama menjaga jalannya persidangan. Saling pengertian begitu… Seperti kalau biasanya kalian lagi tawar-menawar uang suap. Ingat, saya belum lagi membuka sidang, lha kok kalian sudah sibuk berdebat kayak anggota dewan kurang kerjaan…
Kemudian Hakim dengan penuh wibawa mengetokkan palu sidang. Sidang telah dibuka! Jaksa dan Pembela yang sama-sama siap bertempur berada di posisi masing-masing.
HAKIM: Mohon petugas melepas kepala Pesakitan… Maksud saya, melepas tutup kepala Pesakitan…
Seorang petugas segera mendekati Susila. Petugas itu berdiri sebentar di depan Susila, kemudian segera memakai sarung tangan karet sebagaimana yang dipakai dokter ketika hendak melakukan operasi, kemudian begitu hati-hati membuka ikatan kepala dan mulut Susila. Begitu tutup mulut itu terbuka, Susila terlihat sangat lega. Petugas segera menyingkir, kembali berjaga.
Susila memandangi Pembela, seperti ingin menyapa. Tapi Pembela segera melengos, pura-pura tidak mengenal Susila. Pembela terlihat gelisah, apalagi ketika Susila seperti hendak memangil nama Pembela…Untunglah Hakim segera memulai sidang…
HAKIM: Saudara Pesakitan… Harap perhatikan kemari! Apakah benar, nama Saudara adalah Susila Parna?
SUSILA: Dalem, Pak Hakim…
HAKIM: Apakah Saudara Pesakitan dalam keadaan sehat?
SUSILA: Dalem, Pak Hakim… Syukur alhamdulillah, saya sehat jasmani dan rohani. Ya, cuman agak sedikit mengalami gangguan ejakulasi dini… Burung saya, Pak Hakim… (Bersin) Hachi
Hakim dan semua yang hadir di ruang sidang itu langsung menutup hidung mereka.
SUSILA: Burung saya… (Kembali bersin) Hachi… sedikit flu…
HAKIM: (Membentak, mengetuk palu keras) Saudara Pesakitan jangan berbelit-belit…
SUSILA: (Kaget, dan latah) Eh silit.. eh sembelit… Iya, Pak Hakim… Silit saya sakit…. maksud saya berbelit-belit… Eh, silit kok berbelit-belit…
HAKIM: (Membentak lebih keras) Mohon Saudara Pesakitan menjaga ucapan! Dilarang ngomong jorok di persidangan!
SUSILA: (Makin kaget, makin latah) Eh jorok jorok keprok… Dalem, Pak Hakim… (bersin) Burung kok jorok… (bersin) Burung saya, eh, saya cuma pingin ngen…
HAKIM: (Memotong) Cuk… (dan langsung bersin, seakan ketularan Susila) Haicih……
SUSILA: Bukan ngencuk, Bapak Hakim tapi ngen…
HAKIM: (Kembali memotong) Cuk… Haicih… Cuk…kup, masud saya. Cukup!
SUSILA: (Latah) Eh iya cukup, cukup…Cukup ngencuknya, Bapak Hakim… Tapi saya tidak mau ngen…ngen…cuk, kok Bapak Hakim…Saya cuma mau ngen…ngen…tut…
Lalu terdengar kentut yang panjang. Semua menutup hidung. Susila terlihat sangat lega.Hakim sibuk membersihkan hidungnya yang mendadak bersin-bersin… Dan selama Jaksa dan Pembela berbicara beikut ini, Hakim terus sibuk membersihkan hidungnya dengan sapu tangan atau tissue.
JAKSA: Lihat sendiri, Bapak Hakim… Kita benar-benar menghadapi Pesakitan yang tidak saja berbahaya, tapi juga tidak punya etika. Dia telah dengan sengaja mengganggu jalannya sidang…
PEMBELA: Klien saya hanya sedikit sakit perut, Bapak Hakim!
SUSILA: Saya tidak sakit perut kok… Cuma… (bersin) hacih… flu…
PEMBELA: Sama saja! Tidak penting sakit perut atau sakit flu, intinya adalah sakit. Klien saya sedang sakit! Maka sidang ini tidak bisa dilanjutkan!
SUSILA: Ee, tidak apa-apa kok, Nduk…
PEMBELA: (Langsung membentak cepat) Diam! (Lalu kepada Hakim) Klien saya mengatakan ia terkena flu… Dalam hal ini burungnya yang terkena flu…

Hakim menyodorkan tissue yang baru di pakainya kepada Jaksa, Jaksa menerima kemudian membuang tissue itu, sementara Pembela terus berbicara…

0 komentar

Posting Komentar