PEMBELA: Artinya, ia dan burungnya terkena serangan
dari dua arah sekaligus. Seorang lelaki dan burungnya yang terkena flu, hampir
sama artinya dengan seorang ibu dan bayi yang disusuinya terkena flu.
Hakim kembali menyodorkan tissue yang
dipakainya kepada Jaksa, tapi kali ini Jaksa tidak membuangnya, namun tissue
itu malah dipakainya buat membersihkan hidunynya sendiri, kemudian tissue itu
dikembalikan laki kepada Hakim yang segera memakainya lagi buat membersihkan
hidungnya yang gatal, sementara Pembela terus berbicara,
PEMBELA: Artinya, ia dan burungnya tidak dalam
keadaan sehat untuk mengikuti persidangan! Maksud saya mungkin burungnya yang
telah membuatnya terkena flu. Kita tahu flu cepat menular, dan sudah pasti
klien saya sedang terkena flu karena itu tidak mungkin meneruskan persidangan
ini.
JAKSA: (Bertepuk tangan, bergaya memuji) Sungguh argumentasi hukum yang benar-benar
luar biasa…bodoh!
Kemudian mulai di sini, dialog ini
dibawakan dengan gaya dinyanyikan, mungkin bergaya parikan seperti dalam
ludrukan, mungkin dengan campuran irama blues atau ndangdutan…
JAKSA: Saya harap,
Sodara Pembela tidak mengaburkan persoalan. Terlalu sering alasan sakit
digunakan untuk menghindari persidangan. Bagaimana pun sidang harus
dilanjutkan, demi keadilan…
PEMBELA: (Dinyanyikan) Tidak bisa! Justru demi keadilan sidang
harus dihentikan…
JAKSA: (Dinyanyikan) Keadilan tak bisa dihentikan. Keadilan
harus tetap ditegakkan. Karena itu tuntutan harus tetap dibacakan…
Musik terus mengalun. Hakim mengetuk palu,
sambil sibuk dengan hidungnya yang gatal.
HAKIM: Baiklah.
Sidang tetap diteruskan. Lanjut, Mang…!
Musik terus mengalun.
JAKSA: (Dinyanyikan) Terimakasih, Bapak Hakim… (Sambil
bergaya membacakan dakwaaan, terus dinyanyikan) Sodara Pesakitan telah
terbukti melanggar Undang-undang Susila. Ia melakukan perbuatan pornoaksi.
Mempertontonkan susunya di muka umum…
SUSILA: (Menyanyi, menimpali, sambil memegangi
meremas-remas susunya) Oo, susuku
yang malang…
JAKSA: (Dinyanyikan)
Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-undang Susila. Dilarang mempertontonkan bagian
tubuh tertentu yang sensual…atau yang dianggap sensual. Seperti alat kelamin,
payudara, pusar, paha, pinggul, pantat…
SUSILA: (Menimpali, dengan nyanyian) Pundak lutut kaki lutut kaki, daun
telinga mata hidung dan pipi…
JAKSA: (Dinyanyian) Karna itu pesakitan mesti dihukum
seberat-beratnya. Karena dia telah mengganggu keamanan dan stabilitas moral
bangsa…
PEMBELA: (Memotong, berteriak tinggi, bicara biasa) Keberatan, Bapak Hakim!
Musik dan nyanyian berhenti. Kembali
dialog biasa. Sementara Pembela dan Jaksa berdebat, Susila terlihat mulai
kepanasan, sumuk, dan mulai membuka kancing bajunya dan kipas-kipas dengan
tangannya.
PEMBELA: Dalam penjelasan Pasal 4 tersebut
dinyatakan bahwa bagian tubuh tertentu yang sensual adalah antara lain payudara
perempuan. Terdakwa adalah seorang laki-laki. Bukan perempuan. Karena itu
tuntutan Jaksa absurd dan tak berdasar.
JAKSA: Hukum tidak
berjenis kelamin, Sodara Pembela! Prinsip hukum itu seperti slogan Keluarga
Berencana: laki-laki atau perempuan sama saja! Karena itulah semua orang harus
diperlakukan sama di hadapan hukum… kecuali, tentu saja, Ketua Mahkamah Agung…
HAKIM: Harap Saudara
Jaksa tidak keluar dari fakta-fakta persidangan…
PEMBELA: Persoalannya, Bapak Hakim… Saudara Jaksa
memang tidak punya fakta-fakta yang mendukung semua dakwaannya.
JAKSA: Faktanya
Pesakitan memang bersikap cabul dan amoral, karena mempertontonkan bagian
tubuhnya yang sensual… Lihat saja sendiri kelakuannya… Saya yakin dia seorang
eksibisionis…
Hakim terlihat bergairah memandangi Susila
yang kepanasan dan mulai membuka kancing-kancing bajunya… Hakim, menelan ludah
memandangi payudara Susila.
SUSILA: (Yang makin kelihatan kesumukan) Lha wong sumuk, je…
JAKSA: Jangan
menjawab kalau tidak ditanya! (Kemudian kepada Hakim) Bahkan Pesakitan
ini telah melanggar Undang-undang Susila secara berlapis-lapis, karena
memperjualbelikan barang-barang yang mengandung unsur pornografi….
PEMBELA: Sekali lagi saudara Jaksa menuduh tanpa
bukti dan fakta!
JAKSA: (Berteriak kepada petugas) Ambil barang bukti itu!
Seorang Petugas segera membawa masuk
barang dagangan Susila. Melihat itu Susila langsung bangkit, dan dengan riang
menghambur ke arah dagangannya, seperti menyambut kekasih yang dirindukannya.
SUSILA: Daganganku…
Oh, mainanku… Sayangku…
Semua langsung beringsut mundur
menghindari Susila. Sementara Susila terus memeluk dan menciumi mainan-dagangan
itu… Hakim segera mengatasi keadaan, memukulkan palu sidangnya.
HAKIM: Saudara
Pesakitan harap kembali duduk!
SUSILA: Mainanku… Oh
mainanku….
HAKIM: (Lebih keras) Duduk!!
SUSILA: (Kaget, latah) Eh kontol duduk… Welah kok kontol bisa
duduk…
HAKIM: Du…duk!!!
SUSILA: Dalem, Pak Hakim…
Susila pun kembali duduk…
JAKSA: Sodara
Pesakitan, benarkah barang-barang ini milik saudara?!
SUSILA: Dalem, Bu Jaksa…
Iya… itu dagangan saya…
JAKSA: Jadi jelas,
Pesakitan ini telah mengakui berdagang barang-barang porno ini!
SUSILA: Lho, itu
mainan kok, Bu Jaksa… Mainan anak-anak…
JAKSA: Mainan
anak-anak hanyalah kamuflase untuk menutupi unsur-unsur pornografi dalam
barang-barang ini.
SUSILA: Apanya yang
porno? Masak mainan gitu dibilang porno…. (Berdiri dan mendekati dagangannya)
Coba, mana yang porno? Mana? Apa mata Bu Jaksa picek, gini dibilang
porno? (Mengambil dua balon) Apa yang kayak ini porno, Bu Jaksa?
JAKSA: Itu barang
cabul, Sodara Pesakitan! Coba Sodara taruh di dada Saudara…
Dengan bingung dan tak ngerti, Susila
menempelkan dua balon itu ke dadanya – hingga mirip payudara…
JAKSA: Lihat saja
sendiri fungsi pornografis barang itu, yang membuat orang akan berfikiran mesum
karena mengingatkan pada payudara…
PEMBELA: Payudara tidaklah cabul. Sesuatu yang
sensual dan indah tidak berarti cabul. Anak-anak yang masih polos bisa melihat
keindahan payudara tanpa membuatnya jadi dosa. Kitalah, orang dewasa, yang
membuat payudara menjadi cabul, baik dengan mengeksploitasinya habis-habisan,
maupun dengan menutupinya habis-habisan…
SUSILA: (Menambahi) Plus selalu menghisapnya habis-habisan…Wong
saya juga doyan kok…
JAKSA: Itu melanggar
Undang-undang Susila!
SUSILA: Masa jualan
balon melanggar susila? (Sambil masih menempelkan kedua balon itu di
dadanya) Kalau balon kayak gini dianggap mirip payudara, lha ya payudaranya
siapa? Payudaranya Dolly Parton saja nggak segede ini kok… Kalau gede kayak
gini bukan payudara Bu Jaksa, tapi tumor… Aneh-aneh saja lho Bu Jaksa ini… Lalu
gimana kalau balon ini saya letakkan di tempat lain? Apa ya masih porno?
Misalnya begini…
Susila meletakkan dua balon itu di
selangkangannya.
SUSILA: Gimana kalau
begini… Apa begini ini kayak biji salaknya raksasa… Eh, maksud saya biji salak
raksasa?! Lha kalau bijinya segede ini, lalu segede apa batangnya?… Batang
pohonnya maksud saya… Apa ya begini porno? Kan tergantung pikiran orang yang
melihat…
Susila mengambil mainan lainnya, balon
yang panjang.
SUSILA: Apa ini juga
porno?
Susila memperlihatkan pada yang hadir,
tetapi selalu setiapkali Susila mendekat, mereka beringsut menjauhi Susila…
SUSILA: Mainan ini
membuat anak-anak bisa berfantasi… Berkhayal… Tapi kan tergantung fantasinya.
Tidak mesti yang saru-saru…. (Meletakkan balon panjang itu di atas
kepalanya) dengan begini anak-anak berkhayal seperti rusa bertanduk… (Meletakkan
balon itu di keningnya) Berkhayal jadi unicorn atau punya
cula seperti badak… (Meletakkan balon itu di hidungnya) punya hidung
mirip Pinokio… (Meletakkan balon itu di perutnya) Punya wudel
bodong… (Meletakkan balon itu di selangkangannya) dan begini… punya ekor
memanjang di bagian depan…
Susila bisa mengembangkan mengambil
mainan-mainan yang lain, kemudian mengolahnya. Setiap kali Susila mendekat,
selalu yang didekati beringsut mundur…
SUSILA: (Sampai akhirnya bertanya pada Pembela) Mainan kayak gini kan ya nggak porno toh,
nduk? Bener kan nduk omongan saya?
PEMBELA: Maaf, Anda tak udah usah sok akrab pada
saya!
SUSILA: Lho piye
toh kowe, nduk…
PEMBELA: Saya membela Saudara hanya sebatas
hubungan profesi! Dan itu bukan berarti saya setuju dengan moral saudara… (Langsung
menghidar dengan berkata pada Hakim) Bapak Hakim, kita tak bisa mengatakan
sesuatu porno hanya berdasarkan asumsi, seperti dikatakan Saudara Jaksa tadi.
JAKSA: Bagaimana
mungkin Sodara Pembela mengatakan semua bukti ini hanya asumsi? Beruntung
sekali kita berhasil menyita bukti-bukti ini! Bagaimana kalau barang-barang itu
beredar luas? Anak-anak kita akan dijejali mainan-mainan porno! Mainan ini
adalah cara untuk meracuni pikiran anak-anak kita, Sodara-sodara! Bagaimana nasib
masa depan anak-anak kita, Sodara-sodara…bila sejak dini mereka telah dijejali
dengan segala macam bentuk mainan pornografi, Sodara-sodara… Puji Tuhan! Ini
tidak bisa kita biarkan, Sodara-sodara!
Bersamaan nada bicara Jaksa yang mulai
meninggi, terdengar derap musik yang menggambarkan serombongan demonstran yang
mendekat dan mulai menderap…
JAKSA: (memandang ke arah luar ruang sidang) Lihatlah sodara-sodara kita yang berbaris
berbondong-bondong menghadiri sidang ini!
Musik makin meninggi, sementara sayup nyanyian
mulai terdengar…
JAKSA: Anda lihat
sendiri, Sodara Pembela… Semua rakyat berbaris dibelakang kita, agar kita
bertindak tegas menghukum pesakitan ini… Mereka ingin penjahat moral ini
dihukum seberat-beratnya… Hukum adalah suara rakyat… Suara rakyat adalah suara
Tuhan…
Lalu terdengar teriakan dan yel-yel para
demonstran yang makin mendekat…
JAKSA: Dengarlah
suara mereka… Suara Tuhan yang akan mengazab para pendosa yang tak
bermoral!
Kemudian teriakan-teriakan itu makin
menjadi jelas, dan muncul serombongan demontran yang membawa poster yang
ternyata berisi tunttutan agar Susila dibebaskan. Jaksa langsung bingung
melihat situasi yang tak diduganya. Ia meyangka yang datang adalah demonstran
yang mendukung Undang-Undang Susila. Ternyata mereka adalah gerombolan yang
penentang Undang-undang Susila yang menuntut pembebasan Susila Parna. Para
demosntran itu bernyanyi:
Jangan diam jangan mau dibungkam
Kita bergerak untuk perjuangan
Keragaman jangan dimatikan
Proyek moral haruslah dilawan
Yang menindas suara kebenaran…
Bebaskan Susila… Bebaskan Pikiran
Bebaskah Susila… Bebaskan kehidupan
Bebaskan Susila… Bebaskan Susila…
Bebaskan Susila… Bebaskan Susila…
Begitu seterusnya diulang-ulang “bebaskan
Susila… bebaskan Susila…”. Kepanikan juga melanda Hakim. Pembela tampak
bingung. Jaksa gemetar menahan amarah. Semua menatap barisan demosntran yang
menderap keluar, exit.
Saat itulah muncul Petugas Kepala, panik
dan gugup,
PETUGAS KEPALA: Maaf, Bapak Hakim… Ini benar-benar diluar
perhitungan kita… Mereka menuntut pembebasan Pesakitan kita…
Teriakan dan nyanyian demonstran it uterus
terdengar. Petugas Kepala dengan cepat segera mengamankan Hakim dan Jaksa.
Beberapa Petugas langsung menggiring Susila di bawah ancaman senapan. Musik
makin meninggi. Panggung menggelap. Terdengar teriakan-teriakan itu: “Bebaskan
Susila!… Hidup Susila!….”
0 komentar
Posting Komentar