DELAPAN
Setelah musik mereda dan teriakan-teriakan
mengendap, pada satu sisi panggung cahaya mulai menerang: terlihat Susila yang
terkurung di balik selnya, sementara dua petugas tampak asik bermain catur.
SUSILA: (Pelan memangil petugas-petugas itu) Mas… Mas…
Dua petugas itu abai, terus asyik main
catur…
PETUGAS 2: (Memainkan bidak) Ster!
SUSILA: Mas… (memukul-mukul
jeruji)… Mas…
PETUGAS 1: Bisa diam tidak!
SUSILA: Saya mau minta
tolong…
PETUGAS 2: Sudah, nggak usah didengerin… Ayo jalan…
Petugas 1 terlihat sibuk berfikir keras
memandangi papar caturnya.
SUSILA: Mas… Mbok
saya minta tulung…
PETUGAS 2: Minta tolong apa?
SUSILA: Belikan
mainan… Saya kangen sama mainan saya…
PETUGAS 2: (Kepada petugas satunya) Aneh banget kan permintaannya… Ini
permintaan paling aneh selama saya jadi penjaga penjara. Biasanya tahanan itu
minta dicarikan narkoba… Kamu kok malah minta mainan!
SUSILA: Ayo toh mas,
beliin saya mainan…
PETUGAS 1: Sudah, sudah.! Aku jadi nggak bisa konsen!
SUSILA: Please deh, Mas…
Cariin saya mainan.
PETUGAS 2: (Kepada petugas satunya, yang terlihat
berfikir memandangi papan catur) Ayo cepet
jalan… Apa nyerah? Kamu itu tidak mungkin menang…
Petugas 2 bergaya dan bersikap meremehkan,
mengambil uang taruhan yang tergeletak di samping papan catur, kemudian Petugas
2 mengipas-gipaskan uang itu ke muka Petugas 1 yang masih terus serius
mengamati papan catur, bingung memikirkan langkahnya. Susila dari dalam selnya
ikut memerhatikan papan catur itu.
SUSILA: Begitu saja
kok pusing…
PETUGAS: Sudah jangan
cerewet!
SUSILA: Kudamu maju
saja depan benteng.
Petugas 1 menatap Susila marah, tapi
kemudian melihat lagi papan caturnya, dan melihat bahwa omongan Susila itu
benar. Dia senang dan segera melangkahkan kudanya seperti yang dibilangin
Susila.
Petugas 2 kaget, tapi segera memakan kuda
itu.
SUSILA: Nah sekarang
bentengmu langsung maju… Dua langkah pasti langsung mat!
Petugas 1 kelihatan di atas angin. Petugas
2 kelihatan jengkel. Setelah dua kali langkah, Petugas 2 benar-benar terkejut.
PETUGAS 1: Skak!
PETUGAS 2: (Menatap Susila marah) Oo… bajigur!
PETUGAS 1: (Bernyanyi-nyanyi gembira karena
menang) Sekak mati… Sekak mati…
Petugas 1 langsung meraih lembaran uang
taruhan yang tadi dipegangi Petugas 2. Petugas 2 begitu marah pada Susila dan
hendak memukul. Susila beringsut mundur menjauhi jeruji…
PETUGAS 1: Ayo, main lagi tidak?
Petugas 2 dengang jengkel segera pergi,
exit. Petugas 1 memandang kepergian Petugas 2, meyakinkan kalau rekannya itu
memang benar-benar sudah pergi, lalu dengan hati-hati mendekati Susila…
PETUGAS 1: Kamu pinter main catur ya…
SUSILA: Keciiil…..
Petugas 1 melongok-longok keadaan.
PETUGAS 1: Ajarin saya, ya…
Lalu Petugas 1 mendekatkan kursi panjang
ke dekat sel.
SUSILA: Nanti kamu
ketularan…
PETUGAS 1: Jangan gitu ah… Saya tahu sampeyan tidak
berbahaya kok… Gimana, mau ya ngajari saya?
Lalu keduanya mulai menata bidak-bidak
catur itu, dengan Susila tetap berada dalam sel. Hanya tangan Susila yang
keluar dari sela jeruji ketika memainkan bidak-bidak catur… Selama percakapan
berikut, keduanya terus bermain catur.
PETUGAS 1: Sebenarnya saya juga pernah beli mainan
sama sampeyan lho… Waktu itu anak saya nangis terus… minta dibeliin mainan…
Padahal uang saya kurang… Untung sampeyan mau ngutangi dulu…Ingat tidak?
SUSILA: Saya itu
terlalu banyak diutangi orang, Mas… Sampe saya susah ngingat siapa saja yang
utang sama saya… Apalagi tampang kayak sampeyan ini memang khas dan spesifik
seperti tampang dunia ketiga yang suka ngutang…
PETUGAS 1: Ya sudah, ini saya bayar.
Petugas 1 mengeluarkan uang yang tadi
didapatnya karena menang main catur, dan menyodorkannya pada Susila.
SUSILA: Ndak usah….
Ndak usah…
Petugas 1 kembali hendak mengantongkan
uang itu.
SUSILA: Eeh…, nanti
kamu beliin saya mainan saja ya…
Kemudian keduanya kembali main catur.
Di sisi panggung yang lain, muncul Hakim
dan Petugas Kepala, keduanya berjalan beriringan. Adegan antara Hakim dan
Petugas Kepala ini, paralel dengan adegan Susila dan Petugas 1 yang sedang main
catur.
HAKIM: Kita tak bisa
membiarkan kekacauan ini berkembang!
PETUGAS KEPALA: Saya akan segera membereskan semuanya,
Bapak Hakim. Jangan khawatir…
HAKIM: (Mengeluarkan poster bergambar wajah
Susila yang memakai baret mirip Che Gouvara) Lihat poster
ini! Dia rupanya telah jadi idola kaum pembangkang. Saya melihat poster ini
ditempel memenuhi dinding kota!
PETUGAS KEPALA: Intelejen kita sudah mengetahui siapa
dibelakang ini semua. Ada dua kekuatan ekstrem yang harus kita curigari, Bapak
Hakim. Pertama kelompok yang menyebut dirinya GAM… Gerakan Anti Moral…Dan yang
kedua adalah gerakan sparatis OPM… Organisasi Penggemar Maksiat… Mereka telah
menjadikan Susila sebagai ikon perlawananan mereka. Merekalah yang menggalang
perlawanan menentang diberlakukannya Undang-undang Susila.
Susila bicara kepada Petugas 1 sambil
terus main catur.
PETUGAS 1: Kenapa sih sampeyan tidak menyerah saja.
SUSILA: Mau menang
begini kok menyerah…
PETUGAS 1: Bukan menyerah main catur… Tapi menyerah
mengakui kesalahan sampeyan…
Hakim kepada Petugas Kepala, sambil
berjalan beriringan…
HAKIM: Kamu harus
membuatnya menyerah. Lakukan segala cara, yang penting dia mau mengaku salah!
Sambil terus main catur, Susila kepada
petugas itu,
SUSILA: Kalau saya
salah, nggak usah dipaksa juga saya akan ngaku salah. Lha, tapi ini saya nggak
merasa salah apa-apa kok…
Hakim dan Petugas kepala, sambil berjalan
beriringan,
PETUGAS KEPALA: Saya telah mengatur seorang petugas untuk
membujuknya.
Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain
catur,
PETUGAS 1: Kalau sampeyan mengaku salah, kan sampeyan
bisa diampuni.
SUSILA: Diampuni
gimana? Lha sidangnya saja belum rampung, kok diampuni… Orang itu harus
disidang dulu, dibuktikan kesalahannya. Baru diampuni…
Hakim dan Petugas Kepala, sambil berjalan
beriringan,
PETUGAS KEPALA: Apakah kita benar-benar akan mengampuni
pesakitan ini?
HAKIM: Tentu saja
tidak. Kita hanya bujuk dia dengan menjajikan ampunan, biar mau mengaku salah.
Kalau dia sudah mengaku salah, berarti dia secara sah telah bersalah. Itu
kesempatan kita menggoroknya…
Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain
catur,
PETUGAS 1: Posisi kamu ini sekarang lagi susah. Kamu
bersalah atau tidak bersalah, bukan ditentukan apakah kamu memang benar-benar
bersalah atau benar-benar tidak bersalah… (Memainkan caturnya) Skak! Kamu
salah atau tidak salah, tetap akan diputuskan salah…
Hakim dan Petugas Kepala, sambil berjalan
beriringan…
PETUGAS KEPALA: Yang penting saya memperoleh dukungan
penuh kalau mesti mengambil tindakan-tindakan darurat.
HAKIM: Proyek
moralitas dibenarkan sepanjang itu menguntungkan… Apapun yang kamu lakukan
untuk kepentingan proyek Syariat Moral ini, kamu pasti memperoleh dukungan.
Susila dan Petugas 1, sambil terus bermain
catur,
PETUGAS 1: Atau jangan-jangan kamu merasa untung di
penjara begini? Kamu senang karena sekarang banyak yang memuja kamu… Kamu
diam-diam menikmati kan?
SUSILA: Gundulmu!
Ditahan begini kok menikmati…
PETUGAS 1: Justru karena ditahan begini, kamu jadi
dianggap pahlawan oleh banyak orang. Kamu dijadikan poster. Namamu diteriakkan
para demosntran… Lalu kamu merasa ngetop? Kamu rupanya telah mengindap sindrom
orang yang merasa dirinya pahlawan. Kamu memperoleh kepuasan ketika orang di
sekelilingmu begitu memujamu…
SUSILA: Prek!
PETUGAS 1: Apa kamu nggak sadar, orang-orang itu
sebenarnya tidak memujamu, tapi memanfaatkanmu… Kamu hanya dijadikan tumbal
perlawanan…
Hakim kepada Petugas Kepala,
HAKIM: (Menyerahkan selembar cek) Ini cek untuk kebutuhan dana taktis…Ini
bukan berarti saya memanfaatkan aparat macam kamu lho, ya…
PETUGAS KEPALA: Tak usah sungkan-sungkan… Saya tak merasa
diperalat kok… Karena aparat seperti saya ini memang sudah terbiasa ikhlas
diperalat…Kalau lama tak diperalat, ayan saya malah kumat… Saya kira ini juga
akan menstimulus militansi anak buah saya…Bapak Hakim tahu, belakangan ini anak
buah saya lebih suka menangkapi para pelanggar susila, ketimbang menangkapi
pelanggar lalu lintas…Karena inkam-nya jauh lebih menguntungkan.
Sementara Susila yang terlihat marah
ngambek, kepada Petugas 1,
SUSILA: Kamu kira saya
merasa untung dengan ditahan begini?!
PETUGAS 1: Maaf… Saya ngomong seperti tadi karena
saya tidak ingin kamu celaka…Saya tahu sampeyan tidak melanggar… Sampeyan hanya
korban. Sengaja dikorbankan… Nama sampeyan dijelek-jelekkan…. Dianggap bahaya
laten… Kalau ada yang tahu saya ngobrol sama sampeyan begini, pasti saya
langsung dipecat. Keluarga saya pasti dihabisi…. Dianggap tidak bersih susila.
SUSILA: Lalu kenapa
kamu menuduh saya justru menikmati semua itu?!
PETUGAS 1: Saya khawatir saja kok… Khawatir karena
saya denger malam ini sampenyan mau dieksekusi…
Susila jadi terlihat gelisah, raut
wajahnya seperti dipenuhi bayangan kematian…
Hakim kepada Petugas Kepala,
HAKIM: Saya hanya
khawatir kalau petugas itu justru tergoda…
PETUGAS KEPALA: Saya berani menjamin loyalitas para anak
buah saya, Bapak Hakim…
Petugas 1 berbicara kepada Susila,
PETUGAS 1: Makanya, cepat pergi… Pergi… Kamu lihat,
pintu sel sengaja tak saya kunci… Kamu bisa pergi sebelum tengah malam nanti…
Sementara itu Hakim dan Petugas Kepala
berhenti, dan langsung memandang ke arah Petugas 1 yang sedang membujuk Susila…
Petugas 1 tak menyadari kemunculan Hakim dan Petugas kepala…
PETUGAS 1: Pergilah… pergilah… Saya nggak ingin
melihat kamu dihukum mati.
Hakim dan Petugas Kepala yang sudah
berdiri di belakang Petugas 1 itu langsung menghardik,
HAKIM: (Menghardik) Kamu yang pantas dihukum mati!!
Petugas 1 begitu kaget, ia berbalik dan
melihat Petugas Kepala dan Hakim yang sudah berdiri menatapnya. Langsung
Petugas 1 mengemasi bidak-bidak catur, memdekap papan catur itu dengan gemetar…
HAKIM: (Kepada Petugas Kepala) Sekarang saya tahu loyalitas anak buah
kamu! Saya kira kamu cukup cerdas untuk membuktikan loyalitasmu!
Hakim menatap tajam Petugas Kepala,
kemudian langsung bergegas pergi, exit. Tinggal Petugas Kepala menatap penuh
amarah pada Petugas 1, membuat petugas satu menggil ketakutan, lalu
berlahan-lahan duduk bersimpuh sembari mendekap papan catur,
PETUGAS 1: Ampun…..
Lalu perlahan Petugas 1 itu merangkak,
mendekati Petugas Kepala yang terus berdiri mematung penuh kemarahan.
PETUGAS 1: (Sambil terus merangkak) Ampun….. Maafkan saya, Pak….. Ampun…
Ampun…
Susila memandangi semua itu dari dalam
selnya. Ia juga terlihat ketakutan, bingung. Sampai kemudian Petugas 1 itu
bersimpuh di bawah kaki Petugas Kepala, memegangi kakinya, terus memohon ampun.
Suara tangis dan ampunan Petugas itu kemudian seperti tercekat
dikerongkongannya, ketika dengan tenang Petugas Kepala mengeluarkan pistolnya.
Petugas kepala itu mengarahkan pistolnya tepat di kepala Petugas 1. Susila
ngeri menyaksikan itu, dan menutup wajahnya. Lalu terdengar letusan senjata.
Gelap seketika.
Musik transisi…
0 komentar
Posting Komentar