SEMBILAN
Pembela berjalan tergegas terburu-buru,
melintas panggung. Tapi mendadak muncul Jaksa, seperti menghadang. Melihat itu
Pembela langsung berbalik, berusaha menghindar, dan segera kembali bergegas.
Tapi mendadak muncul Hakim, menghadang jalan di depannya,
HAKIM: Kenapa
terburu-buru…
PEMBELA: Maaf, saya mesti bertemu wartawan… (bergaya
sibuk dengan berkas-berkas yang dibawanya)… Saya mesti meluruskan beberapa
pemberitaan yang cukup mengganggu…
Lalu Pembela segera berbalik, mencoba
menghidari hadangan Hakim,
JAKSA: (Dengan santun menghadang Pembela) Sudah lama kita tak makan siang bersama…
PEMBELA: (Dengan santun dan halus) Mungkin lain waktu.
JAKSA: Bukankah dulu
kamu selalu mengatakan ngobrol makan siang selalu lebih menyenangkan dari pada
di ruang siding.
PEMBELA: Tapi ini bukan saat yang menyenangkan
untuk itu…
Pembela menghindari Jaksa, berbalik
bergerak menjauh, tetapi kembali di hadang Hakim,
HAKIM: (Bernada membentak mengancam) Menyenangkan atau tidak. Kamu punya waktu
atau tidak… Yang jelas kita mesti bicara! Saya tak terbiasa basa-basi!
PEMBELA: Ciri hakim yang baik memang tak suka
basa-basi… terutama kalau minta sogokan…
HAKIM: (Bernada marah, kepada Jaksa) Lihatlah caranya bicara! Gayanya persis
pejuang yang minta perhatian.
JAKSA: (Menenangkan suasana) Biarlah saya yang bicara… (Kepada
Pembela, penuh pengertian) Saya bangga dengan kegigihanmu membela pesakitan
itu. Tapi marilah kita pikirkan hal yang lebih besar. Situasi makin
membahayakan keamanan Negara. Pesakitan itu makin tak terkedali. Kau pasti
sudah dengar: pesakitan itu sudah membunuh seorang petugas!
PEMBELA: Bukan seperti itu yang saya dengar… Karena
itulah saya berkewajiban meluruskan berita soal itu!
HAKIM: (Menyodorkan map) Laporan kronologi peristiwanya ada di
sini! Semua tertulis detail terperinci… Pesakitan itu menyerang petugas itu
dengan membabi buta, membunuhnya… kemudian memperkosa mayatnya…
PEMBELA: (Sambil mengamati membaca kertas-kertas
dalam map itu) Saya rasa, laporan
ini hanya merupakan fantasi orang yang menuliskannya.
HAKIM: Satu petugas
terbunuh! Itu bukan fanasi, anak muda! Bayangkan kalau pesakitan itu bisa
meloloskan diri. Dan dia memang selalu berusaha melarikan diri dari selnya.
Bayangkan orang seperti itu berkeliaran di jalan-jalan. Ia pasti akan menyergap
anak-anak kecil yang masih manis. Mencekik mereka, kemudian memperkosanya.
Seorang maniak seks seperti dia tak akan puas hanya memperkosa satu dua kali…
Bayangkan: berapa anak-anak yatim dan janda-janda – yanag seharusnya dipelihara
oleh negara – akan diperkosa oleh pesakitan itu!
JAKSA: Saya hanya
minta kerjasamamu seperti biasanya. Saya tahu, kasus ini peluang bagi kariermu
sebagai pembela. Inilah kesempatanmu masuh dalam deretan sejarah orang-orang
yang dengan gigih memperjuangkan keadilan. Tapi buat apa? Buat apa keadilan
kalau itu hanya akan menghasilkan ketakutan dan kengerian bagi yang lain…
HAKIM: (Bernada penuh ancaman) Dan bukan tidak mungkin kengerian itu
akan menimpamu sendiri, anak muda!
PEMBELA: Itu nasehat ataukah ancaman?!
Jaksa dengan halus mencoba melerai dan
menuntun Pembela menjauhi Hakim. Sementara pada saat bersamaan Jaksa itu juga
memberi isyarat kempada Hakim akan bisa menahan diri (seakan-akan mengatakan,
biarlah ia yang bicara dengan Pembela). Dari sinilah akan makin terasa betapa
ada hubungan khusus antara Jaksa dan Pembela.
JAKSA: Kamu jangan
salah faham. Kami sama sekali tak mengancammu. Lagi pula, siapakah sesungguhnya
yang mengancam? Dan siapa yang paling merasa terancam? Sumber ancaman jelas,
ditebarkan oleh pesakitan itu. Ia tidak sendirian. Ingatlah orang-orang yang
kini telah memujanya, yang menganggapnya pahlawan perlawanan. Mesiah yang akan
membebaskan! Yang kita hadapi adalah keyakinan! Pemujaan! Sekte! Aliran sesat
yang memuja kebebasan! Karena itulah, yang kita hadapi bukan cuma seorang
pesakitan. Kita sedang berhadap-hadapan dengan sebuah gagasan yang memuja
kebebasan. Gagasan yang mengatasnamakan keberagaman! Bayangkan bila gagasan ini
meracuni seluruh rakyat kita?! Seluruh persendian moal yang telah kita bangun
akan runtuh! Karna itu yang sedang kia perjuangkan bukan semata Undang-undang.
Kita memperjuangkan keyakian. Prinsip moral. Bahwa bangsa ini harus memiliki
sistem moral yang kuat…
PEMBELA: Sistem moral yang kuat, ataukah sebuah
upaya untuk memonopoli kebenaran!
JAKSA: Sssstt… Jangan
membantah dulu. Kamu masih muda… (Membelai Pembela dengan mesra)… Masa
depanmu masih ranum. Dan kami bisa memilihkan masa depan yang akan menyenangkan
buat kariermu. Saya bangga kamu jadi pembela moral yang gigih… Tapi ingatlah,
kita ini hanya sekadar menjalankan peran… Sistem ini hanya berjalan kalau kita
bisa menjalankan peran kita masing-masing dengan baik dan penuh saling pengertian…
Pembela tampak gelisah dengan sikap mesra
Jaksa kepadanya.
PEMBELA: Karna itulah saya mencoba menjalankan
peran konstitusional saya dengan sebaik-baiknya…
JAKSA: Jalanilah
dengan baik…, tapi jangan naif… Apa kamu kira kamu bisa serta-merta jadi pembala
dalam kasus ini, bila kami tak menginginkannya? Kami yang memilihmu jadi
pembela… Aku sendriri yang merekomendasikan agar kamu diberi kesempatan untuk
ikut mengambil bagian dalam peran ini… (Bersikap sangat mesra) Karna aku
tahu kamu… kemampuanmu… impianmu… Tapi jangan kecewakan aku…
PEMBELA: Saya harus membelanya…
HAKIM: (Tegas penuh sindiran) Memang sudah menjadi kewajiban, seorang
keponakan membela pamannya!
Pembela langsung gugup dan kaget.
HAKIM: Apa kamu pikir
kami tak tahu kekerabatanmu dengan pesakitan ini. Saya punya informasi lengkap
tenang kamu. (Melihat-lihat catatan dalam map, dan membacanya) Nama:
Utami… Lulus fakultas Hukum lima tahun lalu… Suma cum laude … Jadi
aktivis pers mahasiswa… Hobi menulis sastra… Pernah menerbitkan novel yang dituduh
penuh adegan porno…
PEMBELA: Saya menulis sastra, bukan novel porno!
HAKIM: Terserah… saya
tak perduli apakah sastra atau porno! Yang jelas itu sasstra jenis SMS… Sastra
Mazhab selangkangan! Saya bisa menangkap kamu karna menulis novel itu!… (Kembali
membaca data di map) … Pernah kost di Utan Kayu… Berkencan… dan punya
hubungan sejenis dengan…
JAKSA: (Gugup cepat memotong) Bukankah soal yang itu kita sudah sepakat
akan mengabaikannya!
HAKIM: Oh ya, ya… (Mencoret
kertas di map)…
JAKSA: Terimakasih…
HAKIM: Tapi fakta
bahwa ia punya hubungan darah dengan pesakitan itu, saya kira tidak bisa kita
abaikan… (kepada Pembela) Itu artinya, kamu tidak bersih lingkungan…
Lebih-lebih, dalam arsip ini, kamu disebut-sebut bersama Ulil ikut dalam
Jaringan Moralis Liberal…
Pembela terpojok dan tak berdaya, ia
menatap Jaksa, seakan-akan minta perlindungan…
JAKSA: Kamu masih
punya kesempatan…
Jaksa bersikap mesra pada Pembela, dan
Pembela seperti tak berdaya menolak pelukan mesra itu.
JAKSA: Saya yakin
kamu cukup bijak menentunkan… Kamu punya kesempatan untuk meraih masa depan
yang lebih cerah… Bayangkan… Kamu tak hanya jadi pembela, tapi punya posisi
yang strategis… Mungkin kamu bisa dipromosikan menjabat ketua Komite Indipenden
Pemantau Moral.
PEMBELA: Terimakasih…
JAKSA: Atau bahkan
kamu bisa menjadi ketua MA…
PEMBELA: (Gembira) Mahkamah Agung?
JAKSA: Bukan…
Mahkamah A-moral.
Jaksa makin menatap penuh kasih sayang…
JAKSA: Sekarang
pergilah…
Pembela pergi… Jaksa memandanginya
kepergian Pembela dengan tatapan penuh mesra… Sampai terkejut ketika Hakim
bersuara
HAKIM: Kamu
menatapnya seperti menatap kenangan…
JAKSA: Setiap kita
punya kenangan, Bapak Hakim… Kenangan yang ingin kita simpan … Kenangan yang
jadi rahasia… Bukankah setiap orang juga punya rahasia, Bapak Hakim?!
Hakim tersenyum penuh pengertian. Jaksa
mengulurkan tangan, semacam isyarat penuh godaan. Lalu Hakim mendekati Jaksa,
meraih tangannya, mencium telapak tangan Jaksa dengan lembut. Kemudian Hakim
membimbing Jaksa dengan mesra.
Keduanya berjalan ke satu sudut, dimana
kemudian keduanya menjadi bayangan. Mereka berpelekan. Bergairah dan bercumbu
liar. Hakim tampak mengikat kedua tangan Jaksa terentang. Kemudian dengan penh
gairah mencambuki tubuh Jaksa dengan penuh berahi.
Sayu-sayup terdengar suara orang menembang,
penuh kepedihan…
SEPULUH
Tembang itu terus mengalun…
Susila, dalam selnya, tergeragap mendengar
suara tembang itu. Ia sperti terkenang akan tembang itu. Tembang itu bagai
mengingatkannya pada hari-harinya yang tenang. Dalam keremangan, terlihat sesesok
perempuan yang sedang menembang itu.
SUSILA: Siapa itu?
Sesosok perempuan itu beringsut mendekat
dalam kegelapan…
SUSILA: Siapa?
MIRA: Aku… Mira…
SUSILA: Mira? Mira
siapa? Mirasantika? Mira Diarsi? Mira Lesmana? Atau Miranda Goeltom?
Tembang berhenti. Sunyi sejenak.
SUSILA: Siapa?
Tak ada jawaban. Sunyi membuat Susila
gelisah. Tiba-tiba terdengar seperti suara pintu dibanting, keras.
SUSILA: (Kaget, latah) Eh, kontol copot…copot..copot…
(memandang mencari-cari sesuatu di lantai) Mana…mana… (Lalu melihat
dalam sarungnya, kemudian tersenyum) Eh, masih…
MIRA: Kamu masih di
situ?
SUSILA: Eh iya,
masih…(sambil terus memandangi ke dalam sarungnya)… masih utuh…
Lalu perlahan-lahan muncul Mira, bagai
keluar dari dalam lobang persembunyian… Susila terkejut dan segera
mengenalinya,
SUSILA: Kamu… Kamu
penari tayub itu, kan? Kamu kok bisa kemari? Apa penjaga-penjaga itu…
MIRA: Nggak usah
khawatir… Aku sudah memuaskan penjaga-penjaga itu dengan goyangan… Kawan-kawan
menyuruhku menemuimu… Karna kami harus yakin bahwa kamu tetap setia pada
perjuangan kita.
Susila tampak kebingungan,
SUSILA: Perjuangan?
MIRA: Beberapa kawan
mulai curiga kamu akan menyerah… Mereka takut kamu akan membocorkan rahasia
kita!
SUSILA: Rahasia apa?
Wahh, saya nggak mudeng…
MIRA: Berhentilah
main-main, Susila! Atau kamu tak mempercayaiku?! Sengar, Susila.. aku kemari
karena ingin menyelamatkanmu! Saat melihatmu tayuban dulu, aku sudah merasa,
kamu memang pejuang sejati…
SUSILA: Kamu itu
ngomong apa?
MIRA: Aku yang
harusnya bertanya, kamu sudah ngomong apa saja pada petugas-petugas itu? Apa
kamu cerita kalau rombongan tayub kami sesungguhnya para gerilyawan moral yang
sedang menyusup ke kota? Jawab, Susila!
SUSILA: Eh, jawab
jawab… Jawab apa?
MIRA: Berapa nama
yang sudah kamu sebut?
SUSILA: Nama apa? Saya
nggak ngerti…
MIRA: Jadi benar?
SUSILA: Apanya yang
benar?!
MIRA: Kamu sudah
membocorkan rahasia perjuangan kita….
SUSILA: Perjuangan
apa? Kita siapa? Aku nggak mudeng…
MIRA: Kamu kok aneh
begitu? Kamu memang sudah berubah… Kamu pasti lelah. Tapi aku yakin kamu mampu
bertahan. Meski banyak kawan-kawan seperjuangan meragukan keteguhanmu. Makanya
mereka mengirimku ke mari… Mereka ingin aku membunuhmu… Karena mereka tahu aku
diam-diam menyintai kamu… Sejak pertama melihatmu di tayuban dulu, aku memang sudah
jatuh cinta sama kamu… Ah, cinta pada pandangan pertama… Sejak kamu ditahan,
aku selalu mencemaskanmu, Sus… Dan kawan-kawan seperjuangan bisa merasa
perasaan cintaku padamu bisa menjadi awal petaka…Mereka lalu menuntut
keteguhanku: memilihmu atau memilih perjuangan… Tapi saya tak mau membunuhmu,
Susila…
Tolong saya… Sekarang kamu lari… (menyerahkan
kunci) Ini kuncinya… Larilah… kamu bisa menghilang ke mana saja…
Susila menatap kunci yang disodorkan Mira,
tapi tak menerimanya, malah ketakutan,
SUSILA: Tidak… Tidak…
kalau kabur pasti saya diburu…
MIRA: Ini demi
keselamatanmu, Susila… Atau kamu memang sudah betah di penjara ini?… Begitu?
Aku mendengar desas-desus kalau kamu memang diperlakukan baik di sini. Kami
justru merasa nyaman dalam penjara. Penjara membuatmu merasa makmur!
SUSILA: Oo uedan tenan! Di penjara kok makmur!
MIRA: Kalau kamu
nggak senang, larilah… Semakin lama kamu dipenjara, kawan-kawan malah semangkin
cemas. Kamu akan tergoda. Lalu kamu membocorkan rahasia kita. Saya ingin kamu
selamat. Tapi aku juga ingin semua kawan-kawan seperjuangan kita selamat….
SUSILA: Mbuh, mbuh… Saya nggak mudeng. Nggak mudeng!
MIRA: Ingat, Sus…
Orang-orang di luar begitu berharap padamu. Kamulah satu-satunya harapan kita.
Diam-diam banyak rakyat yang memujamu. Kalau kamu sampai menyerah, habislah
seluruh perjuangan kita… Sampai saat ini aku terus bergerilya menyamar jadi
penari tayub.. Kamu pikir, apa yang membuat saya tahan melakukan semua itu?
Kamu, Sus… Kamu… Kamu-lah yang membuat aku yakin bahwa apa yang kini aku jalani
dan yakini tidak akan sia-sia…
Susila terbengong-bengon, bingung dan
hanya terdiam di dalam sel. Mira berusaha mengulurkan tangannya menyentuh
Susila, mengelus-elus Susila dengan ujung jari-jarinya,
MIRA: Ayo, Sus… Kamu
harus keluar dari sini…
Susila tiba-tiba langsung beringsut
menjauh, dan nampak malu,
SUSILA: Lha ini… baru
disentuh kamu saja sudah keluar…
MIRA: Ayolah, Sus…
Larilah… Aku tak ingin kamu mati konyol…
SUSILA: Kamu yakin
kalau saya lari saya tak akan mati? Di penjara ini saya bisa mati… Kabur pun
saya pasti mati… Saya nggak ngerti… Jaman apakah ini… Jaman harta? Jaman
susila? ….Dulu zaman Suharto, zaman nyari harta. Sekarang kan zaman Susila.
Zaman menegakkan susila. Su-sila…, dasar yang baik. Setelah dapat harta, lantas
nyari susila…. Tapi saya? Sudah nggak dapat harta, eh malah kesandung susila…
Apalagi yang bisa saya percaya?
MIRA: Percayalah
sama saya… Kamu hanya lelah…
Terdengar suara kemerontang, seperti ada
yang dating. Mira segera bangkit, melihat keadaan. Lalu buru-buru menyodorkan
lagi kunci ke arah Susila.
MIRA: Ini kuncinya…
Kunci hidup matimu!!!
Susila hanya memandang, bergeming. Suara
seperti pinu sel di dorong kembali terdengar. Mira buru-buru melempar kunci tu
ke dalam sel Susila, hingga jatuh tak jauh dari kaki Susila yang terus
bergeming.
Kemudian Mira segera menyelinap pergi…
Susila tanpak bingung. Ia memandangi kunci
itu. Ia bergerak hendak memungutnya. Tetapi kemudian tak jadi. Ia terlihat
begitu bingung. Ragu memandangi kunci itu…Sampai kemudian ia tiba-tiba begegas
mengambil kunci itu. Tangannya gemetar membuka selnya.
Susila kabur…
Terdengar sirene meraung-raung!
0 komentar
Posting Komentar