Jumat, 30 Desember 2016

Naskah Drama Sidang Susila Bagian 6

SEMBILAN
Pembela berjalan tergegas terburu-buru, melintas panggung. Tapi mendadak muncul Jaksa, seperti menghadang. Melihat itu Pembela langsung berbalik, berusaha menghindar, dan segera kembali bergegas. Tapi mendadak muncul Hakim, menghadang jalan di depannya,
HAKIM: Kenapa terburu-buru…
PEMBELA: Maaf, saya mesti bertemu wartawan… (bergaya sibuk dengan berkas-berkas yang dibawanya)… Saya mesti meluruskan beberapa pemberitaan yang cukup mengganggu…
Lalu Pembela segera berbalik, mencoba menghidari hadangan Hakim,
JAKSA: (Dengan santun menghadang Pembela) Sudah lama kita tak makan siang bersama…
PEMBELA: (Dengan santun dan halus) Mungkin lain waktu.
JAKSA: Bukankah dulu kamu selalu mengatakan ngobrol makan siang selalu lebih menyenangkan dari pada di ruang siding.
PEMBELA: Tapi ini bukan saat yang menyenangkan untuk itu…
Pembela menghindari Jaksa, berbalik bergerak menjauh, tetapi kembali di hadang Hakim,
HAKIM: (Bernada membentak mengancam) Menyenangkan atau tidak. Kamu punya waktu atau tidak… Yang jelas kita mesti bicara! Saya tak terbiasa basa-basi!
PEMBELA: Ciri hakim yang baik memang tak suka basa-basi… terutama kalau minta sogokan…
HAKIM: (Bernada marah, kepada Jaksa) Lihatlah caranya bicara! Gayanya persis pejuang yang minta perhatian.
JAKSA: (Menenangkan suasana) Biarlah saya yang bicara… (Kepada Pembela, penuh pengertian) Saya bangga dengan kegigihanmu membela pesakitan itu. Tapi marilah kita pikirkan hal yang lebih besar. Situasi makin membahayakan keamanan Negara. Pesakitan itu makin tak terkedali. Kau pasti sudah dengar: pesakitan itu sudah membunuh seorang petugas!
PEMBELA: Bukan seperti itu yang saya dengar… Karena itulah saya berkewajiban meluruskan berita soal itu!
HAKIM: (Menyodorkan map) Laporan kronologi peristiwanya ada di sini! Semua tertulis detail terperinci… Pesakitan itu menyerang petugas itu dengan membabi buta, membunuhnya… kemudian memperkosa mayatnya…
PEMBELA: (Sambil mengamati membaca kertas-kertas dalam map itu) Saya rasa, laporan ini hanya merupakan fantasi orang yang menuliskannya.
HAKIM: Satu petugas terbunuh! Itu bukan fanasi, anak muda! Bayangkan kalau pesakitan itu bisa meloloskan diri. Dan dia memang selalu berusaha melarikan diri dari selnya. Bayangkan orang seperti itu berkeliaran di jalan-jalan. Ia pasti akan menyergap anak-anak kecil yang masih manis. Mencekik mereka, kemudian memperkosanya. Seorang maniak seks seperti dia tak akan puas hanya memperkosa satu dua kali… Bayangkan: berapa anak-anak yatim dan janda-janda – yanag seharusnya dipelihara oleh negara – akan diperkosa oleh pesakitan itu!
JAKSA: Saya hanya minta kerjasamamu seperti biasanya. Saya tahu, kasus ini peluang bagi kariermu sebagai pembela. Inilah kesempatanmu masuh dalam deretan sejarah orang-orang yang dengan gigih memperjuangkan keadilan. Tapi buat apa? Buat apa keadilan kalau itu hanya akan menghasilkan ketakutan dan kengerian bagi yang lain…
HAKIM: (Bernada penuh ancaman) Dan bukan tidak mungkin kengerian itu akan menimpamu sendiri, anak muda!
PEMBELA: Itu nasehat ataukah ancaman?!
Jaksa dengan halus mencoba melerai dan menuntun Pembela menjauhi Hakim. Sementara pada saat bersamaan Jaksa itu juga memberi isyarat kempada Hakim akan bisa menahan diri (seakan-akan mengatakan, biarlah ia yang bicara dengan Pembela). Dari sinilah akan makin terasa betapa ada hubungan khusus antara Jaksa dan Pembela.
JAKSA: Kamu jangan salah faham. Kami sama sekali tak mengancammu. Lagi pula, siapakah sesungguhnya yang mengancam? Dan siapa yang paling merasa terancam? Sumber ancaman jelas, ditebarkan oleh pesakitan itu. Ia tidak sendirian. Ingatlah orang-orang yang kini telah memujanya, yang menganggapnya pahlawan perlawanan. Mesiah yang akan membebaskan! Yang kita hadapi adalah keyakinan! Pemujaan! Sekte! Aliran sesat yang memuja kebebasan! Karena itulah, yang kita hadapi bukan cuma seorang pesakitan. Kita sedang berhadap-hadapan dengan sebuah gagasan yang memuja kebebasan. Gagasan yang mengatasnamakan keberagaman! Bayangkan bila gagasan ini meracuni seluruh rakyat kita?! Seluruh persendian moal yang telah kita bangun akan runtuh! Karna itu yang sedang kia perjuangkan bukan semata Undang-undang. Kita memperjuangkan keyakian. Prinsip moral. Bahwa bangsa ini harus memiliki sistem moral yang kuat…
PEMBELA: Sistem moral yang kuat, ataukah sebuah upaya untuk memonopoli kebenaran!
JAKSA: Sssstt… Jangan membantah dulu. Kamu masih muda… (Membelai Pembela dengan mesra)… Masa depanmu masih ranum. Dan kami bisa memilihkan masa depan yang akan menyenangkan buat kariermu. Saya bangga kamu jadi pembela moral yang gigih… Tapi ingatlah, kita ini hanya sekadar menjalankan peran… Sistem ini hanya berjalan kalau kita bisa menjalankan peran kita masing-masing dengan baik dan penuh saling pengertian…
Pembela tampak gelisah dengan sikap mesra Jaksa kepadanya.
PEMBELA: Karna itulah saya mencoba menjalankan peran konstitusional saya dengan sebaik-baiknya…
JAKSA: Jalanilah dengan baik…, tapi jangan naif… Apa kamu kira kamu bisa serta-merta jadi pembala dalam kasus ini, bila kami tak menginginkannya? Kami yang memilihmu jadi pembela… Aku sendriri yang merekomendasikan agar kamu diberi kesempatan untuk ikut mengambil bagian dalam peran ini… (Bersikap sangat mesra) Karna aku tahu kamu… kemampuanmu… impianmu… Tapi jangan kecewakan aku…
PEMBELA: Saya harus membelanya…
HAKIM: (Tegas penuh sindiran) Memang sudah menjadi kewajiban, seorang keponakan membela pamannya!
Pembela langsung gugup dan kaget.
HAKIM: Apa kamu pikir kami tak tahu kekerabatanmu dengan pesakitan ini. Saya punya informasi lengkap tenang kamu. (Melihat-lihat catatan dalam map, dan membacanya) Nama: Utami… Lulus fakultas Hukum lima tahun lalu… Suma cum laude … Jadi aktivis pers mahasiswa… Hobi menulis sastra… Pernah menerbitkan novel yang dituduh penuh adegan porno…
PEMBELA: Saya menulis sastra, bukan novel porno!
HAKIM: Terserah… saya tak perduli apakah sastra atau porno! Yang jelas itu sasstra jenis SMS… Sastra Mazhab selangkangan! Saya bisa menangkap kamu karna menulis novel itu!… (Kembali membaca data di map) … Pernah kost di Utan Kayu… Berkencan… dan punya hubungan sejenis dengan…
JAKSA: (Gugup cepat memotong) Bukankah soal yang itu kita sudah sepakat akan mengabaikannya!
HAKIM: Oh ya, ya… (Mencoret kertas di map)…
JAKSA: Terimakasih…
HAKIM: Tapi fakta bahwa ia punya hubungan darah dengan pesakitan itu, saya kira tidak bisa kita abaikan… (kepada Pembela) Itu artinya, kamu tidak bersih lingkungan… Lebih-lebih, dalam arsip ini, kamu disebut-sebut bersama Ulil ikut dalam Jaringan Moralis Liberal…
Pembela terpojok dan tak berdaya, ia menatap Jaksa, seakan-akan minta perlindungan…
JAKSA: Kamu masih punya kesempatan…
Jaksa bersikap mesra pada Pembela, dan Pembela seperti tak berdaya menolak pelukan mesra itu.
JAKSA: Saya yakin kamu cukup bijak menentunkan… Kamu punya kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih cerah… Bayangkan… Kamu tak hanya jadi pembela, tapi punya posisi yang strategis… Mungkin kamu bisa dipromosikan menjabat ketua Komite Indipenden Pemantau Moral.
PEMBELA: Terimakasih…
JAKSA: Atau bahkan kamu bisa menjadi ketua MA…
PEMBELA: (Gembira) Mahkamah Agung?
JAKSA: Bukan… Mahkamah A-moral.
Jaksa makin menatap penuh kasih sayang…
JAKSA: Sekarang pergilah…
Pembela pergi… Jaksa memandanginya kepergian Pembela dengan tatapan penuh mesra… Sampai terkejut ketika Hakim bersuara
HAKIM: Kamu menatapnya seperti menatap kenangan…
JAKSA: Setiap kita punya kenangan, Bapak Hakim… Kenangan yang ingin kita simpan … Kenangan yang jadi rahasia… Bukankah setiap orang juga punya rahasia, Bapak Hakim?!
Hakim tersenyum penuh pengertian. Jaksa mengulurkan tangan, semacam isyarat penuh godaan. Lalu Hakim mendekati Jaksa, meraih tangannya, mencium telapak tangan Jaksa dengan lembut. Kemudian Hakim membimbing Jaksa dengan mesra.
Keduanya berjalan ke satu sudut, dimana kemudian keduanya menjadi bayangan. Mereka berpelekan. Bergairah dan bercumbu liar. Hakim tampak mengikat kedua tangan Jaksa terentang. Kemudian dengan penh gairah mencambuki tubuh Jaksa dengan penuh berahi.
Sayu-sayup terdengar suara orang menembang, penuh kepedihan…
SEPULUH
Tembang itu terus mengalun…
Susila, dalam selnya, tergeragap mendengar suara tembang itu. Ia sperti terkenang akan tembang itu. Tembang itu bagai mengingatkannya pada hari-harinya yang tenang. Dalam keremangan, terlihat sesesok perempuan yang sedang menembang itu.
SUSILA: Siapa itu?
Sesosok perempuan itu beringsut mendekat dalam kegelapan…
SUSILA: Siapa?
MIRA: Aku… Mira…
SUSILA: Mira? Mira siapa? Mirasantika? Mira Diarsi? Mira Lesmana? Atau Miranda Goeltom?
Tembang berhenti. Sunyi sejenak.
SUSILA: Siapa?
Tak ada jawaban. Sunyi membuat Susila gelisah. Tiba-tiba terdengar seperti suara pintu dibanting, keras.
SUSILA: (Kaget, latah) Eh, kontol copot…copot..copot… (memandang mencari-cari sesuatu di lantai) Mana…mana… (Lalu melihat dalam sarungnya, kemudian tersenyum) Eh, masih
MIRA: Kamu masih di situ?
SUSILA: Eh iya, masih…(sambil terus memandangi ke dalam sarungnya)… masih utuh…
Lalu perlahan-lahan muncul Mira, bagai keluar dari dalam lobang persembunyian… Susila terkejut dan segera mengenalinya,
SUSILA: Kamu… Kamu penari tayub itu, kan? Kamu kok bisa kemari? Apa penjaga-penjaga itu…
MIRA: Nggak usah khawatir… Aku sudah memuaskan penjaga-penjaga itu dengan goyangan… Kawan-kawan menyuruhku menemuimu… Karna kami harus yakin bahwa kamu tetap setia pada perjuangan kita.
Susila tampak kebingungan,
SUSILA: Perjuangan?
MIRA: Beberapa kawan mulai curiga kamu akan menyerah… Mereka takut kamu akan membocorkan rahasia kita!
SUSILA: Rahasia apa? Wahh, saya nggak mudeng
MIRA: Berhentilah main-main, Susila! Atau kamu tak mempercayaiku?! Sengar, Susila.. aku kemari karena ingin menyelamatkanmu! Saat melihatmu tayuban dulu, aku sudah merasa, kamu memang pejuang sejati…
SUSILA: Kamu itu ngomong apa?
MIRA: Aku yang harusnya bertanya, kamu sudah ngomong apa saja pada petugas-petugas itu? Apa kamu cerita kalau rombongan tayub kami sesungguhnya para gerilyawan moral yang sedang menyusup ke kota? Jawab, Susila!
SUSILA: Eh, jawab jawab… Jawab apa?
MIRA: Berapa nama yang sudah kamu sebut?
SUSILA: Nama apa? Saya nggak ngerti…
MIRA: Jadi benar?
SUSILA: Apanya yang benar?!
MIRA: Kamu sudah membocorkan rahasia perjuangan kita….
SUSILA: Perjuangan apa? Kita siapa? Aku nggak mudeng
MIRA: Kamu kok aneh begitu? Kamu memang sudah berubah… Kamu pasti lelah. Tapi aku yakin kamu mampu bertahan. Meski banyak kawan-kawan seperjuangan meragukan keteguhanmu. Makanya mereka mengirimku ke mari… Mereka ingin aku membunuhmu… Karena mereka tahu aku diam-diam menyintai kamu… Sejak pertama melihatmu di tayuban dulu, aku memang sudah jatuh cinta sama kamu… Ah, cinta pada pandangan pertama… Sejak kamu ditahan, aku selalu mencemaskanmu, Sus… Dan kawan-kawan seperjuangan bisa merasa perasaan cintaku padamu bisa menjadi awal petaka…Mereka lalu menuntut keteguhanku: memilihmu atau memilih perjuangan… Tapi saya tak mau membunuhmu, Susila…
Tolong saya… Sekarang kamu lari… (menyerahkan kunci) Ini kuncinya… Larilah… kamu bisa menghilang ke mana saja…
Susila menatap kunci yang disodorkan Mira, tapi tak menerimanya, malah ketakutan,
SUSILA: Tidak… Tidak… kalau kabur pasti saya diburu…
MIRA: Ini demi keselamatanmu, Susila… Atau kamu memang sudah betah di penjara ini?… Begitu? Aku mendengar desas-desus kalau kamu memang diperlakukan baik di sini. Kami justru merasa nyaman dalam penjara. Penjara membuatmu merasa makmur!
SUSILA: Oo uedan tenan! Di penjara kok makmur!
MIRA: Kalau kamu nggak senang, larilah… Semakin lama kamu dipenjara, kawan-kawan malah semangkin cemas. Kamu akan tergoda. Lalu kamu membocorkan rahasia kita. Saya ingin kamu selamat. Tapi aku juga ingin semua kawan-kawan seperjuangan kita selamat….
SUSILA: Mbuh, mbuh… Saya nggak mudeng. Nggak mudeng!
MIRA: Ingat, Sus… Orang-orang di luar begitu berharap padamu. Kamulah satu-satunya harapan kita. Diam-diam banyak rakyat yang memujamu. Kalau kamu sampai menyerah, habislah seluruh perjuangan kita… Sampai saat ini aku terus bergerilya menyamar jadi penari tayub.. Kamu pikir, apa yang membuat saya tahan melakukan semua itu? Kamu, Sus… Kamu… Kamu-lah yang membuat aku yakin bahwa apa yang kini aku jalani dan yakini tidak akan sia-sia…
Susila terbengong-bengon, bingung dan hanya terdiam di dalam sel. Mira berusaha mengulurkan tangannya menyentuh Susila, mengelus-elus Susila dengan ujung jari-jarinya,
MIRA: Ayo, Sus… Kamu harus keluar dari sini…
Susila tiba-tiba langsung beringsut menjauh, dan nampak malu,
SUSILA: Lha ini… baru disentuh kamu saja sudah keluar…
MIRA: Ayolah, Sus… Larilah… Aku tak ingin kamu mati konyol…
SUSILA: Kamu yakin kalau saya lari saya tak akan mati? Di penjara ini saya bisa mati… Kabur pun saya pasti mati… Saya nggak ngerti… Jaman apakah ini… Jaman harta? Jaman susila? ….Dulu zaman Suharto, zaman nyari harta. Sekarang kan zaman Susila. Zaman menegakkan susila. Su-sila…, dasar yang baik. Setelah dapat harta, lantas nyari susila…. Tapi saya? Sudah nggak dapat harta, eh malah kesandung susila… Apalagi yang bisa saya percaya?
MIRA: Percayalah sama saya… Kamu hanya lelah…
Terdengar suara kemerontang, seperti ada yang dating. Mira segera bangkit, melihat keadaan. Lalu buru-buru menyodorkan lagi kunci ke arah Susila.
MIRA: Ini kuncinya… Kunci hidup matimu!!!
Susila hanya memandang, bergeming. Suara seperti pinu sel di dorong kembali terdengar. Mira buru-buru melempar kunci tu ke dalam sel Susila, hingga jatuh tak jauh dari kaki Susila yang terus bergeming.
Kemudian Mira segera menyelinap pergi…
Susila tanpak bingung. Ia memandangi kunci itu. Ia bergerak hendak memungutnya. Tetapi kemudian tak jadi. Ia terlihat begitu bingung. Ragu memandangi kunci itu…Sampai kemudian ia tiba-tiba begegas mengambil kunci itu. Tangannya gemetar membuka selnya.
Susila kabur…

Terdengar sirene meraung-raung!

0 komentar

Posting Komentar