Jumat, 30 Desember 2016

Naskah Drama Gempa Bagian 4

MAYOR GEMETAR KARENA MARAH, GIGINYA GEMERTAKAN, KEDUA GENGGAMANNYA DIKEPALKAN KUAT-KUAT SETENGAH DIACUNG-ACUNGKAN.

Mayor            :   Jika saja, ya, jika saja kau bukan makhluk betina……
Letnan           :   Bung mau apa! Jangan ambil peduli jenisku. Kita sama-sama pejuang! Ayo jangan kepalang tanggung!

MAYOR MENGENTAKKAN KAKINYA, DAN DENGAN MARAH DONGKOL IA TERUS MENUJU KE PINTU. DI AMBANG IA BERHENTI, DENGAN SIKAP KEMARAHANNYA IA MENYOROT LETNAN YANG MENYAMBUT DENGAN SIKAP MENANTANG.

Mayor            :   Akan kuperlihatkan di hadapan mata kau, bahwa cuma kami lelaki yang sanggup pimpin perjuangan kebebasan.

MAYOR TERUS KELUAR, BEGITU IA HILANG BEGITU LETNAN SETENGAH MEMBURU DAN HENTI DI AMBANG SAMBIL BERTOLAK PINGGANG DONGKOL.

Letnan           :   Heh, mentang-mentang pegang batalyon, lalu merasa diri paling jagoan, paling berjasa. Heh!

SETELAH LETNAN MENGHEMBUSKAN NAFAS PANJANG, IA MENURUNKAN KEDUA TANGAN DARI PINGGANG. SAMBIL MENGUASAI BADAI AMARAH IA TERUS MENUJU KE MEJA, MEROGOH KANTONG. MENGELUARKAN SEBUAH BLOK-NOTE DAN PENSIL PENDEK.

Letnan           :   Semua ini musti segera kulaporkan.

LETNAN DUDUK MENULIS LAPORAN. MENDADAK KEDENGARAN TEMBAKAN BEBERAPA KALI, HINGGA IA TERSENTAK KAGET. MENDADAK PULA KOPRAL MASUK DENGAN NAFAS TERENGAH-ENGAH.

Letnan           :   Ada apa!
Kopral            :   Laporan. Anak buah kita secara mendadak disergap dan dilucuti.
Letnan           :   Mayor?!
Kopral            :   Bukan……
Letnan           :   Lantas siapa?!
Kopral            :   Kapten Kompi “Garuda Hitam”.
Letnan           :   Celaka, kita terjebak siasat khianat. Tapi, bukankah kita sudah siaga dengan kemungkinan seperti ini. bukankah sudah kusiasati dengan menyembunyikan kedua regu perintis kita.
Kopral            :   Siasat kita belum tercium mereka. kedua regu perintis kita masih di pos persembunyiannya.
Letnan           :   Alhamdulillah. Cepat loloskan dirimu. Hubungi mereka. selanjutnya bung tahu apa yang musti diperbuat.
Kopral            :   Kita berdua masih sempat lolos bersama.
Letnan           :   Aku tetap di sini. Aku punya perhitungan untuk menghadapi mereka. cepat bung laksanakan! Jangan kuatirkan diriku.
Kopral            :   Siap.

KOPRAL CEPAT PERGI. LETNAN TENANG MEMASUKKAN BLOK-NOTE DAN PENSIL KE DALAM SAKU KEMBALI. TENANG PULA DUDUKNYA, MENANTI APA YANG AKAN TERJADI.

BABAK II

DALAM RUANG YANG SAMA, BEBERAPA JAM KEMUDIAN.
KAPTEN MASIH ENAK MEROKOK, DUDUK DENGAN SIKAP MENANG SAMBIL MENIMANG-NIMANG COLT MILIK LETNAN. YANG BELAKANGAN INI BERDIRI DENGAN MENYILANGKAN KEDUA TANGANNYA, MEMBUANG PANDANG KE ARAH PINTU.

Kapten          :   Menyesal sekali dengan sangat amat terpaksa, nyonya musti kuperlakukan sebagai sandera. Yang mustinya nyonya menjadi tawanan mayor.
Letnan           :   Heh apa bedanya.
Kapten          :   Oo, besar sekali nyonya. Perbedaannya seratus delapan puluh derajat. Sekarang tidak ada orang lain yang menguasai nyonya selain aku. Nyonya mutlak ada di bawah kekuasaanku.
Letnan           :   Apa maksud bung.
Kapten          :   Artinya, tak ada orang lain selain aku pribadi yang menentukan hidup-mati nyonya.
Letnan           :   Sekarang aku tahu.
Kapten          :   Oo ya?! Apa yang nyonya ketahui.
Letnan           :   Bahwa bung telah gunakan kesempatan untuk mengkhianati mayor.
Kapten          :   Aha, nyonya intelejen. Tapet sekali dugaanmu. Memang aku telah gunakan kesempatan yang ditimbulkan oleh ketotolan mayor jagoan itu. Untuk kemudian, eh, kukhianati dari belakang. Setidak-tidaknya menurut istilah nyonya: mengkhianati.

KAPTEN BANGKIT MEMBUANG PUNTUNG ROKOK, MENYELIPKAN PISTOL RAMPASAN PADA IKAT PINGGANG DEKAT PUSAR PERUT. TAJAM PANDANGNYA MENATAP LETNAN SAMBIL TERTAWA KECIL.

Kapten          :   Nyonya, dalam memperjuangkan sesuatu cita diperlukan sajian pengorbanan. Nah, dalam memperjuangkan apa yang kucitakan itulah aku dengan berat hati terpaksa mengorbankan bung mayor berikut batalyonnya, demi terlaksananya citaku. Namun aku sangat hargai keperkasaan bung mayor dan batalyonnya yang sudah punya nama mewangi. Karena itu, mereka kukorbankan seperkasa mungkin sesuai dengan jiwa patriotiknya. Kehancuran mereka kuatur sedemikian rupa, hingga mereka akan senantiasa dikenang sejarah sebagai mujahidin, yang rela gugur syahid di ujung laras meriam-meriam musuh.

LETNAN TERSENTAK, TAJAM NYALA MATANYA MEMBAKAR WAJAH KAPTEN.

Letnan           :   Jadi jelas sekarang, bahwa bung bermain sandiwara dengan musuh.
Kapten          :   Tepatnya aku jadi sutradar dalam lakon ini, sekaligus dan yang terpenting, ialah bahwa aku telah ciptakan lakon yang penuh adegan dramatis ini. dan untuk memenuhi keinginan sang pencipta lakon, aku, maka, bung mayor dan batalyonnya kuhancurkan secara dramatis pula. Kuatur sedemikian rupa, hingga mereka masuk dalam jebakan musuh untuk kemudian dibinasakan berkeping-keping oleh puluhan peluru howitser.
Letnan           :   Untuk kemudian, bung dengan leluasa memperoleh kesempatan menyergap dan melucuti kompiku secara khianat, ya.
Kapten          :   Begitulah.
Letnan           :   Untuk kemudian pula, kau korbankan dengan cara yang lain dalam rangka tindak khianatmu.
Kapten          :   (TERTAWA KECIL) Nyonya punya bakat untuk menjadi seorang ahli siasat ulung dan seorang analis. Memang begitulah. Tapi tentu saja, nyonya pribadi akan kujadikan sajian pengrobanan yang beristimewa. Sedemikian rupa, hingga nyonya akan memberi manfaat sebesar-besarnya dalam membantu memperbesar tekadku untuk melaksanakan apa yang kucitakan. Mudah-mudahan nyonya tidak akan berbuat sebodoh suami nyonya……

LETNAN TERSENTAK KAGET, KEDUA BIBIRNYA GEMETAR DILANDA PERASAANNYA. DENGAN TABAH IA HAMPIRI KAPTEN.

Letnan           :   Jadi dia……
Kapten          :   Dia termasuk mereka, yang dengan menyesal terpaksa kukorbankan. Sebab almarhum terlalu bersikap bodoh tanpa memperhitungkan kondisi, ruang, waktu dan suasana. Begitulah tatkala almarhum beserta seregu anak buahnya mengadakan ekspedisi kemari, kutawari suatu kerjasama agar berkenan membantu cita yang kuperjuangkan. Sayang sekali, almarhum terlalu bersikap heroik. Tawaranku dibalas dengan peluru. Hingga terpaksa ia kualmarhumkan dengan peluru juga.

LETNAN CEPAT MENGHAMPIRI KAPTEN, TERUS DI TAMPARNYA. KEMUDIAN IA MUNDUR BEBERAPA LANGKAH, SEDANG KAPTEN DENGAN TENANG MENGUSAP BAGIAN MUKA YANG KENA TAMPAR.

Letnan           :   Kau pengkhianat biadab!
Kapten          :   Sabarlah, aku tidak menyukai adegan sekasar begitu.

Kapten          :   (MENODONGKAN PISTOLNYA) Duduklah nyonya. Ingat, sekali senjata di tangan, tak pernah aku menganggap enteng.

LETNAN MENURUT, NAMUN NYALA MATANYA YANG PENUH KOBARAN RASA BENCI, TABAH MENYOROTI KAPTEN. DAN SAMBIL SENYUM MASAM, KAPTEN MEMASUKKAN PISTOL KE TEMPATNYA.

Kapten          :   Aku bisa mengerti apa kata hatimu sekarang. Karenanya, aku tidak akan menerima perlakuan nyonya dengan ledakan kemarahan. Nonya, terimalah simpati belasungkawa untuk almarhum suamimu yang telah secara konsekuen membela cita revolusi yang kalian perjuangkan.
Letnan           :   Cukup! Dan jangan coba-coba bujuk aku dengan segala sikap dan ucapan simpatik. Bung, apapun yang bakal terjadi atas diriku aku akan tidak peduli. Tapi setiap ajakanmu, pasti kubalas dengan jawaban satu. Kematianku!
Kapten          :   Jika kau sudah memagari diri dengan sikap dan pendirian a priori, dan itu akan kau pertahankan dengan konsekuensi pengorbanan nyawamu, apa boleh buat. Aku tidak lagi akan menawarkan ajakan kompromi.
Letnan           :   Sebelum aku binasa, ijinkan aku bertanya.
Kapten          :   Dengan segala senang hati, silahkan nyonya bertanya.
Letnan           :   (BANGKIT DENGAN BERSEMANGAT) Apa itu yang bung perjuangkan.
Kapten          :   Cita yang sederhana sekali. Sesederhana seorang bocah yang merindukan kebebasan menurut selera dan ukuran sendiri. Cita itu berupa satu hasrat dan tekad untuk menciptakan suatu kebebasan menurut selera dan ukuran sendiri. Yang akan dapat terlaksana dengan jalan menciptakan sebuah negara merdeka, sesuai dengan gagasanku. Di sini, di wilayah bumi ini kelak akan kuciptakan sebuah negara baru. Negara tandingan! Dan begitu ciptaanku jadi kenyataan, begitu pula seluruh jagat akan mau tidak mau mengakui, bahwa aku adalah seorang manusia istimewa, yang sanggup menciptakan negara dalam sebuah negara, yang justru tengah memperjuangkannya. Nah, untuk mewujudkan ciptaanku itulah, aku membangkang terhadap cita revolusi yang kalian perjuangkan. Dan untuk mencapai citaku itu pulalah, aku halalkan segala tindakanku. Seperti bermain sandiwara dengan tentara musuh. Dan menghancurkan siapa saja yang kurasakan akan merintangi langkah jalanku. Termasuk nyonya……
Letnan           :   Memang kau manusia istimewa, istimewa biadab khianat!
Mayor            :   Terima kasih untuk kehormatan besar yang tekah nyonya berikan padaku. Nyonya adalah manusia pertama yang secara tulus jujur mengakui bahwa; aku adalah manusia yang pantas, wajar diberi predikat “istimewa”. Sekalipun istimewanya dalam tindak khianat.
                             Ya, sesungguhnya sebagai seorang pencipta, meski pencipta khianat, aku jauh lebih besar tertimbang pengkhianat-pengkhianat biasa. Jadi sesungguhnya pula sebutan “pengkhinat” nilai rasanya tidak mampu memuaskan kedirianku. Biar seribu kali nyonya melempar kata pengkhianat terhadap diriku, itu kurasakan terlalu hamba buat memuaskan seleraku sebagai seorang yang istimewa. Kata itu terlalu enteng untukku.
                             Tapi lepas dari kenyataan bahwa karena pendurhakaanku, yang sudah sewajarnya untuk nyonya nilai negatif. Adalah satu kenyataan bahwa dari penilaianku, aku bukanlah seorang pengkhianat yang mengkhianati cita yang kuciptakan dan kini kuperjuangkan.
Letnan           :   Cukup sudah dengan filsafatmu!
Kapten          :   Nyonya, aku bukannya hendak membela diri dari kedurhakaanku terhadap cita revolusi yang kalian perjuangkan secara konsekuen itu. Aku cuma mau tegaskan bahwa menurut penilaianku atas segala tindakanku ini bukanlah suatu pendurhakaan atas citaku yang mendurhakai revolusi. Dengan kalimat lain, aku bukanlah seorang pengkhianat atas kedirianku, keyakinan dan cita ciptaanku.
Letnan           :   Kau akan konsekuen dengan pernyataanmu itu?
Kapten          :   Sekonsekuen nyonya dalam memperjuangkan cita revolusi.
Letnan           :   Apa yang kuperjuangkan bukan perjuangan cita pribadi. Tapi perjuangan cita bangsa. Sedang bung, adalah untuk kepentingan diri bung dan golongan bung. Jadi karena kami berjuang untuk sesuatu cita seluruh bangsa, untuk kepentingan masa depan bangsa, kami berhak menuntut diri dan cita bung yang mendurhakai kepentingan dan cita seluruh bangsa! Bung, kami tuntut konsekuensimu sebagai pengkhianat revolusi rakyat!
Kapen            :   (TERTAWA KECIL) Pasti aku akan memenuhi tuntutan kalian yang memang kubenarkan sekali. Tapi kau lupa nyonya. Kau lupa kondisi sekarang, dimana dan dalam keadaan apa nyonya berada. Siapa yang sekarang di sini berkuasa dalam kenyataannya. Akulah yang berkuasa atas mati hidupmu, bukan? Dan sebagai konsekuensi atas penamaan kedirianku sebagai pendurhaka revolusi, maka karena aku kini kuasa, aku tuntut konsekuensi sebagai penolak gagasanku. Dan demi penghargaanku terhadap sikap setiamu terhadap revolusi yang kalian perjuangkan, aku tidak akan menawarkan agar kau jadi pengikutku. Penghargaanku berupa tuntutan atas kematianmu. Tapi kematianmu musti penuh arti. Musti merupakan penghormatan tertinggi dalam penilaianku. Dan penghormatan tertinggi buat seorang pejuang setia adalah kehormatan pribadinya. Sebab, kehormatan pribadi adalah lambang kehormatan revolusi. Dan perkosaan atas penghormatan pribadinya adalah sama saja dengan perkosaan atas revolusi. Jadi perkosaan terhadap kehormatan pribadimu adalah lambang pendurhakaanku, ya, lambang perkosaanku atas revolusi.
Letnan           :   Jangan bung lupa, Tuhan senantiasa bersama kebesaran yang haq. Karenanya, demi Tuhan, aku akan bertahan.

Kapten          :   Jangan nyonya lupa, Dajjal senantiasa bersama kekuatan pemerkosaan kebenaran. Dan sekarang kekuatan itulah yang lagi bicara.

0 komentar

Posting Komentar