MAYOR GEMETAR
KARENA MARAH, GIGINYA GEMERTAKAN, KEDUA GENGGAMANNYA DIKEPALKAN KUAT-KUAT
SETENGAH DIACUNG-ACUNGKAN.
Mayor : Jika saja, ya,
jika saja kau bukan makhluk betina……
Letnan : Bung mau apa!
Jangan ambil peduli jenisku. Kita sama-sama pejuang! Ayo jangan kepalang
tanggung!
MAYOR
MENGENTAKKAN KAKINYA, DAN DENGAN MARAH DONGKOL IA TERUS MENUJU KE PINTU. DI
AMBANG IA BERHENTI, DENGAN SIKAP KEMARAHANNYA IA MENYOROT LETNAN YANG MENYAMBUT
DENGAN SIKAP MENANTANG.
Mayor : Akan
kuperlihatkan di hadapan mata kau, bahwa cuma kami lelaki yang sanggup pimpin
perjuangan kebebasan.
MAYOR TERUS
KELUAR, BEGITU IA HILANG BEGITU LETNAN SETENGAH MEMBURU DAN HENTI DI AMBANG
SAMBIL BERTOLAK PINGGANG DONGKOL.
Letnan : Heh, mentang-mentang
pegang batalyon, lalu merasa diri paling jagoan, paling berjasa. Heh!
SETELAH
LETNAN MENGHEMBUSKAN NAFAS PANJANG, IA MENURUNKAN KEDUA TANGAN DARI PINGGANG.
SAMBIL MENGUASAI BADAI AMARAH IA TERUS MENUJU KE MEJA, MEROGOH KANTONG.
MENGELUARKAN SEBUAH BLOK-NOTE DAN PENSIL PENDEK.
Letnan : Semua ini musti
segera kulaporkan.
LETNAN DUDUK
MENULIS LAPORAN. MENDADAK KEDENGARAN TEMBAKAN BEBERAPA KALI, HINGGA IA
TERSENTAK KAGET. MENDADAK PULA KOPRAL MASUK DENGAN NAFAS TERENGAH-ENGAH.
Letnan : Ada apa!
Kopral : Laporan. Anak
buah kita secara mendadak disergap dan dilucuti.
Letnan : Mayor?!
Kopral : Bukan……
Letnan : Lantas siapa?!
Kopral : Kapten Kompi
“Garuda Hitam”.
Letnan : Celaka, kita
terjebak siasat khianat. Tapi, bukankah kita sudah siaga dengan kemungkinan
seperti ini. bukankah sudah kusiasati dengan menyembunyikan kedua regu perintis
kita.
Kopral : Siasat kita
belum tercium mereka. kedua regu perintis kita masih di pos persembunyiannya.
Letnan : Alhamdulillah.
Cepat loloskan dirimu. Hubungi mereka. selanjutnya bung tahu apa yang musti
diperbuat.
Kopral : Kita berdua
masih sempat lolos bersama.
Letnan : Aku tetap di
sini. Aku punya perhitungan untuk menghadapi mereka. cepat bung laksanakan!
Jangan kuatirkan diriku.
Kopral : Siap.
KOPRAL CEPAT
PERGI. LETNAN TENANG MEMASUKKAN BLOK-NOTE DAN PENSIL KE DALAM SAKU KEMBALI.
TENANG PULA DUDUKNYA, MENANTI APA YANG AKAN TERJADI.
BABAK
II
DALAM RUANG YANG SAMA, BEBERAPA
JAM KEMUDIAN.
KAPTEN MASIH
ENAK MEROKOK, DUDUK DENGAN SIKAP MENANG SAMBIL MENIMANG-NIMANG COLT MILIK
LETNAN. YANG BELAKANGAN INI BERDIRI DENGAN MENYILANGKAN KEDUA TANGANNYA,
MEMBUANG PANDANG KE ARAH PINTU.
Kapten : Menyesal sekali
dengan sangat amat terpaksa, nyonya musti kuperlakukan sebagai sandera. Yang
mustinya nyonya menjadi tawanan mayor.
Letnan : Heh apa bedanya.
Kapten : Oo, besar sekali
nyonya. Perbedaannya seratus delapan puluh derajat. Sekarang tidak ada orang
lain yang menguasai nyonya selain aku. Nyonya mutlak ada di bawah kekuasaanku.
Letnan : Apa maksud bung.
Kapten : Artinya, tak ada
orang lain selain aku pribadi yang menentukan hidup-mati nyonya.
Letnan : Sekarang aku
tahu.
Kapten : Oo ya?! Apa yang
nyonya ketahui.
Letnan : Bahwa bung telah
gunakan kesempatan untuk mengkhianati mayor.
Kapten : Aha, nyonya
intelejen. Tapet sekali dugaanmu. Memang aku telah gunakan kesempatan yang
ditimbulkan oleh ketotolan mayor jagoan itu. Untuk kemudian, eh, kukhianati
dari belakang. Setidak-tidaknya menurut istilah nyonya: mengkhianati.
KAPTEN
BANGKIT MEMBUANG PUNTUNG ROKOK, MENYELIPKAN PISTOL RAMPASAN PADA IKAT PINGGANG
DEKAT PUSAR PERUT. TAJAM PANDANGNYA MENATAP LETNAN SAMBIL TERTAWA KECIL.
Kapten : Nyonya, dalam
memperjuangkan sesuatu cita diperlukan sajian pengorbanan. Nah, dalam
memperjuangkan apa yang kucitakan itulah aku dengan berat hati terpaksa
mengorbankan bung mayor berikut batalyonnya, demi terlaksananya citaku. Namun
aku sangat hargai keperkasaan bung mayor dan batalyonnya yang sudah punya nama
mewangi. Karena itu, mereka kukorbankan seperkasa mungkin sesuai dengan jiwa
patriotiknya. Kehancuran mereka kuatur sedemikian rupa, hingga mereka akan
senantiasa dikenang sejarah sebagai mujahidin, yang rela gugur syahid di ujung
laras meriam-meriam musuh.
LETNAN TERSENTAK, TAJAM NYALA
MATANYA MEMBAKAR WAJAH KAPTEN.
Letnan : Jadi jelas sekarang,
bahwa bung bermain sandiwara dengan musuh.
Kapten : Tepatnya aku jadi
sutradar dalam lakon ini, sekaligus dan yang terpenting, ialah bahwa aku telah
ciptakan lakon yang penuh adegan dramatis ini. dan untuk memenuhi keinginan
sang pencipta lakon, aku, maka, bung mayor dan batalyonnya kuhancurkan secara
dramatis pula. Kuatur sedemikian rupa, hingga mereka masuk dalam jebakan musuh
untuk kemudian dibinasakan berkeping-keping oleh puluhan peluru howitser.
Letnan : Untuk kemudian,
bung dengan leluasa memperoleh kesempatan menyergap dan melucuti kompiku secara
khianat, ya.
Kapten : Begitulah.
Letnan : Untuk kemudian
pula, kau korbankan dengan cara yang lain dalam rangka tindak khianatmu.
Kapten : (TERTAWA KECIL)
Nyonya punya bakat untuk menjadi seorang ahli siasat ulung dan seorang analis.
Memang begitulah. Tapi tentu saja, nyonya pribadi akan kujadikan sajian
pengrobanan yang beristimewa. Sedemikian rupa, hingga nyonya akan memberi
manfaat sebesar-besarnya dalam membantu memperbesar tekadku untuk melaksanakan
apa yang kucitakan. Mudah-mudahan nyonya tidak akan berbuat sebodoh suami
nyonya……
LETNAN
TERSENTAK KAGET, KEDUA BIBIRNYA GEMETAR DILANDA PERASAANNYA. DENGAN TABAH IA
HAMPIRI KAPTEN.
Letnan : Jadi dia……
Kapten : Dia termasuk
mereka, yang dengan menyesal terpaksa kukorbankan. Sebab almarhum terlalu
bersikap bodoh tanpa memperhitungkan kondisi, ruang, waktu dan suasana.
Begitulah tatkala almarhum beserta seregu anak buahnya mengadakan ekspedisi
kemari, kutawari suatu kerjasama agar berkenan membantu cita yang
kuperjuangkan. Sayang sekali, almarhum terlalu bersikap heroik. Tawaranku
dibalas dengan peluru. Hingga terpaksa ia kualmarhumkan dengan peluru juga.
LETNAN CEPAT
MENGHAMPIRI KAPTEN, TERUS DI TAMPARNYA. KEMUDIAN IA MUNDUR BEBERAPA LANGKAH,
SEDANG KAPTEN DENGAN TENANG MENGUSAP BAGIAN MUKA YANG KENA TAMPAR.
Letnan : Kau pengkhianat
biadab!
Kapten : Sabarlah, aku
tidak menyukai adegan sekasar begitu.
Kapten : (MENODONGKAN
PISTOLNYA) Duduklah nyonya. Ingat, sekali senjata di tangan, tak pernah aku menganggap
enteng.
LETNAN
MENURUT, NAMUN NYALA MATANYA YANG PENUH KOBARAN RASA BENCI, TABAH MENYOROTI
KAPTEN. DAN SAMBIL SENYUM MASAM, KAPTEN MEMASUKKAN PISTOL KE TEMPATNYA.
Kapten : Aku bisa mengerti
apa kata hatimu sekarang. Karenanya, aku tidak akan menerima perlakuan nyonya
dengan ledakan kemarahan. Nonya, terimalah simpati belasungkawa untuk almarhum
suamimu yang telah secara konsekuen membela cita revolusi yang kalian
perjuangkan.
Letnan : Cukup! Dan jangan
coba-coba bujuk aku dengan segala sikap dan ucapan simpatik. Bung, apapun yang
bakal terjadi atas diriku aku akan tidak peduli. Tapi setiap ajakanmu, pasti
kubalas dengan jawaban satu. Kematianku!
Kapten : Jika kau sudah
memagari diri dengan sikap dan pendirian a priori, dan itu akan kau pertahankan
dengan konsekuensi pengorbanan nyawamu, apa boleh buat. Aku tidak lagi akan
menawarkan ajakan kompromi.
Letnan : Sebelum aku
binasa, ijinkan aku bertanya.
Kapten : Dengan segala
senang hati, silahkan nyonya bertanya.
Letnan : (BANGKIT DENGAN
BERSEMANGAT) Apa itu yang bung perjuangkan.
Kapten : Cita yang
sederhana sekali. Sesederhana seorang bocah yang merindukan kebebasan menurut
selera dan ukuran sendiri. Cita itu berupa satu hasrat dan tekad untuk
menciptakan suatu kebebasan menurut selera dan ukuran sendiri. Yang akan dapat
terlaksana dengan jalan menciptakan sebuah negara merdeka, sesuai dengan
gagasanku. Di sini, di wilayah bumi ini kelak akan kuciptakan sebuah negara
baru. Negara tandingan! Dan begitu ciptaanku jadi kenyataan, begitu pula
seluruh jagat akan mau tidak mau mengakui, bahwa aku adalah seorang manusia
istimewa, yang sanggup menciptakan negara dalam sebuah negara, yang justru
tengah memperjuangkannya. Nah, untuk mewujudkan ciptaanku itulah, aku
membangkang terhadap cita revolusi yang kalian perjuangkan. Dan untuk mencapai
citaku itu pulalah, aku halalkan segala tindakanku. Seperti bermain sandiwara
dengan tentara musuh. Dan menghancurkan siapa saja yang kurasakan akan
merintangi langkah jalanku. Termasuk nyonya……
Letnan : Memang kau
manusia istimewa, istimewa biadab khianat!
Mayor : Terima kasih
untuk kehormatan besar yang tekah nyonya berikan padaku. Nyonya adalah manusia
pertama yang secara tulus jujur mengakui bahwa; aku adalah manusia yang pantas,
wajar diberi predikat “istimewa”. Sekalipun istimewanya dalam tindak khianat.
Ya,
sesungguhnya sebagai seorang pencipta, meski pencipta khianat, aku jauh lebih
besar tertimbang pengkhianat-pengkhianat biasa. Jadi sesungguhnya pula sebutan
“pengkhinat” nilai rasanya tidak mampu memuaskan kedirianku. Biar seribu kali
nyonya melempar kata pengkhianat terhadap diriku, itu kurasakan terlalu hamba
buat memuaskan seleraku sebagai seorang yang istimewa. Kata itu terlalu enteng
untukku.
Tapi
lepas dari kenyataan bahwa karena pendurhakaanku, yang sudah sewajarnya untuk
nyonya nilai negatif. Adalah satu kenyataan bahwa dari penilaianku, aku
bukanlah seorang pengkhianat yang mengkhianati cita yang kuciptakan dan kini
kuperjuangkan.
Letnan : Cukup sudah
dengan filsafatmu!
Kapten : Nyonya, aku
bukannya hendak membela diri dari kedurhakaanku terhadap cita revolusi yang
kalian perjuangkan secara konsekuen itu. Aku cuma mau tegaskan bahwa menurut
penilaianku atas segala tindakanku ini bukanlah suatu pendurhakaan atas citaku
yang mendurhakai revolusi. Dengan kalimat lain, aku bukanlah seorang
pengkhianat atas kedirianku, keyakinan dan cita ciptaanku.
Letnan : Kau akan
konsekuen dengan pernyataanmu itu?
Kapten : Sekonsekuen nyonya
dalam memperjuangkan cita revolusi.
Letnan : Apa yang
kuperjuangkan bukan perjuangan cita pribadi. Tapi perjuangan cita bangsa.
Sedang bung, adalah untuk kepentingan diri bung dan golongan bung. Jadi karena
kami berjuang untuk sesuatu cita seluruh bangsa, untuk kepentingan masa depan
bangsa, kami berhak menuntut diri dan cita bung yang mendurhakai kepentingan
dan cita seluruh bangsa! Bung, kami tuntut konsekuensimu sebagai pengkhianat
revolusi rakyat!
Kapen : (TERTAWA KECIL)
Pasti aku akan memenuhi tuntutan kalian yang memang kubenarkan sekali. Tapi kau
lupa nyonya. Kau lupa kondisi sekarang, dimana dan dalam keadaan apa nyonya
berada. Siapa yang sekarang di sini berkuasa dalam kenyataannya. Akulah yang
berkuasa atas mati hidupmu, bukan? Dan sebagai konsekuensi atas penamaan
kedirianku sebagai pendurhaka revolusi, maka karena aku kini kuasa, aku tuntut
konsekuensi sebagai penolak gagasanku. Dan demi penghargaanku terhadap sikap
setiamu terhadap revolusi yang kalian perjuangkan, aku tidak akan menawarkan
agar kau jadi pengikutku. Penghargaanku berupa tuntutan atas kematianmu. Tapi
kematianmu musti penuh arti. Musti merupakan penghormatan tertinggi dalam
penilaianku. Dan penghormatan tertinggi buat seorang pejuang setia adalah
kehormatan pribadinya. Sebab, kehormatan pribadi adalah lambang kehormatan
revolusi. Dan perkosaan atas penghormatan pribadinya adalah sama saja dengan
perkosaan atas revolusi. Jadi perkosaan terhadap kehormatan pribadimu adalah
lambang pendurhakaanku, ya, lambang perkosaanku atas revolusi.
Letnan : Jangan bung lupa,
Tuhan senantiasa bersama kebesaran yang haq. Karenanya, demi Tuhan, aku akan
bertahan.
Kapten : Jangan nyonya
lupa, Dajjal senantiasa bersama kekuatan pemerkosaan kebenaran. Dan sekarang
kekuatan itulah yang lagi bicara.
0 komentar
Posting Komentar