Jumat, 30 Desember 2016

Naskah Drama Gempa Bagian 3


TANPA MENJAWAB SEPATAH KATA PUN LETNAN MENGHINDAR MENUJU KE BALIK MEJA, PANDANGANNYA DINGIN SAJA. MELIHAT SIKAP LETNAN, CEPAT MAYOR MENGUBAH SIKAPNYA PULA.

Mayor            :   Maafkan, seharusnya aku lebih dahulu menyampaikan bela sungkawa dengan gugurnya suamimu dalam menjalankan tugas. (LETNAN HANYA MEMBALAS DENGAN SEDIKIT MENGANGGUKKAN KEPALA) Oh ya, apakah sudah diperoleh kepastian sebab musabab tewasnya suamimu bersama anak buahnya tatkala menurut berita, sedang bertugas melakukan ekspedisi ke sektor ini.
Letnan           :   Kebetulan aku ditugaslan kemari, kelak akan dapat kuselidiki siapa yang telah menewaskan almarhum bersama anak buahnya. Mungkin ditewaskan patroli musuh, mungkin juga oleh kesatuan bersenjata liar yang banyak berkeliaran di sektor ini. tapi mayor, lepas dari itu semua, ijinkan aku bertanya apa maksud mayor kemari.
Mayor            :   Sebab aku memang bermaksud kemari. Siapa yang akan menghalangi keinginanku bila aku memang bermaksud kemari.
Letnan           :   Memang tidak ada. Tapi ada edaran pengumuman Markas Besar Tentara, aku yakin mayor selaku komandan batalyon 013, tentu sudah mengetahui bahwa sektor ini sekarang sudah resmi berada di bawah pengawasan kekuasaan tentara nasional. Semua kesatuan laskar yang berada di daerah operasi ini, wajib menggabungkan dan meleburkan diri. Atau bila enggan, wajib menarik diri dari sektor ini. dan tidak boleh ada satuan laskar mana pun juga, memasuki teritorial ini tanpa seijin kami yang telah mendapat wewenang selaku komandan sektor.
Mayor            :   Yaa – yaa itu aku sudah tahu. Tapi harus juga kau ketahui bahwa gerakan batalyonku kemari adalah sudah menjadi program kami sendiri. Kami akan bersihkan sektor ini dari gerombolan bersenjata yang bertindak semaunya sendiri, demi nama baik laskar pejuang. Kemudian kami duduki sektor ini, untuk sementara, guna menyiapkan serangan umum terhadap kesatuan-kesatuan musuh yang masih bercokol di perbatasan sana. Jadi jangan salah paham, sama sekali bukan maksud kami menjadikan sektor ini, wilayah kekuasaan kami untuk selamanya. Jika kelak kami sudah bersihkan sektor ini dari gerombolan pengacau, kami berangkat menghantam musuh, silahkan nyonya jadi komandan sektor.
Letnan           :   Secara pribadi, aku dapat mengerti dan menghargai mayor. Tapi mayor agak terlambat. Sektor ini sekarang sudah kami……
Mayor            :   Tadi aku sudah bilang, aku sudah tahu. Tapi sadarlah, siapa nyatanya yang sekarang ini menguasai wilayah ini. kompimu? Atau batalyonku? Dan ingat, batalyonku sejak dilahirkan dari kawah revolusi hingga sekarang senantiasa berdiri sendiri. Tidak pernah kami tunduk perintah panglima teritorium manapun juga yang diangkat oleh tentara nasional. Juga sekarang ini. akulah komandan batalyon, aku pulalah yang menentukan, bukan perintah-perintah dari Markas Besar Tentara. Karenanya dengan sangat menyesal musti kukatakan padamu, bahwa sekarang pada kenyataannya batalyonku-lah yang menguasai ini sektor. Maka aku tidak peduli, kau bilang sudah agak terlambat, atau sudah sangat terlambat. Kenyataannya akulah yang saat ini jadi komandan sektor, sampai atas kemauanku sendiri, aku tinggalkan wilayah ini. baru kau boleh praktekkan jabatan dan segala wewenang seperti yang tercantum di atas kertas pengangkatan namamu.
Letnan           :   Sudah?
Mayor            :   Ya, itulah pernyataanku yang resmi.
Letnan           :   Ada yang tidak bersifat resmi.
Mayor            :   Bersifat pribadi.
Letnan           :   Persoalan perjuangan bukan persoalan pribadi.
Mayor            :   Tentu, itu aku sudah tahu. Tapi kaupun tahu, bahwa banyak masalah dan kesulitan perjuangan yang bisa diatasi dengan memperoleh saling pengertian lewat pembicaraan-pembicaraan secara pribadi.

LETNAN MENUNDUKKAN MUKA, DENGAN PENUH PEMIKIRAN IA BERJALAN BEBERAPA LANGKAH.

Mayor            :   Bagaimana dengan usulku untuk mencari pendekatan pengertian.
Letnan           :   Silahkan.

LETNAN DUDUK, MAYOR SENYUM DENGAN SEBUAH HARAPAN YANG MEMBIAS PADA WAJAHNYA.

Mayor            :   Tentu kau sudah mengenal siapa aku, sejak kau masih pegang Barisan Srikandi dulu. Tentu pula kau masih ingat betapa aku……
Letnan           :   Ah jangan begitu sentimentil.
Mayor            :   Sentimentil? Bukankah sifat itu yang justru menentukan berhasil dan tidaknya sesuatu urusan pribadi. Terlebih buat seorang lelaki yang berusaha menyentuh hati wanita.
Letnan           :   Ini bukan perundingan cinta.
Mayor            :   Tapi, dari dulu sikapku padamu selalu bertolak dari itu.
Letnan           :   Dulu aku menolak. Sekarang aku tetap pada pendirianku. Mari, kumohon bung jangan menyakiti hatiku sekali lagi. (MENUTUP WAJAHNYA DENGAN KEDUA TANGANNYA)
Mayor            :   Wanita tetap wanita. Betapapun perkasamu menghadapi peluru bertanding maut. Tak kuasa hatimu tegak disentuh kenangan kasih.

LETNAN MEMBUKA WAJAHNYA DENGAN MATA BERKACA-KACA, NAMUN IA TABAH MENATAP MAYOR.

Letnan           :   Jangan salah tafsir.
Mayor            :   Kurasa tidak. Aku tahu rawan hatimu, yang ditandai alamat pada kedua matamu, tertuju pada kenangan almarhum suamimu. Ia dengan segala keagungan kasihnya, lestari membungai kenangan mewangi sepanjang hidupmu. Namun, kaupun sadar kini ia cuma satu khayali yang membekasi hati. Betapapun indah dan nikmatnya suatu khayali, takkan kuasa terus menerus menahan tuntutan kenyataan fitri insani. Tidakkah kau akan terima kenyataan ini? bahwa masih ada pria yang sanggup menggantikan almarhum……
Letnan           :   Bila saja ijinkan aku menyatakan. Pastilah setulus nuraniku, kunyatakan rasa hormat dan penghargaanku terhadap simpatimu padaku. Berbarengan itu pula kunyatakan penyesalanku, bila sikapku tetap seperti dulu. Ketahuilah, dia bagiku adalah yang pertama sekaligus yang terakhir kali.

WAJAH MAYOR BERUBAH MEMBIASKAN KERUNTUHAN HARAPANNYA, YANG DICOBANYA MENYEMBUNYIKANNYA DENGAN SEBUAH SENYUM YANG TERTAHAN.

Mayor            :   Luar biasa keteguhan sikapmu yang tidak pernah berubah sejak dulu hingga detik ini. hatimu seteguh granit memang……
Letnan           :   Bung untuk tidak lebih menyiksa batinku – batinmu, aku menolak pembicaraan-pembicaraan pribadi ini. Tidak pada tempatnya dalam suasana perjuangan nati-hidup melawan musuh-musuh revolusi, kita mengedepankan urusan dan kepentingan pribadi dengan segala sentimennya. Jika bung benar-benar berjuang untuk pengabdian cita revolusi, janganlah itu diiringi pamrih-pamrih pribadi yang tersembunyi. Dan jika bung hendak selesaikan persoalan ini, janganlah diselewengkan untuk memburu tujuan pribadi. Nah, mari kita bicara dalam ikatan disiplin diri. Tegasnya, setelah mayor menyatakan membangkang, sekarang apa yang mayor maui.

SESAAT MAYOR TAMPAK BIMBANG DILANDA KECEWA, NAMUN SEGERA PULA IA MENGUASAI DIRI SAMBIL MEMPERTEGAK DIRINYA. DENGAN SEGALA KEANGKERAN PANDANGNYA IA MENATAP LETNA YANG BERSIKAP TENANG. MAYOR LALU MENJAUH BEBERAPA LANGKAH.

Mayor            :   Selaku komandan Batalyon 013,  penguasa militer wilayah perang ini, aku perintahkan letnan selaku komandan Kompi “Banteng”, untuk tunduk di bawah kuasaku selaku komandan sektor.
Letnan           :   Aku tolak perintah mayor.
Mayor            :   Baik! Kuperintahkan letnan segera menarik mundur kompimu dari sektor ini.
Letnan           :   Mayor, kami cuma tunduk pada perintah Markas Besar Tentara Nasional.
Mayor            :   Aku cukup toleran menghadapi kalian. Karenanya kalian masih kuberi waktu untuk berpikir. Tapi ingat, jangan coba-coba sampuri urusan kami, bila tidak ingin kami lucuti secara paksa. Sementara akan kutunjukkan padamu, suatu demonstrasi kekuatan untuk kau laporkan pada atasanmu. Sekarang ini juga akan kulancarkan serangan kilat. Mengobrak-abrik dan mengusir tentara penjajah daro perbatasan. Yang sanggup kami lakukan sendiri tanpa bantuan tentara nasional, tanpa komando seorang perempuan!
Letnan           :   Mayor, kuminta membatasi diri. Jangan mayor menghina kaumku!
Meyor           :   Menghina?! Tidak! Aku cuma menyatakan, dengan tandas bahwa aku sama sekali tidak sudi diperintah oleh seorang perempuan, sekalipun perempuan itu berpangkat jendral. Perempuan tidak ditakdirkan untuk memimpin, tapi untuk dipimpin!
Letnan           :   Idih, mentang-mentang mayor seorang jantan ya! Lalu merasa diri jagoan! Bung penilaianmu terhadap kaumku, adalah penilaian yang kelewat kerdil, keliwat tengik. Tidak bung, sekarang kaum wanita sudah tidak sudi lagi untuk dijadikan obyek yang musti menyembah-nyembah memperbudakkan diri pada kaum lelaki. Kami, di luar rumah tangga, punya hak sederajat dengan kalian dalam segala lapangan kerja. Kami berhak dan bisa pegang pimpinan yang konsekuen, juga dalam perjuangan bersenjata. Sekarang, besok dan seterusnya. Dan kami wanita berjuang, bukan karena pamrih untuk disebut Srikandi, dinamai pahlawan dan dimahkotai pangkat jendral dengan segala dekorasi bintang di dada. Tapi, semata karena kesadaran dan tanggung jawab revolusi. Ngerti?!
Mayor            :   Waduh – waduh, luar biasa revolusionernya perempuan ini.
Letnan           :   Wah – wah luar biasa –luar biasa kerdil, tengik dan sombongnya lelaki ini!
Mayor            :   Coba ulangi sekali lagi, manis.

Letnan           :   Luarbiasa kerdil, tengik dan sombongnya kau!

0 komentar

Posting Komentar