TANPA MENJAWAB SEPATAH KATA PUN LETNAN MENGHINDAR MENUJU KE BALIK
MEJA, PANDANGANNYA DINGIN SAJA. MELIHAT SIKAP LETNAN, CEPAT MAYOR MENGUBAH
SIKAPNYA PULA.
Mayor : Maafkan,
seharusnya aku lebih dahulu menyampaikan bela sungkawa dengan gugurnya suamimu
dalam menjalankan tugas. (LETNAN HANYA MEMBALAS DENGAN SEDIKIT MENGANGGUKKAN
KEPALA) Oh ya, apakah sudah diperoleh kepastian sebab musabab tewasnya suamimu
bersama anak buahnya tatkala menurut berita, sedang bertugas melakukan
ekspedisi ke sektor ini.
Letnan : Kebetulan aku
ditugaslan kemari, kelak akan dapat kuselidiki siapa yang telah menewaskan
almarhum bersama anak buahnya. Mungkin ditewaskan patroli musuh, mungkin juga
oleh kesatuan bersenjata liar yang banyak berkeliaran di sektor ini. tapi
mayor, lepas dari itu semua, ijinkan aku bertanya apa maksud mayor kemari.
Mayor : Sebab aku memang
bermaksud kemari. Siapa yang akan menghalangi keinginanku bila aku memang
bermaksud kemari.
Letnan : Memang tidak ada.
Tapi ada edaran pengumuman Markas Besar Tentara, aku yakin mayor selaku
komandan batalyon 013, tentu sudah mengetahui bahwa sektor ini sekarang sudah
resmi berada di bawah pengawasan kekuasaan tentara nasional. Semua kesatuan
laskar yang berada di daerah operasi ini, wajib menggabungkan dan meleburkan diri.
Atau bila enggan, wajib menarik diri dari sektor ini. dan tidak boleh ada
satuan laskar mana pun juga, memasuki teritorial ini tanpa seijin kami yang
telah mendapat wewenang selaku komandan sektor.
Mayor : Yaa – yaa itu
aku sudah tahu. Tapi harus juga kau ketahui bahwa gerakan batalyonku kemari
adalah sudah menjadi program kami sendiri. Kami akan bersihkan sektor ini dari
gerombolan bersenjata yang bertindak semaunya sendiri, demi nama baik laskar
pejuang. Kemudian kami duduki sektor ini, untuk sementara, guna menyiapkan
serangan umum terhadap kesatuan-kesatuan musuh yang masih bercokol di
perbatasan sana. Jadi jangan salah paham, sama sekali bukan maksud kami
menjadikan sektor ini, wilayah kekuasaan kami untuk selamanya. Jika kelak kami
sudah bersihkan sektor ini dari gerombolan pengacau, kami berangkat menghantam
musuh, silahkan nyonya jadi komandan sektor.
Letnan : Secara pribadi,
aku dapat mengerti dan menghargai mayor. Tapi mayor agak terlambat. Sektor ini
sekarang sudah kami……
Mayor : Tadi aku sudah bilang,
aku sudah tahu. Tapi sadarlah, siapa nyatanya yang sekarang ini menguasai
wilayah ini. kompimu? Atau batalyonku? Dan ingat, batalyonku sejak dilahirkan
dari kawah revolusi hingga sekarang senantiasa berdiri sendiri. Tidak pernah
kami tunduk perintah panglima teritorium manapun juga yang diangkat oleh
tentara nasional. Juga sekarang ini. akulah komandan batalyon, aku pulalah yang
menentukan, bukan perintah-perintah dari Markas Besar Tentara. Karenanya dengan
sangat menyesal musti kukatakan padamu, bahwa sekarang pada kenyataannya
batalyonku-lah yang menguasai ini sektor. Maka aku tidak peduli, kau bilang
sudah agak terlambat, atau sudah sangat terlambat. Kenyataannya akulah yang
saat ini jadi komandan sektor, sampai atas kemauanku sendiri, aku tinggalkan
wilayah ini. baru kau boleh praktekkan jabatan dan segala wewenang seperti yang
tercantum di atas kertas pengangkatan namamu.
Letnan : Sudah?
Mayor : Ya, itulah
pernyataanku yang resmi.
Letnan : Ada yang tidak
bersifat resmi.
Mayor : Bersifat
pribadi.
Letnan : Persoalan
perjuangan bukan persoalan pribadi.
Mayor : Tentu, itu aku
sudah tahu. Tapi kaupun tahu, bahwa banyak masalah dan kesulitan perjuangan
yang bisa diatasi dengan memperoleh saling pengertian lewat
pembicaraan-pembicaraan secara pribadi.
LETNAN
MENUNDUKKAN MUKA, DENGAN PENUH PEMIKIRAN IA BERJALAN BEBERAPA LANGKAH.
Mayor : Bagaimana dengan
usulku untuk mencari pendekatan pengertian.
Letnan : Silahkan.
LETNAN DUDUK,
MAYOR SENYUM DENGAN SEBUAH HARAPAN YANG MEMBIAS PADA WAJAHNYA.
Mayor : Tentu kau sudah
mengenal siapa aku, sejak kau masih pegang Barisan Srikandi dulu. Tentu pula
kau masih ingat betapa aku……
Letnan : Ah jangan begitu
sentimentil.
Mayor : Sentimentil?
Bukankah sifat itu yang justru menentukan berhasil dan tidaknya sesuatu urusan
pribadi. Terlebih buat seorang lelaki yang berusaha menyentuh hati wanita.
Letnan : Ini bukan
perundingan cinta.
Mayor : Tapi, dari dulu
sikapku padamu selalu bertolak dari itu.
Letnan : Dulu aku menolak.
Sekarang aku tetap pada pendirianku. Mari, kumohon bung jangan menyakiti hatiku
sekali lagi. (MENUTUP WAJAHNYA DENGAN KEDUA TANGANNYA)
Mayor : Wanita tetap
wanita. Betapapun perkasamu menghadapi peluru bertanding maut. Tak kuasa hatimu
tegak disentuh kenangan kasih.
LETNAN
MEMBUKA WAJAHNYA DENGAN MATA BERKACA-KACA, NAMUN IA TABAH MENATAP MAYOR.
Letnan : Jangan salah
tafsir.
Mayor : Kurasa tidak.
Aku tahu rawan hatimu, yang ditandai alamat pada kedua matamu, tertuju pada
kenangan almarhum suamimu. Ia dengan segala keagungan kasihnya, lestari
membungai kenangan mewangi sepanjang hidupmu. Namun, kaupun sadar kini ia cuma
satu khayali yang membekasi hati. Betapapun indah dan nikmatnya suatu khayali,
takkan kuasa terus menerus menahan tuntutan kenyataan fitri insani. Tidakkah
kau akan terima kenyataan ini? bahwa masih ada pria yang sanggup menggantikan
almarhum……
Letnan : Bila saja ijinkan
aku menyatakan. Pastilah setulus nuraniku, kunyatakan rasa hormat dan
penghargaanku terhadap simpatimu padaku. Berbarengan itu pula kunyatakan
penyesalanku, bila sikapku tetap seperti dulu. Ketahuilah, dia bagiku adalah
yang pertama sekaligus yang terakhir kali.
WAJAH MAYOR BERUBAH MEMBIASKAN KERUNTUHAN HARAPANNYA, YANG
DICOBANYA MENYEMBUNYIKANNYA DENGAN SEBUAH SENYUM YANG TERTAHAN.
Mayor : Luar biasa
keteguhan sikapmu yang tidak pernah berubah sejak dulu hingga detik ini. hatimu
seteguh granit memang……
Letnan : Bung untuk tidak
lebih menyiksa batinku – batinmu, aku menolak pembicaraan-pembicaraan pribadi
ini. Tidak pada tempatnya dalam suasana perjuangan nati-hidup melawan musuh-musuh
revolusi, kita mengedepankan urusan dan kepentingan pribadi dengan segala
sentimennya. Jika bung benar-benar berjuang untuk pengabdian cita revolusi,
janganlah itu diiringi pamrih-pamrih pribadi yang tersembunyi. Dan jika bung
hendak selesaikan persoalan ini, janganlah diselewengkan untuk memburu tujuan
pribadi. Nah, mari kita bicara dalam ikatan disiplin diri. Tegasnya, setelah
mayor menyatakan membangkang, sekarang apa yang mayor maui.
SESAAT MAYOR
TAMPAK BIMBANG DILANDA KECEWA, NAMUN SEGERA PULA IA MENGUASAI DIRI SAMBIL
MEMPERTEGAK DIRINYA. DENGAN SEGALA KEANGKERAN PANDANGNYA IA MENATAP LETNA YANG
BERSIKAP TENANG. MAYOR LALU MENJAUH BEBERAPA LANGKAH.
Mayor : Selaku komandan
Batalyon 013, penguasa militer wilayah
perang ini, aku perintahkan letnan selaku komandan Kompi “Banteng”, untuk
tunduk di bawah kuasaku selaku komandan sektor.
Letnan : Aku tolak
perintah mayor.
Mayor : Baik!
Kuperintahkan letnan segera menarik mundur kompimu dari sektor ini.
Letnan : Mayor, kami cuma
tunduk pada perintah Markas Besar Tentara Nasional.
Mayor : Aku cukup
toleran menghadapi kalian. Karenanya kalian masih kuberi waktu untuk berpikir.
Tapi ingat, jangan coba-coba sampuri urusan kami, bila tidak ingin kami lucuti
secara paksa. Sementara akan kutunjukkan padamu, suatu demonstrasi kekuatan
untuk kau laporkan pada atasanmu. Sekarang ini juga akan kulancarkan serangan
kilat. Mengobrak-abrik dan mengusir tentara penjajah daro perbatasan. Yang
sanggup kami lakukan sendiri tanpa bantuan tentara nasional, tanpa komando
seorang perempuan!
Letnan : Mayor, kuminta
membatasi diri. Jangan mayor menghina kaumku!
Meyor : Menghina?! Tidak!
Aku cuma menyatakan, dengan tandas bahwa aku sama sekali tidak sudi diperintah
oleh seorang perempuan, sekalipun perempuan itu berpangkat jendral. Perempuan
tidak ditakdirkan untuk memimpin, tapi untuk dipimpin!
Letnan : Idih,
mentang-mentang mayor seorang jantan ya! Lalu merasa diri jagoan! Bung
penilaianmu terhadap kaumku, adalah penilaian yang kelewat kerdil, keliwat
tengik. Tidak bung, sekarang kaum wanita sudah tidak sudi lagi untuk dijadikan
obyek yang musti menyembah-nyembah memperbudakkan diri pada kaum lelaki. Kami,
di luar rumah tangga, punya hak sederajat dengan kalian dalam segala lapangan
kerja. Kami berhak dan bisa pegang pimpinan yang konsekuen, juga dalam
perjuangan bersenjata. Sekarang, besok dan seterusnya. Dan kami wanita
berjuang, bukan karena pamrih untuk disebut Srikandi, dinamai pahlawan dan
dimahkotai pangkat jendral dengan segala dekorasi bintang di dada. Tapi, semata
karena kesadaran dan tanggung jawab revolusi. Ngerti?!
Mayor : Waduh – waduh,
luar biasa revolusionernya perempuan ini.
Letnan : Wah – wah luar
biasa –luar biasa kerdil, tengik dan sombongnya lelaki ini!
Mayor : Coba ulangi
sekali lagi, manis.
Letnan : Luarbiasa kerdil,
tengik dan sombongnya kau!
0 komentar
Posting Komentar