KEPARAT
Menelaus mengirimiku brosur perkawinan. “Inilah jalan terbaik bagimu untuk
membangun keluarga bahagia, “Tulisnya di surat pengantar, dengan tulisan tangan
seorang idiot. “Jalan yang akan membawamu pada kebahagiaan abadi. Kau sebentar
lagi membusuk digerogoti cacing, Campa. Jangan biarkan hidupmu yang buruk itu
bertambah buruk: tak pernah merasakan hangatnya perkawinan. Karena memang
demikianlah, wahai sahabatku Campa, Tuhan menciptakan manusia untuk
diperjodohkan…” Kubayangkan wajah Menelaus yang penuh cacar jadi bercahaya
ketika menuliskan surat itu, wajah seorang Filsuf yang memperoleh pencerahan.
Cih, apa yang diketahui tentang perkawinan oleh seorang penderita ejakulasi
dini macam Menelaus! Hingga keparat itu berlaga macam pendeta yang merasa punya
kewajiban untuk menjodohkan setiap orang.
Perkawinan adalah neraka. Awal petaka dijeratkan ke leher kita.
Aih, bagaimana mungkin Menelaus tiba-tiba begitu bergairah bicara soal
perkawinan? Aku tak pernah peduli perkawinan, yang selalu mengingatkanku pada
hari-hari penuh pertengkaran, makian dan perkelahian. Perkawinan hanya akan
mengingatkanku pada ayah, binatang buas yang tak segan-segan mencabik-cabik
anak sendiri. “Anak setan!” Ayah akan meraung ganas untuk sebuah kesalahan
kecill sekalipun. Empat kakakku mati diinjak-injak karena luupa menyiapkan
kopi, merapikan seprai dan tak sengaja memecahkan poci. Perkawinan Cuma
membuatku jadi teringat Ibu, binatang liar yang selalu sibuk dengan impiannya
sendiri, ia selalu memandang jijik anak-anaknya yang dianggap cuma merepotkan
dan hanya menyita waktu yang seharusnya dapat ia gunakan untuk berdandan dan
mempercantik diri. “Pergilah anak tolol,” omel Ibu sembari menghantamkan
lonjoran besi ke kepalaku setiap kali
aku berusaha mendekati. Padahal aku ingin membantu mencabuti bulu ketiaknya.
“Anak iblis, kenapa kamu tak cepat mati!” Kemudian makian yang tak
habis-habisnya, membuatku gemetar, sembunyi di balik lemari menyaksikan ayah
dan ibu yang saling cakar, saling gigit, saling banting, saling seruduk, saling
tendang….
Menelaus, kawanku sejak kecil, tahu semua itu, seperti juga aku
tahu perihal ayahnya yang selalu menghajar, mencambuki dan mengerat jari-jari
ibunya secuil demi secuil setiap malam. Sejauh Menelaus bisa mengingat masa
kecilnya, “Upacara keluarga” itu selalu berlangsung sempurna. Ayahnya
mendudukkan dia di kursi, tak boleh memejam atau memalingkan muka ketika
ayahnya menghajar ibunya. Itulah “upacara keluarga” yang mesti dijalani
Menelaus setiap malam, sampai ia sering terkencing-kencing menyaksikan ibunya
terkapar mengerang persis anjing sekarat. Sedangkan ayahnya menyeringai puas
duduk di kursi goyang menikmati sebotol tuak. Setelah itu ayahnya akan membelai
dan mencium kening Menelaus, “Tidurlah, Buyung. Kau telah melihat bagaimana
ayahmu begitu perkasa. Tidurlah.” Begitulah, sammpai ketika ibunya meninggal
dunia dan ayahnya menjadikan dia sebagai pengganti. Dicambuk dan disodomi.
Menelaus celaka,bagaimana kini ia menasehatiku soal perkaweinan dan keluarga
bahagia?!
Kami bersahabat, seperti sepasang homoseks yang menumbuhkan rasa
saling percaya, menghadapai dunia yang menghujatnya. Sampai kemudian Menelaus
mengatakan kepadaku bahwa ia akan kawin dengan seorang pelacur pengidap
epilepsi yang menurutnya bersedia untuk setiap malam dia siksa, sebagaimana
dulu ayahnya menyiksa ibunya. “Inilah perempuan paling kudus yang pernah aku
temui,” katanya, “Kau mesti memahamiku, Campa.” Aku mengangguk. Kutahu Menelaus
tak pernah bisa ereksi sebelum ia mencambuk dan menyiksa wanita yang
dikencaninya. Sejak itu kami jarang bertemu. Kubunuh Menelaus dari ingatanku.
Sesekali saja kabar Menelaus kuterima: ternyata perempuan itu lebih perkasa,
sehingga setiap kali Menelaus hendak menyiksanya, Ale, pelacur gembrot itu,
lebih dulu menghantam kepala Menelaus dengan pemukul Baseball. Kabarnya biji
mata kiri Menelaus sampai merocot keluar dihantam perempuan itu. Kemudian
Menelaus pindah ke Quetzalcoatl, dusun kecil di kakai bukit Palatinus, beternak
babi—yang, kukira, lebih berfungsi sebagai pelampiasan gairah Menelaus yang tak
kuasa menyiksa isterinya. Kudengar juga Ale mati kebanyakan makan kwaci. Aku
tak perduli. Dan kini, keparat Menelaus malah khotbah kepadaku soal perkawinan
yang bahagia. Diancuk! Paling ia bertambah celaka dengan perkawinannya,
dan butuh kawan untuk ikut merasakan betapa celakanya dia. Selamat menikmati
penderitaan, Kawan. Aku tak mau ambil bagian.
0 komentar
Posting Komentar