Dan akupun tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa memandangi kalakuan
mereka, sebagaimana dulu aku hanya bisa ternganga melihat ayah dan ibu saling
cakar dan saling siksa.
Kerap, seseorang datang bersungut-sungut mengadukan kelakuan
anak-anakku. “Didiklah anak-anakmu dengan keras, Tuan Campa.” Kulihat kening
orang itu terluka, memar, seperti baru saja terkena lemparan batu sebesar telur
angsa. Pasti, itu karya anak-anakku tercinta. “Atau kusuruh polisi menangkap
mereka!”
“Ah, kukira itu berlebihan, Tuan. Duduklah. Bukankah itu
hanya kenakalan anak-anak. Mereka akan baik dengan sendirinya.”
Orang itu mendengus.
“Duduklah. Kita bicara sebagai sama-sama seorang ayah.”
Tapi ia langsung pergi, sepanjang jalan terus memaki-maki,
“Keluarga iblis. Kalian membuat dunia ini seperti neraka!” tiga hari kemudian
aku dengar leher orang itu patah, dikeroyok seratus anakku. “Tak akan pernah
kami biarkan seorangpun menghina keluarga kami!” pekik mereka, membuat para
tetangga yang hendak mengadukan kelakuan mereka, surut seketika. Sejak itu
anak-anakku kian merajalela. Mereka bebas mengambil apa saja, mereka menjarah
toko semaunya. Di mana saja mereka selalu bikin kerusuhan.
Mereka liar dan buas, tetapi selalu hormat pada kami. Matsya yang
menderita Bulimia, sangat memanjakan mereka. Dan mereka, seratus serigala liar
itu, sangat bangga pada ibu mereka, makhluk separuh manusia separuh binatang
melata. Aku sendiri lebih sering mengurung diri dalam peti mati. Lesi.
Tergeletak tak berdaya karena inkontinensia, yang membuatku selalu
terkencing-kencing dan berak tanpa bisa mengendalikannya. Aku terkapar dalam
peti mati seperti bangkai yang perlahan membusuk. Matsya, Si jerangkong jelita
itu, dengan setia merawatku. Ia juga dengan penuh cinta mengajari anak-anak
membaca, belajar matematika atau menemani mereka tidur, sambil mendongeng
tentang hantu-hantu penculik bayi, para raksasa yang selalu memangsa manusia,
tentang raja-raja yang hidup bergelimang harta di atas bangkai mayat rakyatnya.
Membuat anak-anak itu bersorak gembira, lantas membopong Matsya, melempar-lemparkannya
ke udara hingga kadang-kadang Matsya jatuh terbanting dan patah tulang. Tetapi
Matsya selalu tertawa oleh kelakuan seperti itu, “Kalian sungguh anak-anak yang
menyenangkan.” Kata Matsya sambil memunguti patahan tulang-belulangnya,
kemudian menyambungnya dengan tali rapia. Ah, jerangkong yang sengsara!
Tiap kali Matsya berjalan tulang-belulang itu bergemeletakan mau copot. Betapa.
Kian kubenamkan diri dalam peti mati, seakan terapung dalam
perahu, meluncur dalam kegelapan mengarungi sungai darah penuh kutukan yang
menderas dalam tubuhku. Bayangan ayah menyeringai, mengucap selamat atas nasib
baikku. Ibu, dengan tubuh penuh cacing dan belatung, bangkit dari kubur,
kemudian berteriak-teriak memakiku, terbahak dan menghajarku seperti sering
dilakukannya dulu. “Anak setan, kamu sungguh-sungguh sempurna sebagai keturunan
setan!” Aku memejam. Peti mati ini menjadi satu-satunya tempat paling berarti,
paling nyaman. Kukira, memang, kematian adalah tempat paling nyaman. Kini, aku
mengurung diri dalam peti mati, sebagai mummi.
“Selamat pagi, Bapak. Kenapa terus bersembunyi di peti mati. Ini
bangkai anjing untuk Bapak, mungkin berguna untuk mengusir sepi.” Kupandangi
seratus anakku, seperti memandangi kebusukan hatiku. Mereka bergerak serempak,
mereka begitu kompak. Mereka bicara seperti paduan suara gereja. Ah,
anak-anak yang lucu, kenapa kau membuat aku merasa begini celaka. Kutahu, kelak
mereka akan menjadi bandit, pencoleng, pembunuh dan pemerkosa. Mungkin diantara
mereka akan ada yang menjadi penguasa. Keburukan dan kebiadaban mereka sungguh
merupakan bakat sempurna untuk menjadi seorang penguasa.
“Kami pergi dulu, Bapak. Hari ini kami mesti berkelahi!” Mereka
pamit. Menjabat tanganku dan menciumnya. Takzim. Seperti santri hendak pergi
mengaji.
Hmm. Anak baik. Bagaimanapun mereka
anak-anak yang baik, yang berhak merasa bahagia dengan semua kebiadabannya.
Nampaknya mereka begitu bahagia menjadi kawanan serigala. Ya, ya, bagaimanapun
mereka anak-anakku, dan mereka berhak bahagia, meski seandainya mereka
benar-benar sekawanan serigala. Biarlah serigala menjadi serigala, dengan
segala kebaikan dan keburukannya. Kenapa mesti memaksa mereka menjadi manusia?
Itu impian tak berguna, juga celaka. Berharap menjadi manusia adalah impian
paling sengsara. Biarkan saja mereka melakukan apa yang mereka suka. Karena
kesalahanku yang terbesar adalah menjadi manusia. Sejak dilempar dari sorga,
manusia terus dikutuk untuk tidak bahagia. Menjadi manusia adalah kutukan!
Lalu kutelepon Menelaus. Kuceritakan semuanya, dan kukatakan betapa
senangnya mempunyai anak-anak sebuas dan serupa serigala. “Lucu dan
menggemaskan,” kataku. “Bagaimana dengan kau sendiri, Menelaus?”
“Aku? Tentu saja sehat-sehat saja, Campa. Aku bahagia. Sangat
bahagia…” Suara Menelaus terdengar ganjil, seperti ketika malam-malam kudengar
ia mengerang kesakitan disiksa ayahnya. Aku merinding mendengarnya.
“Apakah kau benar-benar bahagia, Campa?”
Kututup telepon, seperti Sisipus yang kepayahan meletakkan
gelondong batu dari pundaknya. Bahagia? Yeah, kukira aku memang bahagia,
sangat bahagia.
Yogyakarta, 1997-1998
Retyped by daszenk sumardjani
Act and create in the funkiest
spaces of art
0 komentar
Posting Komentar