Kamis, 01 Desember 2016

Matinya Tukang Kritik Bagian 1

– Sebuah Teater Monolog –

Karya Agus Noor

Terdengar detak nafas waktu…

Sebelum pertunjukan – sebelum dunia diciptakan – denyut waktu itu mengambang memenuhi ruang – semesta yang hampa. Seperti denyut jantung. Terdengar detak-detik waktu bergerak. Seperti merembes dari balik dinding. Seperti muncul dan mengalir menyebar di antara kursi-kursi yang (masih) kosong…

Ketika para penonton mulai masuk ruang pertunjukan, mereka mendengar waktu yang terus berdedak berdenyut itu. Mereka mendengar suara detik jam yang terus berputar. Suara ddetak-detik waktu yang bagai mengepungnya dari mana-mana.[1] Sementara pada satu bagian panggung, mereka menyaksikan kursi goyang yang terus bergerak pelan seakan mengingatkan pada ayunan bandul jam. Bergoyang-goyang. Kursi itu temaram dalam cahaya. Terlihat selimut menutupi kursi itu, seperti ada orang yang tertidur abadi di atas kursi itu. Waktu berdenyut. Kursi terus bergoyangan.



Sesekali menggema dentang lonceng, terdengar berat dan tua.[2]
Kemudian bermunculan orang-orang berjubah gelap,[3] lamban berkelindan, seperti bayangan yang muncul dari rerimbun kabut waktu. Mereka bergerak menuju kursi goyang yang berayun-ayun pelan itu, berputaran mengepungnya, seperti para immortal yang tengah melakukan ritus purba.[4] Dan cahaya bagai gugusan kabut yang berputaran. Sampai kemudian sosok-sosok berjubah menjauhi kursi goyang itu.[5]

Kini, di bawah cahaya yang kepucatan, di kursi itu terlihat Raden Mas Suhikayatno, tokoh dalam monolog ini. Dia terlihat terlelap, bagai tertidur di rahim waktu yang abadi. Tapi ia juga terlihat gelisah, seperti dikepung mimpi. Makin lama ia terlihat semakin resah. Dan ia tiba-tiba tersentak meledak, tepat ketika terdengar jerit waktu: dering jam weker terdengar dari semua sudut. Jutaan jam weker berdering serentak di seluruh dunia. Disertai dentang berualang-ulang. Gema lonceng gereja. Bermacam-macam suara. Tumpuk-menumpuk. Mengembang dan menyusut. Kelebatan gambar-gambar.[6] Semua seperti muncul dan menggulung-gulung dalam ingatan Raden Mas Suhikayatno: Suara pesawat supersonik. Badai menggemuruh beergulung-gulung. Teriakan-teriakan. Suara perang. Suara-suara kemerosak gelombang radio. Di antara suara-suara itu terdengar suara Bung Karno membacakan Proklamasi[7] … lalu menghilang. Muncul suara lain, suara iklan yang lebih modern, lalu kemerosak gelombang radio lagi. Suara-suara dan gambar-gambar yang terus mengalir. Suara Bung Karno pidato berapi-api. Lenyap lagi. Dentang lonceng. Jam berdering. Suara Presiden Soeharto berpidato di depan MPR.[8] Gambar-gambar masa silam.[9] Gambar bertumpuk-tumpuk terus menerus. Kemudian perlahan menghilang…

Dan kesenyapan perlahan menjalar. Hanya terdengar waktu yang terus berdeyut.

Di kursi goyang itu. Raden Mas Suhikayatno terlihat begitu kelisah. Meracau kacau. Sampai kemudian dia terjaga, terengah-engah gelisah, kebingungan.

RADEN MAS SUHIKAYATNO:[10]

(Mengigau risau) Ini jam berapa?.. Tahun berapa?…

Sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu yang pelan…

DENMAS:

(Pelan-pelan terbangun, berteriak memanggil) Bambaaang.[11] Bammbanggg!!! (Jeda) Di mana anak itu… (Kembali berteriak, jengkel) Bambaaaannggg!!… Ya, ampun, Mbang… Baru jadi pembantu saja sudah susah kalau dibutuhkan. Gimana nanti kalau jadi presiden! (Kembali berteriak memanggil) Mbaaanggg….. Bambanggg!!!

Terus saja sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu. Raden Mas Suhikayatno kemudian bersandar di kursi goyang. Terlihat begitu kesepian. Seperti mengeluh. Seperti mendesah…

DENMAS:

Ini kutukan… Ataukah kemuliaan….

Terdengar jam tua bertendang, kemudian ada ketukan-ketukan, seperti suara tik-tak jam berdetak.

DENMAS:

(Seakan hanyut oleh gema suara yang didengarnya, kemudian bertanya entah pada siapa) Kalian dengar suara itu?… Tua dan purba. Kalian bisa merasakan? Begitu lembut… bersijengkat lembut mendatangimu.

Suara tik-ak itu pelan konstan, seirama bicara Raden Mas Suhikayatno.

DENMAS:

Suara waktu! Berabab-abad aku mendengarnya… Terdengar di keretap hujan…, diantara kereta yang menderu… Dengung di sayap lebah… Desah di setiap pencintaa… (Menjadi melankolis dan merasa bahagia, seperti menghayati butiran-butiran waktu yang merembes ke dalam tubuhnya) Ya, itu suara waktu…

Tiba-tiba suara tik-tak itu berubah cepat – berdetak-detak dipukul-pukul jadi suara ketukan orang jualan siomay. Dan terdengar teriakan pedagang itu, “Maaayy…. Siomay…”

DENMAS:

(Jengkel, berteriak ke arah ‘pedagang siomay’ itu) Brengsek! (lalu ngomel sendiri) Saya kira suara waktu!… (Tergeragap, seperti tersadar, ingat sesuatu) Waduh… Jangan-jangan saya memang sudah ditinggalkan waktu. Terlambat! Ini ‘kan tanggal tujuh belas!

Raden Mas Suhikayatno cemas, gelisah…

DENMAS:

(Berteriak memannggil mencari-cari pembantunya) Bambaaangg… cepet ambilkan jas saya! Mereka pasti sudah menunggu saya….

Terdengar celetukan dari para pemusik; “Hai, Mas… Gelisah begitu kenapa?…”

DENMAS:

Saya mau ikut upacara tujuh belasan di Istana Negara…

Terdengar jawaban dan celotehan dari para pemusik: “Tujuh belasan apa!… Merdeka saja belum, kok!… Mas, ini masih jaman pra sejarah. Homo sapien saja belum ada… Adanya homoseks… dst”

Raden Mas Suhikayatno jadi bingung, tak percaya. Linglung kembali duduk di kursi goyang…

DENMAS:

Apa saya menderita amnesia, ya? (Menunjuk kepalanya) Waktu seperti ingatan yang bertumpuk-tumpuk. Saya mengira Minggu… ternyata Rabu. Sering saya mendapati diri saya berada di waktu yang salah.

Bersamaan dengan itu terlihat lagi tumpukan gambar-gambar berbagai peristiwa, menyorot ke arah Raden Mas Suhikayatno, seperti ingatan-ingatan yang berpusaran dalam kepalanya…

DENMAS:

Ini tahun berapa sebenarnya… Ini tahun berapa…

Sampai terlihat gambar orang-orang bersorban putih, berbaris berteriak.[12] Tapi bersa-maan itu terdengar suara derap dan ringkik kuda…

Tiba-tiba terdengar suara,[13] bernada menggema: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

(Bingung, tak percaya) 1998?? Yang bener!

Suara itu terdengar lagi, menegaskan: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

Bukannya ini tahun 1828?

Suara itu kembali menegaskan dengan nada sama: “Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

Lha itu siapa…, orang-orang yang pakai seragam putih-putih itu…

Suara itu menjawab: “Mereka pasukan jihad.”

DENMAS:

Pasukan Jihad? (Sadar berada di waktu yang salah, waktu yang tak sebagaimana dikiranya) Saya kira pasukan Pangeran Diponegoro… (Bertanya meyakinkan) Bener, ini bukan tahun 1828?!

Suara itu memotong tegas menggema: “In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8…”

DENMAS:

(Jengkel) Iya! Iya! Tapi ngomongmu nggak usah bergaya begitu dong! Malah kayak film hantu. Persis Uka-uka![14]

Tiba-tiba suara itu menjawab dengan biasa, memaki: “Oo asu!”

DENMAS:

Eeeh, malah memaki! Saya kutuk jadi Presiden Indonesia, mampus kamu! (Seperti tiba-tiba sadar, dan mencoba menjelaskan, ke arah penonton) Lho iya kan? Jadi Presiden Indonesia itu seperti dapat kutukan kok! Apa sih enaknya jadi Presiden Indonesia, coba? Di Indonesia, profesi presiden itu profesi yang sama sekali tidak menarik. Dari dulu kerjanya gitu-gituuuu melulu: selalu nyusahin rakyat. Kalau kalian termasuk golongan orang kreatif, tolong deh, nggak usah punya cita-cita jadi Presiden Indonesia. Malah nanti tidak kreatif.

Tugas, kewajiban dan tanggung jawab Presiden Indonesia itu monoton kok. Dari tahun ke tahun, sia pun yang jadi presiden, ya tugasnya tetap sama: meningkatkan angka… pengangguran; menambah jumlah devi… apa? Devisit uang Negara…; mencari pijaman luar negeri, menaikan harga BBM… Sama sekali nggak kreatif kan. Mbosenin.

Saya ngomong gitu, bukan karena saya dengki nggak jadi presiden, lho. (Seperti orang yang jijik pada sesuatu) Hiiihhh…., saya nggak mau jadi presiden.

Jangankan Presiden Indonesia… ditawarin jadi raja Hastina saja saya tidak mau kok. Emoh! Padahal Romo Semar sendiri lho yang nawarin. Katanya, saya ini lebih pantas jadi raja Hastina, ketimbang Yusdhistira, si Pandawa paling tua itu.

Saya ingat betuk kok waktu itu… Itu jaman ketika belum ada kerajaan-kerajaan di Jawa. Tapi saya sudah ada. Sudah tua dan imut seperti ini.

0 komentar

Posting Komentar