– Sebuah Teater Monolog –
Karya Agus Noor
Terdengar
detak nafas waktu…
Sebelum
pertunjukan – sebelum dunia diciptakan – denyut waktu itu mengambang memenuhi
ruang – semesta yang hampa. Seperti denyut jantung. Terdengar detak-detik waktu
bergerak. Seperti merembes dari balik dinding. Seperti muncul dan mengalir
menyebar di antara kursi-kursi yang (masih) kosong…
Ketika
para penonton mulai masuk ruang pertunjukan, mereka mendengar waktu yang terus
berdedak berdenyut itu. Mereka mendengar suara detik jam yang terus berputar. Suara
ddetak-detik waktu yang bagai mengepungnya dari mana-mana.[1] Sementara pada
satu bagian panggung, mereka menyaksikan kursi goyang yang terus bergerak pelan
seakan mengingatkan pada ayunan bandul jam. Bergoyang-goyang. Kursi itu temaram
dalam cahaya. Terlihat selimut menutupi kursi itu, seperti ada orang yang
tertidur abadi di atas kursi itu. Waktu berdenyut. Kursi terus bergoyangan.
Sesekali
menggema dentang lonceng, terdengar berat dan tua.[2]
Kemudian
bermunculan orang-orang berjubah gelap,[3] lamban berkelindan, seperti bayangan
yang muncul dari rerimbun kabut waktu. Mereka bergerak menuju kursi goyang yang
berayun-ayun pelan itu, berputaran mengepungnya, seperti para immortal yang
tengah melakukan ritus purba.[4] Dan cahaya bagai gugusan kabut yang
berputaran. Sampai kemudian sosok-sosok berjubah menjauhi kursi goyang itu.[5]
Kini,
di bawah cahaya yang kepucatan, di kursi itu terlihat Raden Mas Suhikayatno,
tokoh dalam monolog ini. Dia terlihat terlelap, bagai tertidur di rahim waktu
yang abadi. Tapi ia juga terlihat gelisah, seperti dikepung mimpi. Makin lama
ia terlihat semakin resah. Dan ia tiba-tiba tersentak meledak, tepat ketika
terdengar jerit waktu: dering jam weker terdengar dari semua sudut. Jutaan jam
weker berdering serentak di seluruh dunia. Disertai dentang berualang-ulang.
Gema lonceng gereja. Bermacam-macam suara. Tumpuk-menumpuk. Mengembang dan
menyusut. Kelebatan gambar-gambar.[6] Semua seperti muncul dan
menggulung-gulung dalam ingatan Raden Mas Suhikayatno: Suara pesawat supersonik.
Badai menggemuruh beergulung-gulung. Teriakan-teriakan. Suara perang.
Suara-suara kemerosak gelombang radio. Di antara suara-suara itu terdengar
suara Bung Karno membacakan Proklamasi[7] … lalu menghilang. Muncul suara lain,
suara iklan yang lebih modern, lalu kemerosak gelombang radio lagi. Suara-suara
dan gambar-gambar yang terus mengalir. Suara Bung Karno pidato berapi-api.
Lenyap lagi. Dentang lonceng. Jam berdering. Suara Presiden Soeharto berpidato
di depan MPR.[8] Gambar-gambar masa silam.[9] Gambar bertumpuk-tumpuk terus
menerus. Kemudian perlahan menghilang…
Dan
kesenyapan perlahan menjalar. Hanya terdengar waktu yang terus berdeyut.
Di
kursi goyang itu. Raden Mas Suhikayatno terlihat begitu kelisah. Meracau kacau.
Sampai kemudian dia terjaga, terengah-engah gelisah, kebingungan.
RADEN
MAS SUHIKAYATNO:[10]
(Mengigau
risau) Ini jam berapa?.. Tahun berapa?…
Sunyi,
hanya terdengar desah nafas waktu yang pelan…
DENMAS:
(Pelan-pelan
terbangun, berteriak memanggil) Bambaaang.[11] Bammbanggg!!! (Jeda) Di mana
anak itu… (Kembali berteriak, jengkel) Bambaaaannggg!!… Ya, ampun, Mbang… Baru
jadi pembantu saja sudah susah kalau dibutuhkan. Gimana nanti kalau jadi
presiden! (Kembali berteriak memanggil) Mbaaanggg….. Bambanggg!!!
Terus
saja sunyi, hanya terdengar desah nafas waktu. Raden Mas Suhikayatno kemudian
bersandar di kursi goyang. Terlihat begitu kesepian. Seperti mengeluh. Seperti
mendesah…
DENMAS:
Ini
kutukan… Ataukah kemuliaan….
Terdengar
jam tua bertendang, kemudian ada ketukan-ketukan, seperti suara tik-tak jam
berdetak.
DENMAS:
(Seakan
hanyut oleh gema suara yang didengarnya, kemudian bertanya entah pada siapa)
Kalian dengar suara itu?… Tua dan purba. Kalian bisa merasakan? Begitu lembut…
bersijengkat lembut mendatangimu.
Suara
tik-ak itu pelan konstan, seirama bicara Raden Mas Suhikayatno.
DENMAS:
Suara
waktu! Berabab-abad aku mendengarnya… Terdengar di keretap hujan…, diantara
kereta yang menderu… Dengung di sayap lebah… Desah di setiap pencintaa…
(Menjadi melankolis dan merasa bahagia, seperti menghayati butiran-butiran
waktu yang merembes ke dalam tubuhnya) Ya, itu suara waktu…
Tiba-tiba
suara tik-tak itu berubah cepat – berdetak-detak dipukul-pukul jadi suara
ketukan orang jualan siomay. Dan terdengar teriakan pedagang itu, “Maaayy….
Siomay…”
DENMAS:
(Jengkel,
berteriak ke arah ‘pedagang siomay’ itu) Brengsek! (lalu ngomel sendiri) Saya
kira suara waktu!… (Tergeragap, seperti tersadar, ingat sesuatu) Waduh…
Jangan-jangan saya memang sudah ditinggalkan waktu. Terlambat! Ini ‘kan tanggal
tujuh belas!
Raden
Mas Suhikayatno cemas, gelisah…
DENMAS:
(Berteriak
memannggil mencari-cari pembantunya) Bambaaangg… cepet ambilkan jas saya!
Mereka pasti sudah menunggu saya….
Terdengar
celetukan dari para pemusik; “Hai, Mas… Gelisah begitu kenapa?…”
DENMAS:
Saya
mau ikut upacara tujuh belasan di Istana Negara…
Terdengar
jawaban dan celotehan dari para pemusik: “Tujuh belasan apa!… Merdeka saja
belum, kok!… Mas, ini masih jaman pra sejarah. Homo sapien saja belum ada…
Adanya homoseks… dst”
Raden
Mas Suhikayatno jadi bingung, tak percaya. Linglung kembali duduk di kursi
goyang…
DENMAS:
Apa
saya menderita amnesia, ya? (Menunjuk kepalanya) Waktu seperti ingatan yang
bertumpuk-tumpuk. Saya mengira Minggu… ternyata Rabu. Sering saya mendapati
diri saya berada di waktu yang salah.
Bersamaan
dengan itu terlihat lagi tumpukan gambar-gambar berbagai peristiwa, menyorot ke
arah Raden Mas Suhikayatno, seperti ingatan-ingatan yang berpusaran dalam
kepalanya…
DENMAS:
Ini
tahun berapa sebenarnya… Ini tahun berapa…
Sampai
terlihat gambar orang-orang bersorban putih, berbaris berteriak.[12] Tapi
bersa-maan itu terdengar suara derap dan ringkik kuda…
Tiba-tiba
terdengar suara,[13] bernada menggema: “Ta-hun… 1.9.9.8…”
DENMAS:
(Bingung,
tak percaya) 1998?? Yang bener!
Suara
itu terdengar lagi, menegaskan: “Ta-hun… 1.9.9.8…”
DENMAS:
Bukannya
ini tahun 1828?
Suara
itu kembali menegaskan dengan nada sama: “Ta-hun… 1.9.9.8…”
DENMAS:
Lha
itu siapa…, orang-orang yang pakai seragam putih-putih itu…
Suara
itu menjawab: “Mereka pasukan jihad.”
DENMAS:
Pasukan
Jihad? (Sadar berada di waktu yang salah, waktu yang tak sebagaimana dikiranya)
Saya kira pasukan Pangeran Diponegoro… (Bertanya meyakinkan) Bener, ini bukan
tahun 1828?!
Suara
itu memotong tegas menggema: “In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i
Ta-hun… 1.9.9.8…”
DENMAS:
(Jengkel)
Iya! Iya! Tapi ngomongmu nggak usah bergaya begitu dong! Malah kayak film
hantu. Persis Uka-uka![14]
Tiba-tiba
suara itu menjawab dengan biasa, memaki: “Oo asu!”
DENMAS:
Eeeh,
malah memaki! Saya kutuk jadi Presiden Indonesia, mampus kamu! (Seperti
tiba-tiba sadar, dan mencoba menjelaskan, ke arah penonton) Lho iya kan? Jadi
Presiden Indonesia itu seperti dapat kutukan kok! Apa sih enaknya jadi Presiden
Indonesia, coba? Di Indonesia, profesi presiden itu profesi yang sama sekali
tidak menarik. Dari dulu kerjanya gitu-gituuuu melulu: selalu nyusahin rakyat.
Kalau kalian termasuk golongan orang kreatif, tolong deh, nggak usah punya
cita-cita jadi Presiden Indonesia. Malah nanti tidak kreatif.
Tugas,
kewajiban dan tanggung jawab Presiden Indonesia itu monoton kok. Dari tahun ke
tahun, sia pun yang jadi presiden, ya tugasnya tetap sama: meningkatkan angka…
pengangguran; menambah jumlah devi… apa? Devisit uang Negara…; mencari pijaman
luar negeri, menaikan harga BBM… Sama sekali nggak kreatif kan. Mbosenin.
Saya
ngomong gitu, bukan karena saya dengki nggak jadi presiden, lho. (Seperti orang
yang jijik pada sesuatu) Hiiihhh…., saya nggak mau jadi presiden.
Jangankan
Presiden Indonesia… ditawarin jadi raja Hastina saja saya tidak mau kok. Emoh!
Padahal Romo Semar sendiri lho yang nawarin. Katanya, saya ini lebih pantas
jadi raja Hastina, ketimbang Yusdhistira, si Pandawa paling tua itu.
Saya
ingat betuk kok waktu itu… Itu jaman ketika belum ada kerajaan-kerajaan di Jawa.
Tapi saya sudah ada. Sudah tua dan imut seperti ini.
0 komentar
Posting Komentar