Kamis, 01 Desember 2016

Matinya Tukang Kritik Bagian 2

Waktu itu terjadi krisis di Hastina, karena Pandawa kalah main dadu. Romo Semar langsung tergopoh-gopoh menemui saya. (Bergaya wayang orang) “Kakang Raden Mas Suhikayatno, kamu harus menyelamatkan Hastina. Kamu harus jadi raja Hastina!” (Pause) Dengan halus saya menjawab, (kembali bergaya wayang orang) “Maaf, Dimas Semar…, maaf. Bukannya menolak, Dimas Semar. Tapi Maaf, Dimas Semar…, maaf. Saya sama sekali tidak punya cita-cita jadi raja di dunia wayang. Maaf lho, Dimas Semar…, maaf. Sekali lagi, maaf Dimas Semar… maaf…” [15]

Itulah track record saya… Saya memilih konstinten sebagai Tukang Kritik yang martabat. Itu yang saya pegang teguh sejak dulu. Sejak zaman Musa, zaman Babilonia… Sejak zaman saya masih jadi pacar gelapnya Cleopatra. Saya menolak diagung-agungkan seperti Julius Caecar. Saya menolak jadi tangan kanan Napoleon…, karena dia kidal.

Saya ini terlalu low profile untuk dijadikan pemimpin…

Itulah sebabnya, dulu saya sempet berantem sama Gajah Mada – karena saya menolak membantunya. Padahal kami temen sepermainan sejak kecil. Temen gaul gitu loh![16] . Suka main gundu dan mencuri buah maja sama-sama.

(Kepada para pemusik) Sssttt…, saya mau cerita…. Tapi ini rahasia lho ya… Jangan disebar-sebarin. Nanti penonton tahu… (Bergaya membisik, seolah berahasia, tapi bersuara keras hingga suara itu tetap saja sampai didengar penonton) Dulu…, semasa remaja, si Gajah Mada itu hobinya ngintip lho!… Nggak nyangka ‘kan, orang yang doyan ngintip begitu, bisa menyatukan Nusantara

Para pemusik menaggapi, tak mempercayai.

DENMAS:

Dibilangin nggak percaya!! Saya ini sering diajak dia ngintip perempuan yang lagi mandi (Sok gaya) Saya, sebagai orang yang menghargai perempuan, ya jelas tidak mau… Tidak mau ketinggalan ikut ngintip.

Nah, suatu senja…. (Mulai bergaya mempraktekkan apa yang dikisahkannya) si Gajah Mada mau ngintip nih… Ia mengendap-endap, sembunyi di balik belukar dan pepohonan. Persis Jaka Tarub ngintip bidadari mandi. Saya ngikut dibelakangnya, gemeteran… Takut ketahuan. Saya bilang, “Mad, Mad… Mada… kita pulang saja yuk…” Tapi dia tak mau. Dia malah naik ke pohon. Welah, sial! Di pohon itu ada sarang lebah, dan si Gajah Mada menyenggolnya. Langsung tawon-tawon itu menyerbu wajahnya…. Wuuut…wuuut… Itulah sebabnya, seperti pada gambar di buku sejarah yang sering kalian lihat: Gajah Mada bengkak wajahnya…[17]

Raden Mas Suhikayatno berjalan ke arah meja yang di tempatkan sedemikian rupa menurut kebutuhan tata setting dan artistik. Meja itu bergaya kuno, dengan sepasang kursi yang juga tua. Mengingatkan pada perabot seorang priyayi Jawa. Ada cangkir dan gelas di atas meja itu. Juga majalah dan koran yang tak rapi. Raden Mas Suhikayatno yang kecapaian karena terus-terusan bercerita, segera duduk di kursi. Menikmati minuman. Tapi kaget tersedak…

DENMAS:

(Menyemburkan minuman dari mulutnya, ngomel dan mengeluh) Astaga… Bambang! Ini kan teh dua hari lalu. (Berdahak seperti mencoba mengeluarkan sesuatu dari kerongkongannya) Saya sampai tersedak cicak! Bambanggg!!! Bambanggg….. (Jeda) Bener-bener punya bakat jadi presiden dia: kagak dengar meski sudah diteriakin… Alias budeg! Kata orang, budeg itu memang penyakit permanen presiden.

(Mengomel sambil mengambili majalah dan koran) Meja sampai berantakan begini… (Mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah itu, sambil terus ngomel dan memanggil) Mbang, apa ada surat buat saya?… Saya ‘kan sudah bilang, semua mesti rapi. Biar saya tidak bingung begini. Dibilangin dari dulu, eh tetap nggak didengerin. Apa sih susahnya ndengerin. Dibilangin baik-baik, eh malah ngata-ngatain, “Dasar Tukang Kritik sirik!”

Saya ngritik bukan karna sirik. Saya ngritik karena saya ingin semuanya baik. Hingga hidup bertambah baik. ‘Kan enak kalau semua kelihatan baik. Saya nggak seneng kalau kamu jorok. Baju kotor. Jangan kayak seniman: celana dalem, lima minggu sekali baru ganti.

Dikritik memang sakit… Itu tak seberapa. Sebab orang yang suka mengritik itu justru lebih merasa sakit, bila kritiknya nggak didengerin. (Jeda) Untung saya cukup sabar sebagai Tukang Kritik. Saya nggak pernah marah, meski disepelekan. Buat apa marah? Nggak ada gunanya…… (Lalu berteriak memanggil pembantunya lagi, pelan) Mbang… Bambangg…. Orang itu mesti yang sabar…. Bambaaangg… (Lama-lama teriakannya makin tinggi dan bernada marah) Diancuk! Mbang, mana surat itu!… Bambaaang!! (ke arah penonton, masih mengeram marah) Kalian lihat sendiri kan, dia selalu menyepelekan saya… tapi saya tetep sabar… (kembali berteriak marah) Kamu taruh mana surat itu?!

(Sampai kemudian merasa disepelekan, dan mulai mengeluh kepada siapa pun yang mendengarnya, mengeluh ke arah penonton) Sakiiittt ati saya. Sakit, sakit, sakitttttt kik kik kit…. Kadang saya pikir, buat apa saya teriak-teriak marah begitu. Buat apa saya terus-terusan mengritik… Kadang saya merasa lelah juga kok jadi Tukang Kritik. Saya pingin berhenti mengritik. Tapi kalau berhenti mengritik, saya sendiri yang malah sakit. Baru semenit tidak mengritik, mulut saya langsung pegel-pegel. Sehari tidak mengritik, langsung bisulan pantat saya.

Yaah, barangkali memang beginilah resiko jadi orang yang sudah terlanjur dicap sebagai Tukang Kritik. Saya cuma dianggap kutu pengganggu. Tapi saya menerima dengan lapang dada semua perlakuan itu. Saya sabar, sabaarrr… saya sabar… (tapi kata ‘sabar’ itu diucapkan dengan intonasi mengeram tajam) Meski kalian terus menyepelekan orang macam aku[18]… Orang yang kalian cibir sebagai Tukang Kritik!! Kalian hendak mengapusku dari ingatan zaman. Kalian menatapku dengan mata penuh penghinaan…

Raden Mas Suhikayatno tersengal kelelahan, kepayahan di puncak kemarahannya. Kemudian ia berjalan ke meja lagi. Marah. Mengeram. Kalap mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah yang langsung diacak-acaknya hingga berhamburan kemana-mana.

DENMAS:

Kalian memang mau melupakanku! Kalian mau melupakanku! Melupakanku!

Kemudian teriakan dan kemarahan itu perlahan melemah. Raden Mas Suhikayatno terisak, terhuyung-huyung menuju kursi goyangnya. Ia duduk di kursi goyang itu dengan tubuh gemetar. Meraih selimut dan segera menutupi tubuhnya yang gemetaran…

DENMAS:

(Terdengar seperti menghiba, seperti suara orang yang bersikeras mempertahankan harga dirinya)) Apa salah saya? Saya selalu tulus mengritik kalian… Tapi kenapa kalian memperlakukan saya begini?

Tak ada yang lebih menyakitkan, selain dilupakan…

(Mengagah-gagahkan diri, sikap seorang terhormat di hadapan kematian) Penjarakan saya! Ayo! Bunuh saya!…. Itu jauh lebih terhormat bagi Tukang Kritik macam saya…

(Lalu kembali gemetaran) Alangkah mengerikan dilupakan….

Kemudian Raden Mas Suhikayatno memegangi dadanya. Ia dihantam nyeri yang sangat. Kemudian berteriak serak dengan sisa-sia tenaganya. Teriakan itu terdengar tertahan di kerongkoannya,

DENMAS:

Bambaaaannggg…. Obat saya… Obat saya… Tolong… Air… Bam-banggg… Bammmmbaaannggg….

Suara Raden Mas Suhikayatno makin lama makin pelan, makin terdengar sebagai rerancauan. Cahaya di kursi goyang itu menggelap, ketika Raden Mas Suhikayatno sudah menutupi seluruh tubuhnya. Kursi itu hilang dalam gelap. Hanya terdengar suara Raden Mas Suhikayatno yang terus memanggili pembantunya: “Bambaaang…. Bambaaang…


Baaammmbaanngg…. dst…” [19]

0 komentar

Posting Komentar