Waktu
itu terjadi krisis di Hastina, karena Pandawa kalah main dadu. Romo Semar
langsung tergopoh-gopoh menemui saya. (Bergaya wayang orang) “Kakang Raden Mas
Suhikayatno, kamu harus menyelamatkan Hastina. Kamu harus jadi raja Hastina!”
(Pause) Dengan halus saya menjawab, (kembali bergaya wayang orang) “Maaf, Dimas
Semar…, maaf. Bukannya menolak, Dimas Semar. Tapi Maaf, Dimas Semar…, maaf.
Saya sama sekali tidak punya cita-cita jadi raja di dunia wayang. Maaf lho,
Dimas Semar…, maaf. Sekali lagi, maaf Dimas Semar… maaf…” [15]
Itulah
track record saya… Saya memilih konstinten sebagai Tukang Kritik yang martabat.
Itu yang saya pegang teguh sejak dulu. Sejak zaman Musa, zaman Babilonia… Sejak
zaman saya masih jadi pacar gelapnya Cleopatra. Saya menolak diagung-agungkan
seperti Julius Caecar. Saya menolak jadi tangan kanan Napoleon…, karena dia
kidal.
Saya
ini terlalu low profile untuk dijadikan pemimpin…
Itulah
sebabnya, dulu saya sempet berantem sama Gajah Mada – karena saya menolak
membantunya. Padahal kami temen sepermainan sejak kecil. Temen gaul gitu
loh![16] . Suka main gundu dan mencuri buah maja sama-sama.
(Kepada
para pemusik) Sssttt…, saya mau cerita…. Tapi ini rahasia lho ya… Jangan disebar-sebarin.
Nanti penonton tahu… (Bergaya membisik, seolah berahasia, tapi bersuara keras
hingga suara itu tetap saja sampai didengar penonton) Dulu…, semasa remaja, si
Gajah Mada itu hobinya ngintip lho!… Nggak nyangka ‘kan, orang yang doyan
ngintip begitu, bisa menyatukan Nusantara
Para
pemusik menaggapi, tak mempercayai.
DENMAS:
Dibilangin
nggak percaya!! Saya ini sering diajak dia ngintip perempuan yang lagi mandi
(Sok gaya) Saya, sebagai orang yang menghargai perempuan, ya jelas tidak mau…
Tidak mau ketinggalan ikut ngintip.
Nah,
suatu senja…. (Mulai bergaya mempraktekkan apa yang dikisahkannya) si Gajah
Mada mau ngintip nih… Ia mengendap-endap, sembunyi di balik belukar dan
pepohonan. Persis Jaka Tarub ngintip bidadari mandi. Saya ngikut dibelakangnya,
gemeteran… Takut ketahuan. Saya bilang, “Mad, Mad… Mada… kita pulang saja yuk…”
Tapi dia tak mau. Dia malah naik ke pohon. Welah, sial! Di pohon itu ada sarang
lebah, dan si Gajah Mada menyenggolnya. Langsung tawon-tawon itu menyerbu
wajahnya…. Wuuut…wuuut… Itulah sebabnya, seperti pada gambar di buku sejarah
yang sering kalian lihat: Gajah Mada bengkak wajahnya…[17]
Raden
Mas Suhikayatno berjalan ke arah meja yang di tempatkan sedemikian rupa menurut
kebutuhan tata setting dan artistik. Meja itu bergaya kuno, dengan sepasang
kursi yang juga tua. Mengingatkan pada perabot seorang priyayi Jawa. Ada
cangkir dan gelas di atas meja itu. Juga majalah dan koran yang tak rapi. Raden
Mas Suhikayatno yang kecapaian karena terus-terusan bercerita, segera duduk di
kursi. Menikmati minuman. Tapi kaget tersedak…
DENMAS:
(Menyemburkan
minuman dari mulutnya, ngomel dan mengeluh) Astaga… Bambang! Ini kan teh dua
hari lalu. (Berdahak seperti mencoba mengeluarkan sesuatu dari kerongkongannya)
Saya sampai tersedak cicak! Bambanggg!!! Bambanggg….. (Jeda) Bener-bener punya
bakat jadi presiden dia: kagak dengar meski sudah diteriakin… Alias budeg! Kata
orang, budeg itu memang penyakit permanen presiden.
(Mengomel
sambil mengambili majalah dan koran) Meja sampai berantakan begini…
(Mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah itu, sambil terus ngomel
dan memanggil) Mbang, apa ada surat buat saya?… Saya ‘kan sudah bilang, semua
mesti rapi. Biar saya tidak bingung begini. Dibilangin dari dulu, eh tetap
nggak didengerin. Apa sih susahnya ndengerin. Dibilangin baik-baik, eh malah
ngata-ngatain, “Dasar Tukang Kritik sirik!”
Saya
ngritik bukan karna sirik. Saya ngritik karena saya ingin semuanya baik. Hingga
hidup bertambah baik. ‘Kan enak kalau semua kelihatan baik. Saya nggak seneng
kalau kamu jorok. Baju kotor. Jangan kayak seniman: celana dalem, lima minggu
sekali baru ganti.
Dikritik
memang sakit… Itu tak seberapa. Sebab orang yang suka mengritik itu justru
lebih merasa sakit, bila kritiknya nggak didengerin. (Jeda) Untung saya cukup
sabar sebagai Tukang Kritik. Saya nggak pernah marah, meski disepelekan. Buat
apa marah? Nggak ada gunanya…… (Lalu berteriak memanggil pembantunya lagi,
pelan) Mbang… Bambangg…. Orang itu mesti yang sabar…. Bambaaangg… (Lama-lama
teriakannya makin tinggi dan bernada marah) Diancuk! Mbang, mana surat itu!…
Bambaaang!! (ke arah penonton, masih mengeram marah) Kalian lihat sendiri kan,
dia selalu menyepelekan saya… tapi saya tetep sabar… (kembali berteriak marah)
Kamu taruh mana surat itu?!
(Sampai
kemudian merasa disepelekan, dan mulai mengeluh kepada siapa pun yang
mendengarnya, mengeluh ke arah penonton) Sakiiittt ati saya. Sakit, sakit,
sakitttttt kik kik kit…. Kadang saya pikir, buat apa saya teriak-teriak marah
begitu. Buat apa saya terus-terusan mengritik… Kadang saya merasa lelah juga
kok jadi Tukang Kritik. Saya pingin berhenti mengritik. Tapi kalau berhenti
mengritik, saya sendiri yang malah sakit. Baru semenit tidak mengritik, mulut
saya langsung pegel-pegel. Sehari tidak mengritik, langsung bisulan pantat
saya.
Yaah,
barangkali memang beginilah resiko jadi orang yang sudah terlanjur dicap
sebagai Tukang Kritik. Saya cuma dianggap kutu pengganggu. Tapi saya menerima
dengan lapang dada semua perlakuan itu. Saya sabar, sabaarrr… saya sabar… (tapi
kata ‘sabar’ itu diucapkan dengan intonasi mengeram tajam) Meski kalian terus
menyepelekan orang macam aku[18]… Orang yang kalian cibir sebagai Tukang
Kritik!! Kalian hendak mengapusku dari ingatan zaman. Kalian menatapku dengan
mata penuh penghinaan…
Raden
Mas Suhikayatno tersengal kelelahan, kepayahan di puncak kemarahannya. Kemudian
ia berjalan ke meja lagi. Marah. Mengeram. Kalap mencari-cari sesuatu di
tumpukan koran dan majalah yang langsung diacak-acaknya hingga berhamburan
kemana-mana.
DENMAS:
Kalian
memang mau melupakanku! Kalian mau melupakanku! Melupakanku!
Kemudian
teriakan dan kemarahan itu perlahan melemah. Raden Mas Suhikayatno terisak,
terhuyung-huyung menuju kursi goyangnya. Ia duduk di kursi goyang itu dengan
tubuh gemetar. Meraih selimut dan segera menutupi tubuhnya yang gemetaran…
DENMAS:
(Terdengar
seperti menghiba, seperti suara orang yang bersikeras mempertahankan harga
dirinya)) Apa salah saya? Saya selalu tulus mengritik kalian… Tapi kenapa
kalian memperlakukan saya begini?
Tak
ada yang lebih menyakitkan, selain dilupakan…
(Mengagah-gagahkan
diri, sikap seorang terhormat di hadapan kematian) Penjarakan saya! Ayo! Bunuh
saya!…. Itu jauh lebih terhormat bagi Tukang Kritik macam saya…
(Lalu
kembali gemetaran) Alangkah mengerikan dilupakan….
Kemudian
Raden Mas Suhikayatno memegangi dadanya. Ia dihantam nyeri yang sangat.
Kemudian berteriak serak dengan sisa-sia tenaganya. Teriakan itu terdengar
tertahan di kerongkoannya,
DENMAS:
Bambaaaannggg….
Obat saya… Obat saya… Tolong… Air… Bam-banggg… Bammmmbaaannggg….
Suara
Raden Mas Suhikayatno makin lama makin pelan, makin terdengar sebagai
rerancauan. Cahaya di kursi goyang itu menggelap, ketika Raden Mas Suhikayatno
sudah menutupi seluruh tubuhnya. Kursi itu hilang dalam gelap. Hanya terdengar
suara Raden Mas Suhikayatno yang terus memanggili pembantunya: “Bambaaang….
Bambaaang…
Baaammmbaanngg….
dst…” [19]
0 komentar
Posting Komentar