Sementara
itu, dari sebelah kiri kanan kursi, muncul sosok hologram yang sama persis
dengan Raden Mas Suhikayatno. Tubuh dan wajahnya. Pakaiannya. Persis. Kedua
sosok hologram itu memandang ke arah kursi goyang yang kini terlihat pucat di
bawah cahaya yang menyorotnya, bergoyang-goyang, tertutup selimut – dimana
seolah-olah ada Raden Mas Suhikayatno yang gemetaran di balik selimut itu.
Untuk menegaskan itu, kursi goyang mestilah terus berayun-ayun pelan,[20] dan
terus terdengar rintihan suara Raden Mas Suhikayatno yang sesekali meracau
demam, sesekali memanggili pembantunya. Kedua hologram itu mulai bicara. Sebut
saja mereka dengan nama Hologram 1 dan Hologram 2.[21]
HOLOGRAM
1:
Dia
kelelahan…
HOLOGRAM
2:
Dia
berusaha bertahan…
HOLOGRAM
1:
Nasibnya
akan sama, seperti para Tukang Kritik lainnya… Pingsan di kursi kekuasaan!
HOLOGRAM
2:
Dia
sedang menghimpun kekuatan…
Sementara
suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela
percakapan dua hologram itu..
HOLOGRAM
1:
Dia
sedang belajar menerima kekalahan…
HOLOGRAM
2 :
(Kepada
hologram satunya) Kau sinis karena tak percaya takdir!
HOLOGRAM
1:
Aku
tak menyerah pada takdir, karena tak ingin jadi kentir! Atau jadi kaum munafik
sepertimu…
Sementara
suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela
percakapan dua hologram itu..
HOLOGRAM
2:
Tapi
aku tak menyerah… Seperti dia yang juga tak menyerah. Seperti semua Tukang
Kritik yang hidup sepanjang sejarah…
HOLOGRAM
1:
Taik!
Tukang kritik tak lebih cuma kaum munafik! Munafik! (menuding dan menghardir,
terus-menerus) Munafik! Munafik….
Teriakan
‘munafik’ itu terus terdengar berulang-ulang, makin meninggi, dan dua sosok
hologram itu lenyap. Sementara kursi goyang berayun cepat, gelisah. Raden Mas
Suhikayatno yang disergap suara-suara itu kian meracau. Memanggil-manggil nama
pembantunya. Suara Raden Mas Suhikayatno, makin lama makin meninggi : “Tidak…
Tolong…. Bambang…. Bambang…..” [22]
Sampai
kemudian ‘teriakan-teriakan itu’ menghilang. Tetapi kursi goyang itu terus
bergoyang-goyang gelisah…
Muncul
Bambang,[23] membawa sapu lidi, tergopoh-gopoh mendekati kursi goyang.
BAMBANG:
Iya,
Tuan…. Ada apa, Tuan…. Maaf…… Ya, Tuan…
Bambang
bingung dan gugup memandangi kursi goyang itu, melihat majikannya yang meracau
memanggil-manggil namanya: “Bambang… Baammbbaaangg…” Sampai kemudian suara itu
berhenti. Raden Mas Suhikayatno tertidur lelap. Diam. Tak ada suara…
BAMBANG:
(Sambil
membetulkan selimut, seakan-akan menyelimuti majikannya agar lebih tenang
tidurnya) Kasihan Tuan…
Terdengar
suara, seakan ada benda jatuh atau sesuatu yang mengejutkan.
BAMBANG:
Sssssttttt…
Tolong, jangan berisik. Biar Tuan bisa istirahat… Kasihan dia. Akhir-akhir ini
kelihatan gelisah. Bingung. (Jeda) Yaa, sebenarnya dari dulu sih Tuan saya itu
orangnya membingunkan. Saking membi-ngungkannya, sampai-sampai saya juga ikut
bingung.
Tuan
saya orangnya eksentrik. Kerjanya nyalahin orang. Ada ajah yang diomelin.
Inilah, itulah. Saya dikatain ginilah, gitulah. Tiap hari kerjanya
ngritiiiiikkkk melulu. Apa saja dikritiknya… Kalau Anda pakai kaos kuning, dan
dia ngelihat, pasti langsung ngritik: “Ih kuning kayak tai…” Nanti kalau Anda
ganti pakai kaos merah, tetep saja dikritik: “Ih, apa hebatnya kaos merah!”…
(Begitu seterusnya). [24]
Bambang
kemudian melihat majalah dan koran yang berhamburan berantakan, dan segera
memberesi.
BAMBANG:
(Sambil
memeberi koran majalah itu) Nanti kalau bangun, pasti ngomel-ngomel… (seolah
menirukan majikannya) “Ngapain kamu berantakin! Dasar nggak becus jadi
pembantu!” (pause) Saya memang nggak becus atuh jadi pembantu. Nama saya ajah
Bambang. Mana teh ada pembantu namanya Bambang. Saya mah pantesdnya jadi
presiden, uiy… Meski jerawatan gini!
Yang
nyebelin, nanti kalau udah saya beresin, tetep ajah saya diomelin… (kembali
menirukan majikannya) “Siapa yang suruh ngrapiin! Lihat, halamannya jadi sobek
gini!” (pause) Begini salah, begitu salah. Begitulah Tuan saya. Di dunia ini
nggak ada yang bener dimatanya.
Bambang
mau menaruh koran dan majalah itu di satu tempat, tetapi mendadak terdengar
suara Raden Mas Suhikayatno, setengah mengigau: “Jangan di situ…”
BAMBANG:
(Kaget
mendengar suara itu) Gila kan…lagi tidur ajah masih tetep suka ngritik!
Lalu
membawa kembali koran-koran itu dan menaruh di ajah meja, agak dilempar begitu
saja. Dan Langsung terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau: “Yang bener…
yang rapi…”
BAMBANG:
(Gemes,
jengkel) Hhhhhmmm. Gemes aku! Sebel aku! Binguuuuuuuu-unngggg!!!
Kalian
bisa bayangkan, bagaimana stressnya saya jadi pembantu Raden Mas Suhikayatno
Purwokerto ini… Sejak kecil saya jadi pembantu di sini. Bapak saya juga jadi
pembantu di sini. Kakek saya. Juga simbah buyut saya. Begitu juga simbahnya
simbah, simbanhnya simbahnya simbah saya… semua jadi pembantu di sini. Turun
temurun dikutuk jadi pembantu!
Tapi
Simbah saya pernah bilang, “Jadi pembantu seperti ini bukan kutukan, Le.[25]
Tapi keberuntungan. Kita ini orang-orang pilihan, Le. ”
Jadi,
trah saya itu trah pembantu. Asli. Orisinil. Darah saya itu darah murni seorang
pembantu. Kalau di dunia sihir, saya ini disebut penyihir murni. Bukan penyihir
keturunan mugle, seperti Harry Potter.[26] Jadi darah pembantu yang mengalir di
tubuh saya ini termasuk jenis darah yang ningrat. Jenis pembantu priyayi. Ini
kasta tertinggi di tingkatan pembantu. Kalau kasta paling rendah ya kasta
pembantu jenis TKI itu… Disiksaaaa melulu…
Kadang
saya ini merasa nggak jauh beda kok sama para priyayi raja-raja itu. Paling
beda dikit lah. Mereka turun-temurun jadi raja, saya turun-temurun jadi
pembantu. Kalau raja-raja itu punya gelar, sebenernya saya juga berhak
menandang gelar… Mereka bergelar Amangkurat I. Karena pembantu, saya cukup
bergelar Amongtamu I. Nanti, keturunan saya akan bernama Amongtamu II…,
Amongtamu III, dan seterusnya. Atau bisa juga menyebut diri mereka sebagai
Hamengkukusan atau Hamengkudapan. Pokoknya yang berbau-bau dapur lah. Karena
sebagai trah pembantu, kami memang mesti mawayu hayuning dapur.
Mengambil
sapu lidi yang tadi dibawanya, kemudian mulai menyapu…
BAMBANG:
Tapi
ya ada senengnya juga kok jadi pembantunya Raden Mas Suhikayatno ini…. Beliau
itu orang hebat. Dia itu….
Mendadak
terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, mengigau, seperti memanggil:
“Mmbaaaang…. Bambanggg….”
BAMBANG:
(Tergeragap)
Ehh… iya, Tuan…. (kepada penonton) Tuh ‘kan, apa saya bilang. Beliau itu orang
hebat. Seperti wali. Kalau digunjingin langsung kerasa…
Raden
Mas Suhikayatno terus meracau, dan Bambang buru-buru mendekat ke kursi goyang
itu.
BAMBANG:
Iya,
Tuan…. Saya cuma ngobrol. Ada tamu… Tidak, tidak ngantar surat… Cuma nonton…
Surat? Dari tadi kok nyari-nyari surat terus?! Maksud Tuan surat apa? Surat
gadai? Surat tagihan? Surat tilang? … Nggak ada surat apa pun, Tuan… WR.
Suratman juga nggak ada… (kemudian sadar kalau maji-kannya ternyata tertidur).
Terdengar
bunyi dengkur…
BAMBANG:
(Bernada
ngedumel) Wahhh, lama-lama Tuan ini mirip Gus Dur… diajak ngomong kok malah
tidur.
Lalu
dengan pelan, takut membangunkan, Bambang berjalan menjahui kursi goyang itu.
Kembali bicara kepada penonton.
BAMBANG:
Tadi
sampai mana?… (Mengingat-ingat) Eemm. Oh, ya… hebat…
Dia
itu terkenal banget sebagai Tukang Kritik nomor wahid. Banyak versi cerita
seputar sosoknya. Kisah kelahirannya saja ada lebih 1.501 versi. Ada yang
mengisahkan ia lahir dari bonggol pisang. Ada yang bilang ia muncul begitu saja
dari kabut waktu. Tapi ada juga bilang: dia itu anak hasil kawin silang manusia
dan genderuwo.
Bambang
menenggok ke arah kursi goyang, agak ketakutan. Takut kedengeran…
0 komentar
Posting Komentar