Kamis, 01 Desember 2016

Matinya Tukang Kritik Bagian 3

Sementara itu, dari sebelah kiri kanan kursi, muncul sosok hologram yang sama persis dengan Raden Mas Suhikayatno. Tubuh dan wajahnya. Pakaiannya. Persis. Kedua sosok hologram itu memandang ke arah kursi goyang yang kini terlihat pucat di bawah cahaya yang menyorotnya, bergoyang-goyang, tertutup selimut – dimana seolah-olah ada Raden Mas Suhikayatno yang gemetaran di balik selimut itu. Untuk menegaskan itu, kursi goyang mestilah terus berayun-ayun pelan,[20] dan terus terdengar rintihan suara Raden Mas Suhikayatno yang sesekali meracau demam, sesekali memanggili pembantunya. Kedua hologram itu mulai bicara. Sebut saja mereka dengan nama Hologram 1 dan Hologram 2.[21]

HOLOGRAM 1:

Dia kelelahan…

HOLOGRAM 2:

Dia berusaha bertahan…

HOLOGRAM 1:

Nasibnya akan sama, seperti para Tukang Kritik lainnya… Pingsan di kursi kekuasaan!

HOLOGRAM 2:

Dia sedang menghimpun kekuatan…

Sementara suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua hologram itu..

HOLOGRAM 1:

Dia sedang belajar menerima kekalahan…

HOLOGRAM 2 :

(Kepada hologram satunya) Kau sinis karena tak percaya takdir!

HOLOGRAM 1:

Aku tak menyerah pada takdir, karena tak ingin jadi kentir! Atau jadi kaum munafik sepertimu…

Sementara suara erang Raden Mas Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua hologram itu..

HOLOGRAM 2:

Tapi aku tak menyerah… Seperti dia yang juga tak menyerah. Seperti semua Tukang Kritik yang hidup sepanjang sejarah…

HOLOGRAM 1:

Taik! Tukang kritik tak lebih cuma kaum munafik! Munafik! (menuding dan menghardir, terus-menerus) Munafik! Munafik….

Teriakan ‘munafik’ itu terus terdengar berulang-ulang, makin meninggi, dan dua sosok hologram itu lenyap. Sementara kursi goyang berayun cepat, gelisah. Raden Mas Suhikayatno yang disergap suara-suara itu kian meracau. Memanggil-manggil nama pembantunya. Suara Raden Mas Suhikayatno, makin lama makin meninggi : “Tidak… Tolong…. Bambang…. Bambang…..” [22]

Sampai kemudian ‘teriakan-teriakan itu’ menghilang. Tetapi kursi goyang itu terus bergoyang-goyang gelisah…

Muncul Bambang,[23] membawa sapu lidi, tergopoh-gopoh mendekati kursi goyang.

BAMBANG:

Iya, Tuan…. Ada apa, Tuan…. Maaf…… Ya, Tuan…

Bambang bingung dan gugup memandangi kursi goyang itu, melihat majikannya yang meracau memanggil-manggil namanya: “Bambang… Baammbbaaangg…” Sampai kemudian suara itu berhenti. Raden Mas Suhikayatno tertidur lelap. Diam. Tak ada suara…

BAMBANG:

(Sambil membetulkan selimut, seakan-akan menyelimuti majikannya agar lebih tenang tidurnya) Kasihan Tuan…

Terdengar suara, seakan ada benda jatuh atau sesuatu yang mengejutkan.

BAMBANG:

Sssssttttt… Tolong, jangan berisik. Biar Tuan bisa istirahat… Kasihan dia. Akhir-akhir ini kelihatan gelisah. Bingung. (Jeda) Yaa, sebenarnya dari dulu sih Tuan saya itu orangnya membingunkan. Saking membi-ngungkannya, sampai-sampai saya juga ikut bingung.

Tuan saya orangnya eksentrik. Kerjanya nyalahin orang. Ada ajah yang diomelin. Inilah, itulah. Saya dikatain ginilah, gitulah. Tiap hari kerjanya ngritiiiiikkkk melulu. Apa saja dikritiknya… Kalau Anda pakai kaos kuning, dan dia ngelihat, pasti langsung ngritik: “Ih kuning kayak tai…” Nanti kalau Anda ganti pakai kaos merah, tetep saja dikritik: “Ih, apa hebatnya kaos merah!”… (Begitu seterusnya). [24]

Bambang kemudian melihat majalah dan koran yang berhamburan berantakan, dan segera memberesi.

BAMBANG:

(Sambil memeberi koran majalah itu) Nanti kalau bangun, pasti ngomel-ngomel… (seolah menirukan majikannya) “Ngapain kamu berantakin! Dasar nggak becus jadi pembantu!” (pause) Saya memang nggak becus atuh jadi pembantu. Nama saya ajah Bambang. Mana teh ada pembantu namanya Bambang. Saya mah pantesdnya jadi presiden, uiy… Meski jerawatan gini!

Yang nyebelin, nanti kalau udah saya beresin, tetep ajah saya diomelin… (kembali menirukan majikannya) “Siapa yang suruh ngrapiin! Lihat, halamannya jadi sobek gini!” (pause) Begini salah, begitu salah. Begitulah Tuan saya. Di dunia ini nggak ada yang bener dimatanya.

Bambang mau menaruh koran dan majalah itu di satu tempat, tetapi mendadak terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, setengah mengigau: “Jangan di situ…”

BAMBANG:

(Kaget mendengar suara itu) Gila kan…lagi tidur ajah masih tetep suka ngritik!

Lalu membawa kembali koran-koran itu dan menaruh di ajah meja, agak dilempar begitu saja. Dan Langsung terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau: “Yang bener… yang rapi…”

BAMBANG:

(Gemes, jengkel) Hhhhhmmm. Gemes aku! Sebel aku! Binguuuuuuuu-unngggg!!!

Kalian bisa bayangkan, bagaimana stressnya saya jadi pembantu Raden Mas Suhikayatno Purwokerto ini… Sejak kecil saya jadi pembantu di sini. Bapak saya juga jadi pembantu di sini. Kakek saya. Juga simbah buyut saya. Begitu juga simbahnya simbah, simbanhnya simbahnya simbah saya… semua jadi pembantu di sini. Turun temurun dikutuk jadi pembantu!

Tapi Simbah saya pernah bilang, “Jadi pembantu seperti ini bukan kutukan, Le.[25] Tapi keberuntungan. Kita ini orang-orang pilihan, Le. ”

Jadi, trah saya itu trah pembantu. Asli. Orisinil. Darah saya itu darah murni seorang pembantu. Kalau di dunia sihir, saya ini disebut penyihir murni. Bukan penyihir keturunan mugle, seperti Harry Potter.[26] Jadi darah pembantu yang mengalir di tubuh saya ini termasuk jenis darah yang ningrat. Jenis pembantu priyayi. Ini kasta tertinggi di tingkatan pembantu. Kalau kasta paling rendah ya kasta pembantu jenis TKI itu… Disiksaaaa melulu…

Kadang saya ini merasa nggak jauh beda kok sama para priyayi raja-raja itu. Paling beda dikit lah. Mereka turun-temurun jadi raja, saya turun-temurun jadi pembantu. Kalau raja-raja itu punya gelar, sebenernya saya juga berhak menandang gelar… Mereka bergelar Amangkurat I. Karena pembantu, saya cukup bergelar Amongtamu I. Nanti, keturunan saya akan bernama Amongtamu II…, Amongtamu III, dan seterusnya. Atau bisa juga menyebut diri mereka sebagai Hamengkukusan atau Hamengkudapan. Pokoknya yang berbau-bau dapur lah. Karena sebagai trah pembantu, kami memang mesti mawayu hayuning dapur.

Mengambil sapu lidi yang tadi dibawanya, kemudian mulai menyapu…

BAMBANG:

Tapi ya ada senengnya juga kok jadi pembantunya Raden Mas Suhikayatno ini…. Beliau itu orang hebat. Dia itu….

Mendadak terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, mengigau, seperti memanggil: “Mmbaaaang…. Bambanggg….”

BAMBANG:

(Tergeragap) Ehh… iya, Tuan…. (kepada penonton) Tuh ‘kan, apa saya bilang. Beliau itu orang hebat. Seperti wali. Kalau digunjingin langsung kerasa…

Raden Mas Suhikayatno terus meracau, dan Bambang buru-buru mendekat ke kursi goyang itu.

BAMBANG:

Iya, Tuan…. Saya cuma ngobrol. Ada tamu… Tidak, tidak ngantar surat… Cuma nonton… Surat? Dari tadi kok nyari-nyari surat terus?! Maksud Tuan surat apa? Surat gadai? Surat tagihan? Surat tilang? … Nggak ada surat apa pun, Tuan… WR. Suratman juga nggak ada… (kemudian sadar kalau maji-kannya ternyata tertidur).

Terdengar bunyi dengkur…

BAMBANG:

(Bernada ngedumel) Wahhh, lama-lama Tuan ini mirip Gus Dur… diajak ngomong kok malah tidur.

Lalu dengan pelan, takut membangunkan, Bambang berjalan menjahui kursi goyang itu. Kembali bicara kepada penonton.

BAMBANG:

Tadi sampai mana?… (Mengingat-ingat) Eemm. Oh, ya… hebat…

Dia itu terkenal banget sebagai Tukang Kritik nomor wahid. Banyak versi cerita seputar sosoknya. Kisah kelahirannya saja ada lebih 1.501 versi. Ada yang mengisahkan ia lahir dari bonggol pisang. Ada yang bilang ia muncul begitu saja dari kabut waktu. Tapi ada juga bilang: dia itu anak hasil kawin silang manusia dan genderuwo.


Bambang menenggok ke arah kursi goyang, agak ketakutan. Takut kedengeran…

0 komentar

Posting Komentar