Kamis, 01 Desember 2016

Matinya Tukang Kritik Bagian 4

BAMBANG:

Kalau dilihat dari tampangnnya, ada benernya juga sih cerita itu… Serba tanggung. Cakep enggak, buruk iya. Setengah manusia, setengah makhkuk sengsara… Beda jauh ‘kan sama saya? [27]

Bahkan ada yang percaya: dia sudah ada sejak permulaan dunia. (Bergaya menduga-duga) Jangan-jangan dia itu sesungguhnya pacar pertama Hawa, sebelum Hawa akhirnya menikah sama Adam…

Tiba-tiba gugup, dan langsung mendekat ke arah penonton…

BAMBANG:

Sebentar…. Saya harus klarifikasi sebentar soal Adam dan Hawa dulu. Biar tak terjadi salah interpretasi. Biar tidak diprotes. Dianggap melecehkan. Adam di sini bukan Adam manusia pertama yang jadi nabi itu lho, tapi Adam Malik… Sedangkan Hawa…. (bingung sendiri dan mikir mencari-cari) hmmm.., kalau Hawa apa ya? Oh ya, Hawa itu maksudnya Hamid Hawaludin…[28]

Sejak saya di sini, Beliau ya begitu-gitu terus. Nggak tua-tua. Seperti nggak bisa mati. Dulu Kakek saya pernah bilang, (Menirukan suara Kakeknya) “Tukang Kritik sejati seperti dia nggak bakalan mati! Dia itu legenda setiap zaman. Tahu tidak, di zaman Yunani… dia mengubah namanya jadi Socrates.”

Itu kata Kakek saya. Saya sih percaya-pecaya saja. Lagi pula, kalau dirunut secara etimologi, ada benernya juga kok: Socrates… ‘Sok-krates’… asal katanya ‘Sok’ dan ‘protes’. Sok-protes. Nah, Raden Mas Suhikayatno ini kan juga seneng protes. Jadi antara Socrates dan Suhikayatno, bisa jadi emang orang yang sama… Yah, minimal namanya sama-sama berawalan S.

Menurut sahibul hikayat, Raden Mas Suhikayatno ini memang dikenal memiliki banyak nama. Dia pernah dikenal sebagai Gallileo. Di Perancis dia dipanggil Voltaire. Tapi begitu di Jawa dipanggil Empu Gandring. Lalu jadi Gandhi waktu di India.

Kata Kakek saya, (kembali menirukan suara Kakeknya) “Mereka memang berbeda nama… Tapi lihat, apa yang mereka lakukan… Mereka semua sesungguhnya orang yang sama.” (Jeda. Ragu) Iya juga sih… Tapi gimana nalarnya ya: dari Gandring kok jadi Gandhi? Aneh kan kalau nanti di tulis: Gandhi bin Gandring…

Nama Raden Mas Suhikayatno ini juga meragukan kok. Ini nama beneran, atau nama jadi-jadian.

Anda kau tahu, yang namanya legenda, pasti banyak nggak masuk akalnya. Apalagi ini legenda menyangkut seorang tokoh. Tahu sendirilah, syndrome para tokoh: suka membesar-besarkan peran mereka dalam sejarah. Saya kira, majikan saya ini pun mengindap syndrom macam itu…

Bambang sejenak memandang ke arah kursi goyang, takut omongannya kedengaran Raden Mas Suhikayatno. Tapi langsung tenang ketika melihat tak ada reaksi dari arah kursi goyang.

BAMBANG:

Saya nggak menghinanya lho… Bagaimana pun saya hormat kok sama Beliau. Memang dia suka banget ngritik. Tapi pada dasarnya dia baik kok.

Kalau dirasa-rasa, terasa betul kok kebenaran dalam kritik-kritiknya. Kritikannya tulus. Jujur.

Soalnya orang yang suka mengritik itu kan banyak macamnya. Ada yang mengritik asal mengritik. Ada yang mengritik, supaya dianggap berani dan kritis. Ada yang selalu mengkritik, agar dapat perhatian. Ada yang terus-terusan mengkritik, karena sudah nggak sabar nunggu giliran duduk di kursi kekuasaan. Di luar pagar teriak-teriak, begitu udah di dalam malah tambah rusak.

Tuan saya ini nggak silau kedudukan. Dari dulu ya di situ terus duduknya. Nggak pindah-pindah. Ditawari jadi Presiden Indonesia yang pertama juga nggak mau…

Untung juga ya dia nggak jadi Presiden Indonesia. Bisa berabe kalau yang jadi presiden pertama dia. Kalau Sukarno sih memang pantes. (Mengeja dengan nada melodius) Su-kar-no. Terdengar enak ditelinga. (Meniru suara pembawa acara upacara) “Inilah presiden pertama kita: Sukarno…”. Gagah betul kan kedeengarannya… Lha kalau dia? (Kembali meniru suara pembawa acara upacara) “Ladies and gentlement, inilah presiden pertama Republik Indonesia: Su..ka..yat…yat…yat…yat.. no…no…” Diberi echo ajah tetep kagak enak. Su-ka-yat-no… Nama yang amat sangat tidak nasionalistis!

Lagi pula nama Kayat kan berbau kekiri-kirian. Ka-yat. Kedengaran seperti “rak-yat”. Jenis nama-nama yang bisa membawa nasib buruk buat para pemiliknya. Contohnya: Mu-nir…[29]

Terdengar suara erangan dari arah kursi goyang: “Bambaaangggg… Bambaanggg…. Jam berapa…”

Cepat-cepat Bambang pura-pura sibuk menyapu.

Terdengar suara Raden Mas suhikayatno bertanya: “Ini jam berapa…. Ini Tahun berapa…”

BAMBANG:

(Sambil terus pura-pura sibuk menyapu) Jam 4… Tahun 2011…

Raden Mas Suhikayatno terus mengigau memanggil nama “Bambang” sesekali-kali. Bambang tetap sibuk menyapu. Sampai kemudian suara igauan Raden Mas Suhikayatno berhenti…

BAMBANG:

(Melihat sebentar ke arah kursi goyang itu, lalu segera ke arah penonton) Ngegosip lagi aahhh…

Saya ingat. Empat tahun lalu. Tepatnya tahun 2008. Ya. Tahun 2008. Kira-kira 8 bulan sebelum penyenggaraan Pemilu. Raden Mas Suhikayatno diminta jadi pimpinan KPU. Tapi dia nggak mau. Takut terlibat karupsi berjamaah seperti KPU periode sebelumnya…

Saat Pemilihan Presiden tahun 2009, Beliau juga diminta jadi wakil SBY. Soalnya Jusuf Kala maju sendiri jadi Capres didukung Partai Golkar.

Waktu itu memang banyak pengamat yang bilang, kalau majikan saya dan SBY itu pasangan ideal. Lebih cocok, begitu. Ya, setidaknya dibanding wakil SBY sebelumnya, yang dianggap terlalu kreatif, dan terlalu banyak inisiatif. [30]

Saya sih nggak terlalu ngerti politik. Nggak tahulah, gimana kelanjutannya. Yang jelas, pada Pemilihan Presiden tahun 2009 itu pemenangnya adalah calon yang didukung Partai Panji Tengkorak. Yakni, Butet Kertaredjasa.[31] Inilah pertama kalinya, seorang seniman berhasil menjadi presiden di Indonesia…. Gimana seniman ngatur Negara ya? Ngurus hidupnya sendiri saja ruwet…

Tahu, apa program pertama Butet Kertaredjasa sebagai presiden? Mengganti nama-nama jalan. Nama jalan yang tadinya dipenuhi nama tentara, diganti dengan nama para seniman. Jalan Gatot Subroto diganti menjadi Jalan Sapardi Djoko Damono. Jalan S. Parman diganti Jalan S. Bagio. Pokoknnya semua jalan diberi nama seniman. Dari jalan tol, jalan tembus, sampai jalan buntu. Bahkan Jalan Taman Lawang[32] juga diganti menjadi Jalan Djaduk Ferianto. [33] Hanya satu nama jalan yang tidak di ganti. Yakni Jalan Gajah Mada. Karena Gajah Mada itu teman sepermainan majikan saya.

Sampai kemudian, terdengar suara Raden Mas Suhikayatno, meracau memanggil: “Bambangggg… Pukul berapa sekarang…..”

BAMBANG:

(Tergopoh mendekati kursi goyang) Iya Tuan…. Jam 8 malam… Mau air panas sekarang?

Suara Raden Mas Suhikayatno datar: “Capek… Ini tahun berapa?”

BAMBANG:

(Sudah duduk bersimpuh di dekat kursi goyang itu) Tahun 2011, Tuan… Saya pijit ya…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Kamu yakin… Bukan tahun 3050?…”

BAMBANG:

(Sambil seakan-akan memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno) Wah, kejauhan loncatnya, Tuan… Nggak ada itu di naskah…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Saya yakin ini tahun 3050… Samar-samar saya melihat bayangan bertumpuk-tumpuk….”

BAMBANG:

(Sambil terus memijat, tapi juga melihat ke arah kejauhan) Ooo, itu Borobudur dibikin jadi tingkat lima, Tuan…

Suara Raden Mas Suhikayatno masih lelah datar: “Apa surat itu sudah datang?.. Siapkan pakaian saya…”

Bambang segera bergegas mengambi baju majikannya.

0 komentar

Posting Komentar