BAMBANG:
(Menyerahkan
baju yang diambilnya ke arah kursi goyang itu) Yang ini kan… (Lalu
membentangkannya di selimut) Saya pijit ya, Tuan.. (Ia kemudian kembali
memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno – terdengar desah nafasnya yang keenakan
dipijit – terus ke atas, tiba tiba ia melonjak kaget, sementara tangannya
terbenam masuk selimut seakan dicengkeram majikannya) Enak Tuan… Aduh, Maaf
Tuan… Sumpah nggak sengaja mijit yang itu. Saya kira tangan Tuan… Tapi kok
lembek…. Aduuhhh… Sakit, Tuan… Aduhhhh….
Tangan
Bambang terpiting, ia kesakitan berdiri. Lalu pelan-pela ia mengubah diri
menjadi Raden Mas Suhikayatno. Perubahan ini terjadi dengan perubahan situasi:
dari Bambang yang dipuntir tanggannya, menjadi Raden Mas Suhikayatno yang
memuntir tangan Bambang.
Kini
Raden Mas Suhikayatno memakai selimut di pundak dan menutupi tubuhnya hingga
seperti berjubahkan selimut itu, berdiri dari kursi goyang, memegangi tangan
pembantunya….
DENMAS:
Kurang
ajar! Bener-bener tidak punya tata karma. Barang keramat milik majikan kok
dimain-mainin… Enak tau! Kamu mau apa kok grayang-grayang begitu…
PAUSE:
berubah jadi Bambang (melepas selimut itu), bersembah ketakutan di depan kursi
goyang itu….
BAMBANG:
Ampun,
Tuan… Saya cuma mau ngetes… onderdil tuan masih tokcer tidak…
PAUSE:
berubah jadi Raden Mas Suhikayatno (kembali memakai selimut), berdiri
memandangi ke arah pembantunya yang bersimpuh dekat kakinya.
DENMAS:
Eee…menghina
ndoromu ini ya?! Biar prostat sering kumat, tetap saja masih kuat… Dari Ken
Dedes sampai Ken Norton, sudah membuktikan ‘keampuhan’ saya… (menggeliat,
menguap) Tolong air putih… (seakan ke arah pembantunya yang beringsung pergi)
Eh, sekalian tusuk gigi… (Jeda sejenak, terus mengeliat dan olahraga kecil
melemaskan otot. Sampai kemudian seolah-olah menerima gelas, berkumur,
menyembur-nyemberkan air kumur ke samping kursi, kemudian memakai tusuk gigi)
PAUSE:
berubah jadi Bambang, bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….
BAMBANG:
Sekarang
Tuan mau mandi dulu, apa langsung sarapan?…Sikat gigi? Sikat gigi sudah saya
siapin. Odol masih ada… Kalau tusuk gigi sudah habis, yang Tuan pakai itu ajah
bekas yang kemarin..
PAUSE:
berubah cepat jadi Raden Mas Suhikayatno,
DENMAS:
(Membentak
marah sambil sekan membuang tusuk gigi yang tadi dipakainya, dan bergerak mau
memukul) Bajigur! (Seolah pembantunya lari ketakutan) Sial benar saya punya
pembantu macam kamu. Awas kamu, ya! (Mengambil baju yang tadi dibawakan
pembantunya dan mulai memakainya, sambil berteriak ke arah tadi pembantunya
menghilang) Hai, sini!… Ngapain kamu malah naik genting begitu. Sudah, nggak
usah alasan mau benerin atap. Ayo, turun! Disuruh turun kok malah mendelik.
Kamu itu bener-benar keterlaluan kok. Ayo turun! Cepet turun! Bambang, kamu
dibilangin kok ngeyel buanget sih! Sudah nggak becus, ngeyel lagi… Ayo toh
turun, Mbang! Turun!
(Kepada
penonton) Jangan salah faham ya… Saya ini nyuruh turun Bambang pembantu saya.
Bukan Bambang yang lain…
(Kembali
seakan ke arah pembantunya itu, mulai sabar) Bambang… Ayo toh turun… Sekarang
kamu lihat di kotak surat, ada surat buat saya tidak. Nggak ada? Coba kamu cari
di bawah keset, mungkin nyelip di situ… Nggak ada juga? Ya sudah, sekarang kamu
nunggu saja di halaman. Iya! Siapa tahu tukang pos itu lewat…
Raden
Mas Suhikayatno berbicara di atas sembari juga meneliti tupukan koran dan
majalah di atas meja, mencari-cari sesuatu. Memeriksa, membacanya…
DENMAS:
(Tampak
kecewa, ketika tahu tidak menemukan surat yang diharapkannya) Pasti mereka lupa
mengirimkannya! (Menimbang, menduga, mengira-kira) Lupa mengirimkan, apa tidak
mau mengirim-kan? Mereka anggap saya ini siapa?
Maaf,
saya bukannya mau mengungkit-ungkit. Tapi hargai dong sejarah saya. Apa dikira
Tukang Kritik macam saya nggak menyumbangkan apa-apa? Bagaimana jadinya bangsa
ini kalau nggak ada orang macam saya. Sayalah yang memulai sejarah. Orang macam
sayalah yang menggerakkan sejarah. Orang-orang yang berani menyampaikan kritik.
Waktu
negeri ini masih dijajah Kumpeni…, kalian pikir siapa yang berani sama Kumpeni?
(bisa ke arah pemusik, yang merespon suasana, bisa ke arah penonton) Siapa coba
yang berani melawan Kumpeni?!… (Dijawab sendiri) Si Pitung.
Kalian
terlalu meremehkan peran saya. Apa kalian pikir saya tidak kenal Ki
Hadjardewantara, Cokroaminoto, Agus Salim, Sjahrir dan Hatta? Saya sangat kenal
mereka…, meski mereka tidak kenal saya. Mereka semua itu sahabat-sahabat saya.
Saya selalu menemani mereka berdiskusi hingga dini hari. Ketika mereka
diskusi.., saya menemani membikinkan kopi.
Ini
sejarah, Bung! Kebenaran paling kecil pun harus ditulis. Saya tak ingin sejarah
kita penuh kebohongan. Meski banyak yang bilang: sejarah sesungguhnya tidak
lebih dari berbagai macam versi kebohongan!
(Mengambil
albun foto di atas meja, dan seolah menunjukkan pada setiap oranag) Coba kalian
lihat lagi foto-foto sejrah bangsa ini. Yang ini! Yang ini! Lihat foto
pembacaan Proklamasi….
Di
layar terlihat foto Pembacaan Proklamasi itu.[34]
DENMAS:
Perhatikan
dengan cermat. Itu, di sebelah kanan… Kalian pasti tidak melihat saya. Hanya
bidang kosong hitam. Disitulah mestinya saya berdiri. Tapi kalian telah
menghitamkannya…
Selama
ini saya diam. Kalian menulis para pendiri bangsa berjumlah 68. Saya rela nama
saya tak disebutkan. Sebab, ditambah nama saya, berarti jadi 69. Angka 69 kan
bisa sitarsirkan macam-macam…
Tapi
kenapa kalian hanya menyebut para Bapak bangsa?! Dimana para ibu yang melahirkan
mereka? Ibu-ibu Bangsa yang merawat dan membesarkan sejarah bangsa ini?
Sungguh…,
saya tak menuntut apa-apa….
Tidakkah
kalian ingat di tahun 1995, lebih limabelas tahun lampau, di zaman Soeharto…
Ketika semua bungkam… Tukang Kritik seperti sayalah yang mempertaruhkan nyawa.
Ketika koran dan majalah di breidel… Ketika kalian masih takut bicara
demokrasi… Tidakkah kalian ingat saya…
Bagaimana
mungkin, kini kalian perlahan-lahan mengapus saya dari ingatan…
(Meninggi)
Sayalah yang selalu mengritik! Karena saya punya suara… Siapa yang bisa
membunuh suara? Suara bisa kamu bungkam. Tapi tidak mungkin kamu bunuh. Kamu
tak mungkin bisa membunuh saya…
Di
puncak kemarahan, Raden Mas Suhikayatno terhuyung… Bersandar di kursi goyang,
kelelahan. Dadanya sakit. Ia memanggil-manggil pembantunya….
DENMAS:
Bambaaang….
Toloooonggg…. obat saya…. (lalu meracau) Kalian tidak bisa membunuh saya… Saya
suara zaman… Gema yang terus berpan-tulan…
Suara
racauan Raden Mas Suhikayatno terus terdengar, makin pelan dan tenggelam, tak
jelas. Pada Saat itulah, pelan-pelan muncul suara nyanyian. Seperti angin yang
muncul dari pusaran waktu. Pada saat ini video menggambarkan waktu yang
berdenyut, semesta yang mengembang dan mengerut. Gerigi mesin waktu yang
bergemeretak bergerak. Gambar-gambar itu tumpah pecah ke seluruh panggung.
Nyanyian itu, kau dengarkah nyanyian itu?
Yang
berdiam di rahim waktu
Engkau
siapakah itu?
Kami
mendengar di desau hujan
Keluhmu
pelan tertahan
Kami
melihat ada yang berkelat
Engkaukah
itu berbaring lelap
Di
pusaran waktu
Di
rahim waktu
Siapakah
itu?
Bersamaan
gema lagu yang meredup, muncul dua hologram itu lagi. Memandangi Raden Mas
Suhikayatno yang mengerang gelisah dalam tidurnya.
0 komentar
Posting Komentar