Kamis, 01 Desember 2016

Matinya Tukang Kritik Bagian 5

BAMBANG:

(Menyerahkan baju yang diambilnya ke arah kursi goyang itu) Yang ini kan… (Lalu membentangkannya di selimut) Saya pijit ya, Tuan.. (Ia kemudian kembali memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno – terdengar desah nafasnya yang keenakan dipijit – terus ke atas, tiba tiba ia melonjak kaget, sementara tangannya terbenam masuk selimut seakan dicengkeram majikannya) Enak Tuan… Aduh, Maaf Tuan… Sumpah nggak sengaja mijit yang itu. Saya kira tangan Tuan… Tapi kok lembek…. Aduuhhh… Sakit, Tuan… Aduhhhh….

Tangan Bambang terpiting, ia kesakitan berdiri. Lalu pelan-pela ia mengubah diri menjadi Raden Mas Suhikayatno. Perubahan ini terjadi dengan perubahan situasi: dari Bambang yang dipuntir tanggannya, menjadi Raden Mas Suhikayatno yang memuntir tangan Bambang.

Kini Raden Mas Suhikayatno memakai selimut di pundak dan menutupi tubuhnya hingga seperti berjubahkan selimut itu, berdiri dari kursi goyang, memegangi tangan pembantunya….

DENMAS:

Kurang ajar! Bener-bener tidak punya tata karma. Barang keramat milik majikan kok dimain-mainin… Enak tau! Kamu mau apa kok grayang-grayang begitu…

PAUSE: berubah jadi Bambang (melepas selimut itu), bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….

BAMBANG:

Ampun, Tuan… Saya cuma mau ngetes… onderdil tuan masih tokcer tidak…

PAUSE: berubah jadi Raden Mas Suhikayatno (kembali memakai selimut), berdiri memandangi ke arah pembantunya yang bersimpuh dekat kakinya.

DENMAS:

Eee…menghina ndoromu ini ya?! Biar prostat sering kumat, tetap saja masih kuat… Dari Ken Dedes sampai Ken Norton, sudah membuktikan ‘keampuhan’ saya… (menggeliat, menguap) Tolong air putih… (seakan ke arah pembantunya yang beringsung pergi) Eh, sekalian tusuk gigi… (Jeda sejenak, terus mengeliat dan olahraga kecil melemaskan otot. Sampai kemudian seolah-olah menerima gelas, berkumur, menyembur-nyemberkan air kumur ke samping kursi, kemudian memakai tusuk gigi)

PAUSE: berubah jadi Bambang, bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….

BAMBANG:

Sekarang Tuan mau mandi dulu, apa langsung sarapan?…Sikat gigi? Sikat gigi sudah saya siapin. Odol masih ada… Kalau tusuk gigi sudah habis, yang Tuan pakai itu ajah bekas yang kemarin..

PAUSE: berubah cepat jadi Raden Mas Suhikayatno,

DENMAS:

(Membentak marah sambil sekan membuang tusuk gigi yang tadi dipakainya, dan bergerak mau memukul) Bajigur! (Seolah pembantunya lari ketakutan) Sial benar saya punya pembantu macam kamu. Awas kamu, ya! (Mengambil baju yang tadi dibawakan pembantunya dan mulai memakainya, sambil berteriak ke arah tadi pembantunya menghilang) Hai, sini!… Ngapain kamu malah naik genting begitu. Sudah, nggak usah alasan mau benerin atap. Ayo, turun! Disuruh turun kok malah mendelik. Kamu itu bener-benar keterlaluan kok. Ayo turun! Cepet turun! Bambang, kamu dibilangin kok ngeyel buanget sih! Sudah nggak becus, ngeyel lagi… Ayo toh turun, Mbang! Turun!

(Kepada penonton) Jangan salah faham ya… Saya ini nyuruh turun Bambang pembantu saya. Bukan Bambang yang lain…

(Kembali seakan ke arah pembantunya itu, mulai sabar) Bambang… Ayo toh turun… Sekarang kamu lihat di kotak surat, ada surat buat saya tidak. Nggak ada? Coba kamu cari di bawah keset, mungkin nyelip di situ… Nggak ada juga? Ya sudah, sekarang kamu nunggu saja di halaman. Iya! Siapa tahu tukang pos itu lewat…

Raden Mas Suhikayatno berbicara di atas sembari juga meneliti tupukan koran dan majalah di atas meja, mencari-cari sesuatu. Memeriksa, membacanya…

DENMAS:

(Tampak kecewa, ketika tahu tidak menemukan surat yang diharapkannya) Pasti mereka lupa mengirimkannya! (Menimbang, menduga, mengira-kira) Lupa mengirimkan, apa tidak mau mengirim-kan? Mereka anggap saya ini siapa?

Maaf, saya bukannya mau mengungkit-ungkit. Tapi hargai dong sejarah saya. Apa dikira Tukang Kritik macam saya nggak menyumbangkan apa-apa? Bagaimana jadinya bangsa ini kalau nggak ada orang macam saya. Sayalah yang memulai sejarah. Orang macam sayalah yang menggerakkan sejarah. Orang-orang yang berani menyampaikan kritik.

Waktu negeri ini masih dijajah Kumpeni…, kalian pikir siapa yang berani sama Kumpeni? (bisa ke arah pemusik, yang merespon suasana, bisa ke arah penonton) Siapa coba yang berani melawan Kumpeni?!… (Dijawab sendiri) Si Pitung.

Kalian terlalu meremehkan peran saya. Apa kalian pikir saya tidak kenal Ki Hadjardewantara, Cokroaminoto, Agus Salim, Sjahrir dan Hatta? Saya sangat kenal mereka…, meski mereka tidak kenal saya. Mereka semua itu sahabat-sahabat saya. Saya selalu menemani mereka berdiskusi hingga dini hari. Ketika mereka diskusi.., saya menemani membikinkan kopi.

Ini sejarah, Bung! Kebenaran paling kecil pun harus ditulis. Saya tak ingin sejarah kita penuh kebohongan. Meski banyak yang bilang: sejarah sesungguhnya tidak lebih dari berbagai macam versi kebohongan!

(Mengambil albun foto di atas meja, dan seolah menunjukkan pada setiap oranag) Coba kalian lihat lagi foto-foto sejrah bangsa ini. Yang ini! Yang ini! Lihat foto pembacaan Proklamasi….

Di layar terlihat foto Pembacaan Proklamasi itu.[34]

DENMAS:

Perhatikan dengan cermat. Itu, di sebelah kanan… Kalian pasti tidak melihat saya. Hanya bidang kosong hitam. Disitulah mestinya saya berdiri. Tapi kalian telah menghitamkannya…

Selama ini saya diam. Kalian menulis para pendiri bangsa berjumlah 68. Saya rela nama saya tak disebutkan. Sebab, ditambah nama saya, berarti jadi 69. Angka 69 kan bisa sitarsirkan macam-macam…

Tapi kenapa kalian hanya menyebut para Bapak bangsa?! Dimana para ibu yang melahirkan mereka? Ibu-ibu Bangsa yang merawat dan membesarkan sejarah bangsa ini?

Sungguh…, saya tak menuntut apa-apa….

Tidakkah kalian ingat di tahun 1995, lebih limabelas tahun lampau, di zaman Soeharto… Ketika semua bungkam… Tukang Kritik seperti sayalah yang mempertaruhkan nyawa. Ketika koran dan majalah di breidel… Ketika kalian masih takut bicara demokrasi… Tidakkah kalian ingat saya…

Bagaimana mungkin, kini kalian perlahan-lahan mengapus saya dari ingatan…

(Meninggi) Sayalah yang selalu mengritik! Karena saya punya suara… Siapa yang bisa membunuh suara? Suara bisa kamu bungkam. Tapi tidak mungkin kamu bunuh. Kamu tak mungkin bisa membunuh saya…

Di puncak kemarahan, Raden Mas Suhikayatno terhuyung… Bersandar di kursi goyang, kelelahan. Dadanya sakit. Ia memanggil-manggil pembantunya….

DENMAS:

Bambaaang…. Toloooonggg…. obat saya…. (lalu meracau) Kalian tidak bisa membunuh saya… Saya suara zaman… Gema yang terus berpan-tulan…

Suara racauan Raden Mas Suhikayatno terus terdengar, makin pelan dan tenggelam, tak jelas. Pada Saat itulah, pelan-pelan muncul suara nyanyian. Seperti angin yang muncul dari pusaran waktu. Pada saat ini video menggambarkan waktu yang berdenyut, semesta yang mengembang dan mengerut. Gerigi mesin waktu yang bergemeretak bergerak. Gambar-gambar itu tumpah pecah ke seluruh panggung. Nyanyian itu, kau dengarkah nyanyian itu?

Yang berdiam di rahim waktu

Engkau siapakah itu?

Kami mendengar di desau hujan

Keluhmu pelan tertahan

Kami melihat ada yang berkelat

Engkaukah itu berbaring lelap

Di pusaran waktu

Di rahim waktu

Siapakah itu?


Bersamaan gema lagu yang meredup, muncul dua hologram itu lagi. Memandangi Raden Mas Suhikayatno yang mengerang gelisah dalam tidurnya.

0 komentar

Posting Komentar