Sabtu, 31 Desember 2016

Naskah Drama Insan-Insan Malang Bagian 6

PELAMAR I MEMBACA AGAK NYARING.

Pelamar I          :   Demi Tuhan, ikhlas kuterima takdir malangku selama ini. tapi aku sudah terlalu rapuh untuk bertahan lebih lama. Jiwaku sudah dilumpuhkan dera siksa batin yang berkepanjangan. Tak ada matahari dalam hidupku. Semuanya kelam mengerikan. Dan wajah bunda kandung kian datang dari alam barzah sana. Padanya ingin aku adukan tingkah gila bapak. Tidak, aku tidak bisa lebih lama hadir di alam fana ini sebagai pemuas nafsu gila bapak. Aku akan segera bertemu bunda, aku mau segera mengadu padanya. Di tanganku kini kugenggam dua kapsul racun yang kubawa semasa studi farmasiku dulu. Benda ini akan mengantar kepergianku ke alamat bunda beberapa menittanpa rasa sakit…… Semoga Tuhan Yang Maha Pengampun melimpahkan belas kasihan padaku, mengampuni dosaku, kelancanganku. Aku terpaksa, Tuhan Maha Tahu. Karena aku tidak sudi diperlakukan isteri oleh bapak kandungku sendiri. Ya Allah, terimalah rohku, hamba-Mu yang teramat malang ini…… (SUARANYA TERSENDAT. GONTAI MELANGKAH KE KURSI SAMBIL DUDUK DILETAKKAN BUKU HARIAN YANG MASIH TERBUKA DI ATAS MEJA) Semoga, kabul doa dan harapannya. Terkutuklah si bapak gila. Di mana dia sekarang?
Pemuda            :   Di ranjang mati sana.
Pelamar I          :   Bersama mayat wati? ia membiarkan mayat wati selama beberapa hari
Pemuda            :   Silahkan bung lihat sendiri , wajah wati begitu damai disana, meski jasad matinya sudah mulai berbau. Tapi, si tua sinting masih juga enggan melepaskannya. Dan sekarang mungkin dia masih terus membelainya dan meratapinya.
Pelamar I          :   Astaga, itu harus segera dicegah . apa yang ahrus kulakukan sekarang?
Pemuda            :   Terserah apa saja maumu.
Pelamar I          :   Aku akan menderita kerugian total sekarang. Tapi pada siapa aku akan menuntut rugi ini, Wati Cuma satu, takan ada lagi penggantinya. Dan terhadap bapak gial itu I tidak bisa berbuat apa-apa selain kutukan dan makian, dan I tidak bisa mengambil tindakan terhadapnya, tetapi bagaimana dengan mayat Wati, apakah akan kita biarkan membusuk dan terus dibelai-belai oleh si gila itu? Apakah you tidak bisa mengambil tindakan? Setidak-tidaknya you harus menyeret si gila itu dari kamar celaka itu.
Pemuda            :   Biarkan untuk sementara ia memuaskan kesintingannya.

PEMUDA MENDADAK TERSENTAK PANDANGANNYA NYALANG KE RUANG DALAM. PELAMAR I CEPAT BANGKIT DENGAN KAGET DAN MENGIKUTI PANDANGAN PEMUDA KE RUANG DALAM.

Pemuda            :   Bau kain terbakar.
Pelamar I          :   Celaka, jangan-jangan dia bakar mayat Wati dan rumah ini.
PEMUDA CEKATAN LARI MENGHAMBUR KE RUANG DALAM. PELAMAR I MEMPERHATIKAN DENGAN CEMAS BINGUNG.
Pelamar I          :   Sialan! Duwit, kekasih ideal segalanya hilang. Dan sekarang harus terlibat dengan urusan mayat dan orang gila segala. Sialan!

MENDADAK DARI DALAM TERDENGAR BAPAK BERTERIAK-TERIAK NYARING.

Bapak                 :   Pergi kau jahanam, pergi kau setan! Pergi!
Pelamar I          :   (MAJU SELANGKAH, PANDANGANNYA NYALANG KE RUANG DALAM) Celaka, sekarang apa lagi yang terjadi di sana. Jangan-jangan mereka duel. Dan kalau rumah ini sampai terbakar, lebih celaka lagi. sebaiknya aku cepat-cepat angkat kaki saja.

PELAMAR I CEPAT MEMBALIK DAN BURU-BURU MELANGKAH KE PINTU LUAR. TAPI SEGERA BERHENTI KETIKA MENDENGAR SUARA NAFAS TERENGAH-EN MENDADAK PELAMAR I TERSENTAK KAGET MENGALIHKAN PANDANGAN PADA BAPAK YANG MUNCUL DARI RUANG DALAM. BAPAK MENUTUPI WAJAHNYA DENGAN KEDUA TELAPAK TANGAN YANG MENGGENGGAM SECARIK KAIN BEKAS TERBAKAR API. TANGAN DAN BAJUNYA KOTOR BERLUMURAN ABU. BAPAK MELANGKAH AGAK SEMPOYONGAN MENUJU KE TENGAH RUANGAN. PEMUDA JUGA TERSENTAK KAGET MELIHAT KEHADIRAN BAPAK. BAIK PELAMAR I MAUPUN PEMUDA SAMA MELANGKAH MUNDUR SEDIKIT. KEDUA ORANG ITU MENOROTI BAPAK YANG SUDAH BERADA DI TENGAH RUANGAN, DENGAN PERASAAN TEGANG.
GAH PEMUDA MUNCUL DARI DALAM; PELAMAR I BERDIRI DI AMBANG PINTU, SEDANG PEMUDA BERDIRI DEKAT BUFET SAMBIL MEMBERSIHKAN LENGAN TANGANNYA YANG BERLUMURAN ABU.

Pelamar I          :   Bagaimana? Apa yang terjadi? Betul orang tua gila itu membakar mayat Wati dan rumah ini?
Pemuda            :   Tidak. Dia hanya membakar wajahnya sendiri dengan mencelupkan mukanya pada kobaran api. dia bakar wajahnya dengan tumpukan pakaian Wati. Tadi sudah kucoba mencegahnya. Tapi sia-sia. Dan terjadilah apa yang terjadi.
Pelamar I          :   Betul-betul sudah gila dia sekarang. Tapi itu urusan pribadi, biar dia menggantung diri. Apa peduliku. Ayo, kita segera angkat kaki dari sini sebelum kita langsung berurusan dengan orang gila. Bisa nanti kita berurusan dengan polisi dalam peristiwa ini. bukan saja kita harus jadi saksi, malah bisa kita dituduh berkomplot membunuh Wati.
Pemuda            :   Kita tak perlu takut menghadapi kenyataan. Kita wajib menjadi saksi-saksi hidup di samping kesaksian celaka Wati dalam buku hariannya itu.
Pelamar I          :   Ooo, no! Sudah kelewat rugi dalam urusan Wati. I tidak mau menjadi lebih susah lagi. I tidak mau terlibat lebih jauh lagi. nanti saja kalau sudahberes, I akan urus segala keperluan, segala ongkos penguburan Wati. Mulai dari ongkos visum dokter, karangan bunga, peti mati, nisan, seluruhnya I bayar. Sekarang, biar I pergi. You saja yang tunggu di sini. Kalau perlu, you segera saja panggil polisi. Siapa tahu orang tua gila itu semakin kalap, akibatnya you bisa mendapat susah sendiri. Okay?
Pemuda            :   Kalau bung mau pergi, silahkan, pergilah. Tapi bung tidak akan bisa lari dari kesaksian peristiwa malang ini.
Pelamar I          :   Jangan I di-fait accomli!

MENDADAK PELAMAR I TERSENTAK KAGET MENGALIHKAN PANDANGAN PADA BAPAK YANG MUNCUL DARI RUANG DALAM. BAPAK MENUTUPI WAJAHNYA DENGAN KEDUA TELAPAK TANGAN YANG MENGGENGGAM SECARIK KAIN BEKAS TERBAKAR API. TANGAN DAN BAJUNYA KOTOR BERLUMURAN ABU. BAPAK MELANGKAH AGAK SEMPOYONGAN MENUJU KE TENGAH RUANGAN. PEMUDA JUGA TERSENTAK KAGET MELIHAT KEHADIRAN BAPAK. BAIK PELAMAR I MAUPUN PEMUDA SAMA MELANGKAH MUNDUR SEDIKIT. KEDUA ORANG ITU MENOROTI BAPAK YANG SUDAH BERADA DI TENGAH RUANGAN, DENGAN PERASAAN TEGANG.

Bapak                 :   Aku dengar suara lelaki-lelaki di sini. Pasti yang satu suara si pengkhianat jahanam. Satunya lagi? ya, aku ingat. Pasti itu, sijuragan yang tergila-gila pada Wati. Si kenes, si banci apa yang yang mau kau cari di sini? Sudah kau dengar kabar bencana? Sudahkah kau saksikan sendiri? (BATUK-BATUK. MELANGKAH KE ARAH BUFET) Kalian lelaki-lelaki konyol! Kalian mau memboyong Wati ha! Tidak bisa, tidak bisa! Wati adalah milikku pribadi, Wati sekarang sudah pergi……(KETAWA. MELANGKAH LEBIH DEKAT KE BUFET) Tidak ada seorangpun di antara kalian yang memenangkan pertandingan. Tidak juga lelaki ketiga yang jahanam. Tidak ada seorang lelakipun di dunia ini yang bisa memiliki Wati, kecuali aku. Tapi sekarang Wati sudah pergi. Aku ditinggalkannya dalam kegelapan…… (MERABA DENGAN TANGAN KIRINYA PINGGIRAN BUFET SAMPAI MENYENTUH POTRET) Wati sayang, kani kau sudah bebas dari incaran lelaki-lelaki lajang. Tak ada lagi yang akan menyedihkan hatimu dengan lamaran-lamaran. Tak ada lagi yang akan merayu, menyentuh-nyentuh jasadmu dengan berahi berapi. (TANGAN KIRINYA MERABA, MENGUSAP-USAP POTRET. PELAMAR I DAN PEMUDA TERUS MEMPERHATIKAN TINGKAH LAKU BAPAK DENGAN WAJAH-WAJAH TEGANG) Kini kau damai dalam abadi, bukan? Ooo jangan, jangan kau mencibir bibir begitu. Apa Wati, kau bilang apa? Aku jahanam tua bangka, katamu? Apa? Aku hantu jahat? Jangan manis, jangan kau sakiti hatiku begitu rupa. Aku satu-satunya lelaki yang menyayangimu lebih dari siapapun di dunia ini. Ooo hentikan cibiranmu itu Wati, hentikan! (TANGAN KIRINYA MENYENTAK, DAN POTRET JATUH PECAH BERANTAKAN DI LANTAI. DENGAN GEMETAR, TANGAN KIRI NYA DIANGKAT TEPAT DI HADAPAN WAJAHNYA, YANG MASIH DITUTUPI DENGAN BEKAS BAKARAN KAIN DENGAN TANGAN KANAN NYA) Wati kau cuma sejangkauan di hadapanku, kemarilah Wati. Kemarilah. Jangan bimbing aku dalam kekelaman jahanam. Wati, bimbinglah aku bersamamu. Wati kemana kau? Kemana? Wati tunggu, jangan tinggalkan aku. Tunggu – tunggu! (DENGAN TANGAN MENGGAPAI-GAPAI, MELANGKAH KE ARAH PINTU LUAR)
Bapak                 :   Tunggu Wati! Jangan tinggalkan aku dalam kegelapan jahanam, jangan! Wati tumggu aku, tunggu!

BAPAK SEMPOYONGAN MELANGKAH SAMPAI DIAMBANG PINTU LUAR, TANGAN KIRINYA BERHASIL MEMBUKA PINTU, TERUS KELUAR SAMBIL BERSERU-SERU.

Bapak                 :   Tunggu Wati, tunggu! Gelap-gelap!

PELAMAR I MEMBURU KEARAH PINTU LUAR, BERDIRI DIANTARA DAUN PINTU YANG AGAK TERBUKA. PELAMAR I MENGAWASI LANGKAH BAPAK, LALU CEPAT KEMBALI KEARAH PEMUDA YANG HANYA MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA

Pelamar I          :   Astaga, dia jalan begitu cepat ke jalan raya aku kwatir….
Pelamar            :   Dia sudah diburu bayangan dosanya sendiri. Dan kalau terjadi sesuatu atas dirinya, maka itu kehendak takdir. Biarkanlah dia pergi dalam cekikan gelap yang dibukanya sendiri. Biarkan dia pergi bikin perhitungan atas kesintingannya sendiri.
Pelamar I          :   I tidak mengerti apa yang ucapkan itu. Now, cepat saja kita laporkan kepolisi segala kejadian ini. Eh biarlah I sendiri yang pergi. You  tinggal disini saja mengurus mayat orang bunuh diri. Apalagi mayat kekasih idealku. Tolong bung, you bereskan ya. Dengan sedanku, I dalam sepuluh menit sudah tiba dikantor polisi.

PELAMAR I BURU-BURU KELUAR. PEMUDA MENGHENBUSKAN NAFAS PANJANG. PANDANGANNNYA DIARAHKAN KE POTRET YANG PECAH BERANTAKAN DI LANTAI. DENGAN GERAK TENANG PEMUDA MELANGKAH MEMUNGUTI PECAHAN KACA POTRET , DAN DITATAP DENGAN PANDANGAN SAYU. KEMUDIAN POTRET TERSEBUT DIUSAP-USAPKAN KE DADANYA SAMBIL BANGKIT PERLAHAN-LAHAN

Pemuda            :   Firasat burukku, jadi kenyataan, maafkan wati, aku terlambat tiba.(MELANGKAH KEMEJA,POTRET DILETAKKAN DIATAS BUKU HARIAN) Tapi akhirnya takdir juga yang menentukan segala cerita manusia. Takdir atas diri perawan malang, atas diri lelaki-lelaki malang. Semuanya, insan-insan malang (MENUTUPI WAJAH DENGAN KEDUA TELAPAK TANGAN)

TIBA-TIBA MUNCUL PELAMAR I DENGAN TERENGAH-ENGAH

Pemuda            :   Bung begitu cepat kembali.
Pelamar I          :   Aku tidak jadi ke polisi.
Pemuda            :   Mengapa?
Pelamar I          :   Mengerikan sekali bung, dia terkapar dibawah roda truk, kurang lebih seratus meter dari jalan besar muka sana, rupanya dia tertabrak  waktu hendak menyebrang dipersimpangan.tanpa mengjiraukan keramaian lalu lintas, sekarang dia terkapar disana jadi tontonan orang banyak, Mengerikan sekali
Pemuda            :   tunai sudah dia menebus kesintingannya. Semoga Tuhan mengampuninya. Sekarang semuanya sudah berlalu, ibu, bapak dan anak berlalu sudah, takdir hitam. Berlalu sudah, segala bencana.
Pelamar I          :   Ya, tapi bagaimana dengan kita. Tidak cukup kita berkabung, dan pasang iklan belasungkawa atas kematian bapak dan Wati yang malang. Di sini, kita masih harus berurusan dengan mayat Wati. Di sana, nanti kita masih harus berurusan dengan polisi jadi saksi.
Pemuda            :   Beruntunglah kita jadi saksi atas lakon insan-insan malang ini. beruntunglah kita ikut merasakan kepedihan hakikat cinta. Kalau saja kita mau mengerti, sekarang kita tambah dewasa dalam menghayati lingkaran kehidupan fana. (DIHAMPIRI PELAMAR I)
Pelamar I          :   You benar sobat. Hidup – cinta, bahagia – bencana tidak bisa kita hayati dengan logika eksakta belaka. Untung rugi kehidupan, tidak bisa kita perkirakan menurut perhitungan dagang semata. Dari kemalangan yang sama kita alami, dan kita saksikan bersama ini, I sadar bahwa hidup kita dikitari misteri, dikuasai takdir Ilahi.
Pemuda            :   (MELEMPAR SENYUM. DIBALAS OLEH PELAMAR I) Kita kubur yang mati bersama deritanya dan masa lalu. Besok, kita naik saksi untuk yang lampau dalam meniti langkah kita menatap matahari.

*** Selesai ***

0 komentar

Posting Komentar