Sabtu, 31 Desember 2016

Naskah Drama Insan-Insan Malang Bagian 5

BABAK II

Bapak                 :   Kenapa kau menyeru ibumu wati . kenapa tidak menyeru aku. Kenapa kau begitu tega tinggalkan aku, seperti juga ibumu dulu tega mendahului kealam baka. Dan kini kau telah lari pergi malapetaka sisi hari tua. Tak ada lagi kedamaian. Sekarang semua gelap. Aku dimakan gerhana…Ooo, bencana jahanam!

TERDENGAR KETUKAN KERAS DARI PIMTU LUAR. BAPAK MEMBALIK DENAGN GERAM

Bapak                 :   Aku tidak teriam tamu. Pergi !

PINTU DIDORONG DARI LUAR, MUNCUL PELAMAR II, HENTI DIAMBANG DENGAN TEGANG

Bapak                 :   Kau….kau mau apa lagi ha ! Aku tidak teriam tamu…pergi !
Pelamar II         :   Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu. Aku kemari ingin bertemu watiku, jadi tidak perduli apakah kawan, eh bapak terima tamu atau tidak, karena bapak harus maklum situasi politik di tanah air sedang kritis, komplotan nekolim dengan dibantu antek-anteknya disini dengan dukungan dewan jendral reaksioner mau lancarka kudeta, perebutan kekuasaan negara, tetapi kaum kami sedang mati-matian berjuang untuk menyelamatkan revolusi, tapi sayang keadan kami sedang terdesak, namun kami akan terus berjuang dengan segala cara, dengan aksi massa dan perang gerilya, karena itulah sekarang aku memaksa diri sekarang untuk bertemu Watiku, harap bapak maklum.
Bapak                 :   persetan dengan apa yang terjadi. Persetan dengan segala dalihmu . aku tidak bisa terima tamu. Pergi!
Pelamar II         :   Sudah kukatakan tadi bahwa aku kemari hanya untuk bertemu Watiku , dan keadan darurat begini, aku sebagai bakal suami Wati berhak penuh untuk bertemu dengannya dan membawa pergi ketempat yang lebih aman.
Bapak                 :   Apa!?! Kau mau menculik Wati?
Pelamar II         : Jangan salah tafsir, aku bukan mau menculiknya, aku Cuma ingin mengamankannya, dia akan aman dibawah perlindunganku dan kawan-kawan lain.
Bapak                 :   Sebelum kamu lebih nekad lagi anak muda, dengan ini kunyatakan lamaranmu kutolak, nah sekarang tidak ada alasan lagi aku bertemu dengan Wati.

PELAMAR II DENGAN BERANG MENGHAMPIRI BAPAK

Pelamar II         :   Kau tolak lamaranku !?! Tapi persetan dengan penolakan itu. Diteriam atau ditolak itu hanya soal pro forma kuno. Aku tidak peduli. Pokoknya aku sekarang harus membawanya demgam atau tanpa persetujuanmu. Urusan belakang !
Bapak                 :   Kau akan kecewa sekali karena wati telah pergi
Pelamar II         :   (DENGAN GERAM) Pergi!?!?! Ayo tunjukan dimana dia berada, tunjukan !!!

BAPAK DENGA SIKAP ACUH TAK ACUH MELANGKAH KEKURSI DAN DUDUK DENGAN LESU

Pelamar II         :   Tunjukan , atau barangkali sudah dijual pada borjuis tengik itu ya ?!?
Bapak                 :   Ia telah pergi dengan kemauannya sendiri. Ia tidak akan kuserahkan pada sainganmu dan tidak padamu. Tidak pada lelaki manapun di dunia ini. dia pergi atas kemauannya sendiri. Bunga layu itu tak akan bisa lagi dipersunting tangan lelaki.

MENDADAK DI LUAR TERDENGAR BUNYI KLAKSON MOBIL BEBERAPA KALI. PELAMAR II KAGET, WAJAHNYA MENEGANG.

Pelamar II         :   Tanda bahaya. Sompret!! (MELANGKAH KE PINTU LUAR DAN BERHENTI DI AMBANG, TANGAN KANANNYA DIACUNGKAN KE ARAH BAPAK) Awas kalau ternyata kelak kau cuma main sandiwara, nanti aku kemari lagi untuk memboyong Wati-ku, tak peduli apapun katamu. Tapi kalau kelak ternyata kau terbukti kongkalingkong dengan borjuis tengik itu dan menjual Wati kepadanya, kau akan menyesal sekali. Tapi baik. Mulai sekarang kuperingatkan, apabila kami telah kembali membawa kemenangan, aku akan memboyong Wati-ku tak peduli kau tolak. Tak peduli sudah diperisteri borjuis busuk itu sekalipun. (KELUAR SAMBIL MEMBANTING PINTU)
Bapak                 :   Untung Wati-ku sudah pergi, kalu tidak pasti dia diculik, diperkosanya, diperbudak olehnya. (MEMANDANG POTRET) Ya. Untung kau sudah pergi. Kalau tidak, ada lelaki nekat yang akan merenggutmu. (TERDENGAR KETIKAN) Pergi setan yang satu, datang setan yang satu pula. Tapi mengapa aku harus takut. Jahanam demi jahanam akan aku hadapi. (MEMBALIK KE ARAH PINTU LUAR) Masuk. Pintu tidak dikunci.
Pemuda            :   Sekiranya bapak berkenan memafkan kedatanganku yang tidak dikehendaki.
Bapak                 :   Sekiranya sekarang kau mau angkat kaki dari sini.
Pemuda            :   Ya. Aku akan segera pergi. Tapi ijinkan, aku bertemu dengan Wati. Aku mendapat firasat buruk sekali setelah kuterima suratnya yang terakhir lewat pos bertanggal akhir september yang lalu.
Bapak                 :   Apa? Wati mengirim surat padamu?
Pemuda            :   Ya. Dalam cengkeraman ketakutannya, secara sembunyi ia berhasil mengirim suratnya padaku sampai suratnya yang terakhir ini. (MENGELUARKAN SAMPUL SURAT. DIKELUARKAN ISINYA DAN DIPERLIHATKAN)
Bapak                 :   Apa yang diberitakannya? Apa?
Pemuda            :   Bapak akan dapat mendengarnya secara terbuka.

PEMUDA MEMBACAKAN SURAT DENGAN NYARING

Pemuda            :   …… Bacalah kembali apa yang tersurat dan tersirat dalam surat-suratku yang lampau. Kau akan dapat merasakan betapa menderita batinku dari waktu ke waktu. Selalu kutahan diri akan tetapi aku semakin rapuh dari hari ke hari. Tembok-tembok kamarku semakin lama semakin kian menyempit, kian aku merasa tercekik. Celakanya, tak dapat kulihat jalan keluar. Kurasakan di manapun aku berada, di sanalah mata bapak menguasaiku, dan bapak kandungku, mas, bapak kandungku seolah seorang hantu. Tingkahnya, sikapnya, semakin terasa aneh. Oh, mas, kasih sayangnya padaku memang tak kuragukan, akan tetapi yang kurasakan ngeri adalah cinta kasihnya yang begitu berlebihan kepadaku. Sekarang aku baru sadar, bahwa cinta kasihku sangat tidak wajar. Bukan lagi cinta kasih seorang bapak kepada anak kandungnya sendiri. Aku sudah berusaha menginsyafkannya, tetapi beliau menerimanya dengan kemarahan. Sejak bulan agustus aku dikurung dalam kamar, jadi tawanan bapak kandungku sendiri. Kata bapak: Aku dipingit, karena pada bulan september ada dua orang lelaki akan melamarku. Aku tahu siapa mereka. terus terang aku tidak suka keduanya. Aku mohon pada bapak untuk diperkenan memilih jodoh sendiri. Tapi bapak menolak mentah-mentah, meski setuju bahwa aku tidak usah menerima lamaran keduanya. Sejak itu timbul perasaan aneh dalam hatiku. Setiap kulihat bapak, aku seperti melihat hantu jahat. Dia menguasai hidupku, aku benci padanya. Sekali pernah kucoba lari, tapi bapak berhasil mencegatku. Aku disiksa dengan kejam, dilempar dalam ruangan terkunci. Ya. Bapak berusaha menghiburku dengan belalian sayang. Tapi aku muak. Dia membelaiku tidak sebagai anak kandung sendiri, tetapi sebagai wanita. Aku menolak, bahkan memberontak dengan segala daya. Dan kini aku seolah-olah semakin tercekik dalam kengerian. Mas, aku tak tahan lagi. demi Tuhan, tolong aku. Selamatkan dari hantu jahat ini. atau aku akan terpaksa menyelamatkan diriku sendiri dengan caraku sendiri. Itu terpaksa kutempuh. Bila aku sudah tidak bisa bertahan lagi menghadapi si hantu…… (MENDADAK BAPAK MELONCAT MEREBUT SURAT. MEROBEK-ROBEKNYA DENGAN GERAM)
Bapak                 :   Anak celaka! Anak durhaka!
Pemuda            :   Bukan Wati, tapi kau. Kau bapak celaka! Bapak gila! Bapak setan!
Bapak                 :   Setan! Kau pengkhianat nista. Ternyata selama ini kau main gila dengan Wati-ku di belakang punggungku. Bagus betul, ya. Dan sekarang kau merasa jadi pahlawan juru selamat Wati, ya.
Pemuda            :   Aku hanya mau menyelamatkan dari rongrongan kejammu dan kegilaanmu. Untuk itu aku sekarang kemari. Jangan kau halangi.
Bapak                 :   Benarlah, rasa kuatirku selama ini. Kaulah lelaki ketiga yang datang untuk melihat dan menang. Tapi sayang, kau akan kecewa sekali, pahlawan. Karena apapun yang akan perbuat. Kau tidak akan bertemu dengannya. Karena Wati sudah pergi.
Pemuda            :   Wati sudah pergi? Tidak! Dia tidak akan lolos dari cengkeraman bapak. Wati pasti masih ada di sini.
Bapak                 :   Kau lelaki ketiga. Sayang kau akan gigit jari. Karena ia sudah pergi.

PEMUDA TIDAK MENGHIRAUKAN BAPAK, TERUS MENGHAMBUR LARI MASUK RUANG DALAM. BAPAK MENGIKUTI DENGAN BERJALAN DUA LANGKAH, PANDANGANNYA TERARAH KE RUANG DALAM.

Bapak                 :   Sekarang terbuka semua rahasia. Rumah ini menganga lebar untuk menelan bencana demi bencana, kutukan demi kutukan, laknat demi laknat. Dan segera semua akan pergi. (MENOLEH KE ARAH POTRET) Sekarang aku tahu mengapa kau pergi dengan menyebut ibu bukan bapak, karena kau sudah kutuki aku, menjahanamkan aku, sihantu jahat. Dan kini kau tuntut pembalasan. Itu dia pahlawanmu sudah datang, tapi terlambat. Dia datang bukan untuk menang, tapi untuk menelan kekalahan, menggigit kekecewaan. Atau kau mengharap dia untuk membunuhku?

PEMUDA MUNCUL DENGAN NAFAS TERENGAH-ENGAH, TANGAN KANANNYA MENGGENGGAM SEBUAH BUKU CATATAN. MATANYA BERKACA BASAH, TETAPI TAJAM PANDANGANNYA TERARAH PADA BAPAK.

Bapak                 :   Sudah kau saksikan sendiri kenyataannya, bukan? Kau sudah buktikan sendiri kebenaran ucapanku, bahwa kau akan kecewa sekali? Ya. Kau lelaki ketiga, tapi sayang kau tidak akan bisa memboyong Wati. Kau lihat sendiri. Wati sudah pergi.
Pemuda            :   Pembunuh! (MENCEKIK. MENDORONG BAPAK KE BELAKANG. BAPAK DENGAN GEMETAR MENUDING PEMUDA)
Bapak                 :   Pengecut! Kau pengecut! Tentu kau bisa membunuh aku yang sudah tua bangka ini. kau akan memenangkan perkelahian, sebab aku tidak akan melawan. Tidak akan. Kalau kau mau bunuh, silahkan. Tapi sebelum mati, aku akan tertawakan kau sebagai pengecut.
Pemuda            :   (MUNDUR SELANGKAH) Haram kulumuri diriku dengan darah jahanam macam kau bapak celaka! Kau bapak jahanam yang membantai anak perawannya sendiri!
Bapak                 :   Setan! Kau tuduh aku membunuh Wati. Buka matamu. Kau tidak buta tuli, kan? Baca buku hariannya dan tadi kau lihat jenasahnya. Adakah tanda Wati diperkosa, atau dibunuh?
Pemuda            :   Kesintinganmu-lah yang telah membunuhnya. Kau bertanggung jawab penuh atas kematiannya.
Bapak                 :   Tidak! Aku sama sekali tidak menghendaki kematiannya. Dan sekarang tidak ada seorang yang lebih menderita dengan kepergian Wati, kecuali aku. Sekarang aku telah kehilangan segala yang paling kusayang, sekarang aku kehilangan hidupku sendiri.
Pemuda            :   Kau telah memperkosa hati cinta perawan Wati. Kau telah membantai hak hidup perawan Wati. Itulah yang mengakibatkan kematiannya. Disitulah letak kesintinganmu, disitu pulalah letak tanggung jawabmu, bapak celaka. Kau merasa diri paling merugi dengan kematian Wati? Tidak! Akulah yang paling merasakan kengerian ini. sebab padaku-lah Wati telah menyerahkan seluruh hati kasihnya. Dan aku pulalah yang telah menyerahkan hati cinta padanya.
Bapak                 :   (GEMETAR MENGANGKAT KEDUA TANGAN DENGAN TERKEPAL) Cinta khianat!
Pemuda            :   Terkutuk kau, bapak yang telah memperkosa hati cinta anak perawannya sendiri. Kaulah bapak yang khianat.
Bapak                 :   (MUNDUR SELANGKAH. MENUTUPI WAJAH) Tenggelamlah aku kini dalam kegelapan jahanam. Gelap – gelap!

BAPAK TERUS MASUK KE RUANG DALAM. PEMUDA SEJENAK MEMPERHATIKANNYA, LALU MENGHEMBUS NAFAS PANJANG. DAN DENGAN LESU MENGHAMPIRI MEJA. DIAMBILNYA BUKU-BUKU WATI YANG TERGELETAK. PEMUDA DIKAGETKAN KETUKAN DARI LUAR. PELAMAR I MASUK)

Pelamar I          :   Hallo. Well, sekali lagi ketemu you  di sini. Kebetulan sekali I membawa berita penting. You boleh dengar. Pasti you sudah dengar kehebohan kemarin yang melanda negara kita. Satu kudeta, pengkhianatan. Sekarang jelas yang mendalanginya orang-orang komunis. Tapi beribu syukur, kup mereka abortif, eh gugur, gagal. Kalau mereka berhasil sudah pasti sainganku itu komunis busuk menyeretku ke sumur maut. Nah, yang paling penting ialah berita yang barusan aku terima. Ternyata salah seorang tokoh pemimpin politik pemuda komunis yang ikut memimpin pemberontakan adalah sainganku sendiri. Dan I yakin bahwa bapak Wati tidak akan menerima seorang pengkhianat bangsa. Dengan sendirinya gugurlah haknya untukmelamar Wati, bukan begitu? Dan I harap persoalan pinanganku bisa dibikin clear sekarang. Pesta nikah sudah I siapkan. Sekarang dapatkah you menolongku untuk bertemu bapak dan Wati sekarang.
Pemuda            :   Sayang bung terlambat.
Pelamar I          :   Kenapa? Apa bapak sudah menetapkan sainganku jadi menantunya? (PEMUDA MENGGELENGKAN KEPALA) Atau Wati sudah diculik gerombolan sainganku barangkali? (PEMUDA GELENG KEPALA) Lalu apa yang terjadi? Apa I terlambat datang, atau Wati diserobot lelaki lain?
Pemuda            :   Wati ada di sini, tapi kau terlambat tiba.
Pelamar I          :   I jadi bingung. Apa maksud you sebenarnya?
Pemuda            :   Wati sudah mati.
Pelamar I          :   Mati? Wati mati? Apa yang terjadi di sini? Bagaimana dia bisa mati?
Pemuda            :   Pergilah kekamar. Pintu-pintu di sini sekarang sudah tidak ada yang terkunci lagi. lihatlah sendiri jenasah Wati masih terbaring damai di ranjangnya.
Pelamar I          :   Astaga. Tapi bagaimana itu bisa terjadi?
Pemuda            :   Terjadilah apa yang terjadi.
Pelamar I          :   Tapi bagaimana Wati bisa mati?

Pemuda            :   Bung akan dapat segera mengetahuinya sendiri. Bacalah halaman terakhir buku harian Wati ini yang bertanggal 30 september. Bung akan tahu apa yang terjadi.

0 komentar

Posting Komentar