BABAK II
Bapak : Kenapa kau menyeru ibumu wati . kenapa tidak
menyeru aku. Kenapa kau begitu tega tinggalkan aku, seperti juga ibumu dulu
tega mendahului kealam baka. Dan kini kau telah lari pergi malapetaka sisi hari
tua. Tak ada lagi kedamaian. Sekarang semua gelap. Aku dimakan gerhana…Ooo,
bencana jahanam!
TERDENGAR KETUKAN KERAS DARI PIMTU
LUAR. BAPAK MEMBALIK DENAGN GERAM
Bapak : Aku tidak teriam tamu. Pergi !
PINTU DIDORONG DARI LUAR, MUNCUL PELAMAR II, HENTI
DIAMBANG DENGAN TEGANG
Bapak : Kau….kau mau apa lagi ha ! Aku tidak teriam
tamu…pergi !
Pelamar II : Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu. Aku
kemari ingin bertemu watiku, jadi tidak perduli apakah kawan, eh bapak terima
tamu atau tidak, karena bapak harus maklum situasi politik di tanah air sedang
kritis, komplotan nekolim dengan dibantu antek-anteknya disini dengan dukungan
dewan jendral reaksioner mau lancarka kudeta, perebutan kekuasaan negara,
tetapi kaum kami sedang mati-matian berjuang untuk menyelamatkan revolusi, tapi
sayang keadan kami sedang terdesak, namun kami akan terus berjuang dengan
segala cara, dengan aksi massa dan perang gerilya, karena itulah sekarang aku
memaksa diri sekarang untuk bertemu Watiku, harap bapak maklum.
Bapak : persetan dengan apa yang terjadi. Persetan
dengan segala dalihmu . aku tidak bisa terima tamu. Pergi!
Pelamar II : Sudah kukatakan tadi bahwa aku kemari hanya
untuk bertemu Watiku , dan keadan darurat begini, aku sebagai bakal suami Wati
berhak penuh untuk bertemu dengannya dan membawa pergi ketempat yang lebih
aman.
Bapak : Apa!?! Kau mau menculik Wati?
Pelamar II : Jangan
salah tafsir, aku bukan mau menculiknya, aku Cuma ingin mengamankannya, dia
akan aman dibawah perlindunganku dan kawan-kawan lain.
Bapak : Sebelum kamu lebih nekad lagi anak muda,
dengan ini kunyatakan lamaranmu kutolak, nah sekarang tidak ada alasan lagi aku
bertemu dengan Wati.
PELAMAR II DENGAN BERANG MENGHAMPIRI BAPAK
Pelamar II : Kau tolak lamaranku !?! Tapi persetan dengan
penolakan itu. Diteriam atau ditolak itu hanya soal pro forma kuno. Aku tidak
peduli. Pokoknya aku sekarang harus membawanya demgam atau tanpa persetujuanmu.
Urusan belakang !
Bapak : Kau akan kecewa sekali karena wati telah pergi
Pelamar II : (DENGAN GERAM) Pergi!?!?! Ayo tunjukan dimana
dia berada, tunjukan !!!
BAPAK DENGA SIKAP ACUH TAK ACUH MELANGKAH KEKURSI DAN
DUDUK DENGAN LESU
Pelamar II : Tunjukan , atau barangkali sudah dijual pada
borjuis tengik itu ya ?!?
Bapak : Ia telah pergi dengan kemauannya sendiri. Ia
tidak akan kuserahkan pada sainganmu dan tidak padamu. Tidak pada lelaki
manapun di dunia ini. dia pergi atas kemauannya sendiri. Bunga layu itu tak
akan bisa lagi dipersunting tangan lelaki.
MENDADAK DI LUAR TERDENGAR BUNYI KLAKSON MOBIL BEBERAPA
KALI. PELAMAR II KAGET, WAJAHNYA MENEGANG.
Pelamar II : Tanda bahaya. Sompret!! (MELANGKAH KE PINTU
LUAR DAN BERHENTI DI AMBANG, TANGAN KANANNYA DIACUNGKAN KE ARAH BAPAK) Awas
kalau ternyata kelak kau cuma main sandiwara, nanti aku kemari lagi untuk
memboyong Wati-ku, tak peduli apapun katamu. Tapi kalau kelak ternyata kau
terbukti kongkalingkong dengan borjuis tengik itu dan menjual Wati kepadanya,
kau akan menyesal sekali. Tapi baik. Mulai sekarang kuperingatkan, apabila kami
telah kembali membawa kemenangan, aku akan memboyong Wati-ku tak peduli kau
tolak. Tak peduli sudah diperisteri borjuis busuk itu sekalipun. (KELUAR SAMBIL
MEMBANTING PINTU)
Bapak : Untung Wati-ku sudah pergi, kalu tidak pasti
dia diculik, diperkosanya, diperbudak olehnya. (MEMANDANG POTRET) Ya. Untung
kau sudah pergi. Kalau tidak, ada lelaki nekat yang akan merenggutmu.
(TERDENGAR KETIKAN) Pergi setan yang satu, datang setan yang satu pula. Tapi
mengapa aku harus takut. Jahanam demi jahanam akan aku hadapi. (MEMBALIK KE
ARAH PINTU LUAR) Masuk. Pintu tidak dikunci.
Pemuda : Sekiranya bapak berkenan memafkan
kedatanganku yang tidak dikehendaki.
Bapak : Sekiranya sekarang kau mau angkat kaki dari
sini.
Pemuda : Ya. Aku akan segera pergi. Tapi ijinkan, aku
bertemu dengan Wati. Aku mendapat firasat buruk sekali setelah kuterima
suratnya yang terakhir lewat pos bertanggal akhir september yang lalu.
Bapak : Apa? Wati mengirim surat padamu?
Pemuda : Ya. Dalam cengkeraman ketakutannya, secara sembunyi
ia berhasil mengirim suratnya padaku sampai suratnya yang terakhir ini.
(MENGELUARKAN SAMPUL SURAT. DIKELUARKAN ISINYA DAN DIPERLIHATKAN)
Bapak : Apa yang diberitakannya? Apa?
Pemuda : Bapak akan dapat mendengarnya secara terbuka.
PEMUDA MEMBACAKAN SURAT DENGAN NYARING
Pemuda : …… Bacalah kembali apa yang tersurat dan
tersirat dalam surat-suratku yang lampau. Kau akan dapat merasakan betapa
menderita batinku dari waktu ke waktu. Selalu kutahan diri akan tetapi aku
semakin rapuh dari hari ke hari. Tembok-tembok kamarku semakin lama semakin
kian menyempit, kian aku merasa tercekik. Celakanya, tak dapat kulihat jalan
keluar. Kurasakan di manapun aku berada, di sanalah mata bapak menguasaiku, dan
bapak kandungku, mas, bapak kandungku seolah seorang hantu. Tingkahnya,
sikapnya, semakin terasa aneh. Oh, mas, kasih sayangnya padaku memang tak
kuragukan, akan tetapi yang kurasakan ngeri adalah cinta kasihnya yang begitu
berlebihan kepadaku. Sekarang aku baru sadar, bahwa cinta kasihku sangat tidak
wajar. Bukan lagi cinta kasih seorang bapak kepada anak kandungnya sendiri. Aku
sudah berusaha menginsyafkannya, tetapi beliau menerimanya dengan kemarahan.
Sejak bulan agustus aku dikurung dalam kamar, jadi tawanan bapak kandungku
sendiri. Kata bapak: Aku dipingit, karena pada bulan september ada dua orang
lelaki akan melamarku. Aku tahu siapa mereka. terus terang aku tidak suka
keduanya. Aku mohon pada bapak untuk diperkenan memilih jodoh sendiri. Tapi
bapak menolak mentah-mentah, meski setuju bahwa aku tidak usah menerima lamaran
keduanya. Sejak itu timbul perasaan aneh dalam hatiku. Setiap kulihat bapak,
aku seperti melihat hantu jahat. Dia menguasai hidupku, aku benci padanya.
Sekali pernah kucoba lari, tapi bapak berhasil mencegatku. Aku disiksa dengan
kejam, dilempar dalam ruangan terkunci. Ya. Bapak berusaha menghiburku dengan
belalian sayang. Tapi aku muak. Dia membelaiku tidak sebagai anak kandung
sendiri, tetapi sebagai wanita. Aku menolak, bahkan memberontak dengan segala
daya. Dan kini aku seolah-olah semakin tercekik dalam kengerian. Mas, aku tak
tahan lagi. demi Tuhan, tolong aku. Selamatkan dari hantu jahat ini. atau aku
akan terpaksa menyelamatkan diriku sendiri dengan caraku sendiri. Itu terpaksa
kutempuh. Bila aku sudah tidak bisa bertahan lagi menghadapi si hantu……
(MENDADAK BAPAK MELONCAT MEREBUT SURAT. MEROBEK-ROBEKNYA DENGAN GERAM)
Bapak : Anak celaka! Anak durhaka!
Pemuda : Bukan Wati, tapi kau. Kau bapak celaka! Bapak
gila! Bapak setan!
Bapak : Setan! Kau pengkhianat nista. Ternyata selama
ini kau main gila dengan Wati-ku di belakang punggungku. Bagus betul, ya. Dan
sekarang kau merasa jadi pahlawan juru selamat Wati, ya.
Pemuda : Aku hanya mau menyelamatkan dari rongrongan
kejammu dan kegilaanmu. Untuk itu aku sekarang kemari. Jangan kau halangi.
Bapak : Benarlah, rasa kuatirku selama ini. Kaulah
lelaki ketiga yang datang untuk melihat dan menang. Tapi sayang, kau akan
kecewa sekali, pahlawan. Karena apapun yang akan perbuat. Kau tidak akan
bertemu dengannya. Karena Wati sudah pergi.
Pemuda : Wati sudah pergi? Tidak! Dia tidak akan lolos
dari cengkeraman bapak. Wati pasti masih ada di sini.
Bapak : Kau lelaki ketiga. Sayang kau akan gigit
jari. Karena ia sudah pergi.
PEMUDA
TIDAK MENGHIRAUKAN BAPAK, TERUS MENGHAMBUR LARI MASUK RUANG
DALAM. BAPAK MENGIKUTI DENGAN BERJALAN DUA LANGKAH, PANDANGANNYA TERARAH KE
RUANG DALAM.
Bapak : Sekarang terbuka semua rahasia. Rumah ini
menganga lebar untuk menelan bencana demi bencana, kutukan demi kutukan, laknat
demi laknat. Dan segera semua akan pergi. (MENOLEH KE ARAH POTRET) Sekarang aku
tahu mengapa kau pergi dengan menyebut ibu bukan bapak, karena kau sudah kutuki
aku, menjahanamkan aku, sihantu jahat. Dan kini kau tuntut pembalasan. Itu dia
pahlawanmu sudah datang, tapi terlambat. Dia datang bukan untuk menang, tapi
untuk menelan kekalahan, menggigit kekecewaan. Atau kau mengharap dia untuk
membunuhku?
PEMUDA MUNCUL DENGAN NAFAS TERENGAH-ENGAH, TANGAN KANANNYA
MENGGENGGAM SEBUAH BUKU CATATAN. MATANYA BERKACA BASAH, TETAPI TAJAM
PANDANGANNYA TERARAH PADA BAPAK.
Bapak : Sudah kau saksikan sendiri kenyataannya,
bukan? Kau sudah buktikan sendiri kebenaran ucapanku, bahwa kau akan kecewa
sekali? Ya. Kau lelaki ketiga, tapi sayang kau tidak akan bisa memboyong Wati.
Kau lihat sendiri. Wati sudah pergi.
Pemuda : Pembunuh! (MENCEKIK. MENDORONG BAPAK KE
BELAKANG. BAPAK DENGAN GEMETAR MENUDING PEMUDA)
Bapak : Pengecut! Kau pengecut! Tentu kau bisa
membunuh aku yang sudah tua bangka ini. kau akan memenangkan perkelahian, sebab
aku tidak akan melawan. Tidak akan. Kalau kau mau bunuh, silahkan. Tapi sebelum
mati, aku akan tertawakan kau sebagai pengecut.
Pemuda : (MUNDUR SELANGKAH) Haram kulumuri diriku
dengan darah jahanam macam kau bapak celaka! Kau bapak jahanam yang membantai
anak perawannya sendiri!
Bapak : Setan! Kau tuduh aku membunuh Wati. Buka
matamu. Kau tidak buta tuli, kan? Baca buku hariannya dan tadi kau lihat
jenasahnya. Adakah tanda Wati diperkosa, atau dibunuh?
Pemuda : Kesintinganmu-lah yang telah membunuhnya. Kau
bertanggung jawab penuh atas kematiannya.
Bapak : Tidak! Aku sama sekali tidak menghendaki
kematiannya. Dan sekarang tidak ada seorang yang lebih menderita dengan
kepergian Wati, kecuali aku. Sekarang aku telah kehilangan segala yang paling
kusayang, sekarang aku kehilangan hidupku sendiri.
Pemuda : Kau telah memperkosa hati cinta perawan Wati.
Kau telah membantai hak hidup perawan Wati. Itulah yang mengakibatkan
kematiannya. Disitulah letak kesintinganmu, disitu pulalah letak tanggung
jawabmu, bapak celaka. Kau merasa diri paling merugi dengan kematian Wati?
Tidak! Akulah yang paling merasakan kengerian ini. sebab padaku-lah Wati telah
menyerahkan seluruh hati kasihnya. Dan aku pulalah yang telah menyerahkan hati
cinta padanya.
Bapak : (GEMETAR MENGANGKAT KEDUA TANGAN DENGAN
TERKEPAL) Cinta khianat!
Pemuda : Terkutuk kau, bapak yang telah memperkosa
hati cinta anak perawannya sendiri. Kaulah bapak yang khianat.
Bapak : (MUNDUR SELANGKAH. MENUTUPI WAJAH)
Tenggelamlah aku kini dalam kegelapan jahanam. Gelap – gelap!
BAPAK TERUS MASUK KE RUANG DALAM. PEMUDA SEJENAK
MEMPERHATIKANNYA, LALU MENGHEMBUS NAFAS PANJANG. DAN DENGAN LESU MENGHAMPIRI
MEJA. DIAMBILNYA BUKU-BUKU WATI YANG TERGELETAK. PEMUDA DIKAGETKAN KETUKAN DARI
LUAR. PELAMAR I MASUK)
Pelamar I : Hallo. Well, sekali lagi ketemu you
di sini. Kebetulan sekali I membawa
berita penting. You boleh dengar. Pasti you sudah dengar
kehebohan kemarin yang melanda negara kita. Satu kudeta, pengkhianatan.
Sekarang jelas yang mendalanginya orang-orang komunis. Tapi beribu syukur, kup
mereka abortif, eh gugur, gagal. Kalau mereka berhasil sudah pasti sainganku
itu komunis busuk menyeretku ke sumur maut. Nah, yang paling penting ialah
berita yang barusan aku terima. Ternyata salah seorang tokoh pemimpin politik
pemuda komunis yang ikut memimpin pemberontakan adalah sainganku sendiri. Dan I
yakin bahwa bapak Wati tidak akan menerima seorang pengkhianat bangsa.
Dengan sendirinya gugurlah haknya untukmelamar Wati, bukan begitu? Dan I harap
persoalan pinanganku bisa dibikin clear sekarang. Pesta nikah sudah I
siapkan. Sekarang dapatkah you menolongku untuk bertemu bapak dan
Wati sekarang.
Pemuda : Sayang bung terlambat.
Pelamar I : Kenapa? Apa bapak sudah menetapkan sainganku
jadi menantunya? (PEMUDA MENGGELENGKAN KEPALA) Atau Wati sudah diculik
gerombolan sainganku barangkali? (PEMUDA GELENG KEPALA) Lalu apa yang terjadi?
Apa I terlambat datang, atau Wati diserobot lelaki lain?
Pemuda : Wati ada di sini, tapi kau terlambat tiba.
Pelamar I : I jadi bingung. Apa maksud you sebenarnya?
Pemuda : Wati sudah mati.
Pelamar I : Mati? Wati mati? Apa yang terjadi di sini?
Bagaimana dia bisa mati?
Pemuda : Pergilah kekamar. Pintu-pintu di sini
sekarang sudah tidak ada yang terkunci lagi. lihatlah sendiri jenasah Wati
masih terbaring damai di ranjangnya.
Pelamar I : Astaga. Tapi bagaimana itu bisa terjadi?
Pemuda : Terjadilah apa yang terjadi.
Pelamar I : Tapi bagaimana Wati bisa mati?
Pemuda : Bung akan dapat segera mengetahuinya sendiri.
Bacalah halaman terakhir buku harian Wati ini yang bertanggal 30 september.
Bung akan tahu apa yang terjadi.
0 komentar
Posting Komentar