PELAMAR II GERAM AKAN MENGHAMPIRI PELAMAR I YANG BERSIKAP
TENAG SAJA, TAPI PEMUDA MENGHALANGI
Pemuda : Kuminta kalian jangan bikin ribut, tunggu
sebentar, aku panggilkan bapak.
PEMUDA BURU-BURU MASUK KERUANG DALAM. PELAMAR II DENGAN
SIKAP TEGANG TERUS MEMPERHATIKAN PELAMAR I YANG MASIH BERSIKAP TENANG.
Pelamar II : Catat ini, sebentar lagi rakyat akan bangkit
untuk mengganyang habis komprador kapitalis busuk macam tuan! Rakyat bukan sapi
perahan, rakyat sudah matang kesadaran politiknya, sudah tahu bahwa
kapitalis-kapitalis borjuis macam tuan adalah antek-antek nekolim yang selama
ini memeras keringat rakyat, melaparkan rakyat.
Pelamar I : Sungguh kasian rakyat kita. Mereka terus
menerus dikibuli badut-badut politik yang mengaku juru selamat revolusi dan
kerjanya cuma main komisi, makan suap, manipulasi, korupsi, bikin inflasi,
memproduksi slogan-slogan basi, indoktrinasi-indoktrinasian. Pantas ayam-ayam
mati kelaparan dalam lumbung padi. Pantaa komunis dapat pasaran laris untuk main
agitasi, dengan berlagak sebagai pendekar rakyat yang kelaparan dengan slogan
revolusi berselimutkan baju sosialis.
Pelamar II : Sinis! Itu bukti tuan komunisto-phobi, bukti
tuan anti rakyat, tuan telah menghina rakyat dan pemimpin revolusi, tuan telah
menelanjangi topeng sendiri. Sekarang nampaklah tampang srigala tuan, tampang
manusia kontra revolusi! Satu bukti…
Pelamar I : Satu bukti bahwa tuan seorang badut yang
takut melihat tampangnya sendiri di muka cermin.
Pelamar II : Apa? Coba ucapkan sekali lagi.
Pelamar I : Cukup satu kali. Tuan bukan orang tuli. Dan
tuan tidak perlu main agitasi di sini dengan menunjukkan gigi tuan yang begitu
kuning.
Pelamar II : Bangsat!
BAPAK MUNCUL DIIKUTI PEMUDA. BAPAK DENGAN PANDANG MARAH
MELIHART KE ARAH PELAMAR I DAN II. BAPAK MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA KE ATAS.
Bapak : Ada apa kalian ribut-ribut di sini?
Pelamar II : Bangsa borjuis busuk ini…
Pelamar I : Tuan komunis tengik ini…
Bapak : Diam semua. Kalau mau ribut, perang tanding,
di lapangan sana. Jangan dalam rumahku.
PELAMAR I DAN II MENURUT DIAM. PELAMAR I BERSIKAP TENANG.
PELAMAR II TEGANG.
Bapak : Aku kan sudah bilang. Harap kalian sabar
menanti keputusanku. Sabar! Sekarang ternyata kalian menyerbu kesini bikin
ribut. Mau berkelahi segala. Lantas mau apa kalian kemari lagi tanpa kuundang,
hah?
Pelamar I : Maafkan. Kedatanganku sebenarnya hanya untuk
mencari kehebohan bukan untuk mendesak bapak. Tapi hanya ingin menanyakan
tanggal pasti tentang kabar keputusan bapak.
Bapak : Persoalan ini bukan masalah dagang, nak. Aku
tidak bisa diikat dengan detik, menit, jam dan hari yang pasti. Itu akan
kutetapkan pada saat yang tepat menurut anggapanku sendiri.
Pelamar I : Baik, bapak. Aku akan menanti dengan bersabar
hati. Ijinkan aku mohon diri. (BERSIKAP HORMAT, MEMBERI SALAM DENGAN KEDUA
TANGAN) Maafkan tingkah lakuku yang kurang senonoh, yah. (BAPAK MENGANGGUK
MENJABAT TANGANNYA, LALU MELANGKAH CEPAT KELUAR TANPA MENOLEH KANAN KIRI.
PELAMAR II MENCIBIR LALU MENGHAMPIRI BAPAK)
Pelamar II : Sekarang kawan, eh bapak, saksikan dengan mata
kepala sendiri. Betapa tengik mentalnya brojuis kapitalis ini.
Bapak : Dan kau nak, apa urusanmu?
Pelamar II : Begini kawan, eh bapak. Aku kurang sabar,
tapi bukan aku mau me-fait accompli bapak, makanya aku memerlukannya kemari.
Tapi ada satu soal yang urgen yang harus kuberitakan kepada bapak, yakni bahwa
kondisi dan situasi politik di tanah air kini sedang sangat gawat. Karena
situasi politik yang mengancam jalannya revolusi kita itulah, aku sebagai
pekerja politik dihadapkan dengan tugas-tugas yang sangat berat, tugas-tugasku
praktis menyita seluruh waktuku. Karena itu aku menyarankan agar bapak bisa
menetapkan waktu pernikahanku secepat mungkin, mengingat situasi sekarang
pernikahan tidak bisa dilangsungkan dengan resepsi besar-besaran tapi itu
gampang, bila kelak situasi mengijinkan pasti kita selenggarakan resepsi massal
yang meriah sekali. Yang paling penting sekarang ini, bapak bisa secara resmi
atau secara pribadi menyetujui lamaranku.
Bapak : Bagiku soal melamar adalah soal keluarga,
bukan soal politik dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan politik. Aku
tidak peduli. Pilihanku bukan perhitungan dagang yang dipengaruhi urusan
politik. Aku tidak bisa memenuhi desakanmu untuk mengambil keputusan sekarang
atau dalam dua tiga hari mendatang. Aku tidak mau didesak-desak dalam hal ini.
kalau mau, nak harus bersabar, tapi kalau tidak, pilihlah wanita lin. Habis
perkara.
Pelamar II : Lho, bukan begitu…
Bapak : Jadi silahkan menunggu saja.
Pelamar II : Tentu aku akan menunggu. Tapi bapak harus
memahami kondisi poltik sekarang ini…
Bapak : Cukup. Jangan sebut-sebut lagi itu politik.
Dalam hal ini aku tidak mau dagang sapi dan tidak ada tawar menawar lagi. nak
mau menunggu atau tidak itu terserah.
Pelamar II : Ya, apa boleh buat, kalau begitu. Demi masa
depan Wati, aku patuh pada kehendak Bapak. Hanya saja…
Bapak : Tidak pakai hanya saja. Aku sudah cukup
jelas: mau menunggu atau tidak. Kalau tidak, lamarlah perawan lain saja.
Mengerti?
Pelamar II : Baiklah, aku mengalah. Aku akan menunggu. Sekarang
pamit dulu.
TANPA MEMBERIKAN SALAM HORMAT PADA BAPAK, PELAMAR II CEPAT
MELANGKAH KELUAR. BAPAK MENGHEMBUSKAN NAFAS PANJANG DAN DENGAN LESU DUDUK DI
KURSI.
Bapak : Berabe. Konyol semua!
Pemuda : Bagaimanapun juga bapak harus memilih di
antaranya.
Bapak : Aku bilang mereka konyol semua.
Pemuda : Apa itu berarti bapak menolak kedua-duanya?
Bapak : Ya. Sekarang ini aku bilang pasti. Keduanya
kutolak semua. Dan segera akan kuberitakan lewat surat, agar mereka tidak lagi
muncul kesini. Aku muak melihat tampang mereka.
Pemuda : Beruntunglah Wati. Karena dia pernah
menyatakan tidak seorangpun di anatara keduanya yang menjadi pilihan hatinya.
Dan sekarang rasanya terbuka baginya untuk menentukan pilihannya sendiri.
Bapak : (TAJAM MELIHAT PEMUDA) Apa maksudmu?
Pemuda : Tentunya sekarang bapak akan menyerahkan pada
Wati kembali. Siapa kiranya lelaki yang dipilih untuk menjadi suaminya.
Bapak : Tidak. Aku tidak akan membicarakan lagi soal
lamaran lelaki.
Pemuda : Tapi bagaimanapun juga Wati harus bapak
lepaskan.
Bapak : Tidak. Wati tidak akan kulepaskan.
Pemuda : AKu tidak mengerti jalan pikiran bapak.
Bapak : Jelas sudah. Wati tidak akan kulepaskan.
Pemuda : Aku yakin itu bertentangan dengan keinginan
Wati pribadi.
Bapak : Itu aku tidak peduli.
Pemuda : Dia bukan seorang biarawati yang bisa hidup
tanpa cinta lelaki. Dia tidak akan bisa hidup dicekik kesepian cinta, untuk
mati sia-sia sebagai perawan tua. Dia mutlak merindukan cinta lelaki. Dia
memerlukan seorang suami.
Bapak : Jangan berkhotbah ya. Di dunia akulah yang
mengenalnya dari siapapun.
Pemuda : Tapi bapak mengenalnya sebagai anak kandung
sendiri, bukan sebagai jejaka yang secara fitrah tahu arti gairah birahi
perawan. Dan kalau memang mengenalnya lebih dari siapapun juga di dunia ini,
tentunya bapak tahu kerinduan hati perawan Wati. Mengapa pula bapak hendak
mengekang kodrat hidupnya? Bukan bapak yang akhirnya memikul tanggung jawab
hidupnya, melainkan Wati pribadi.
Bapak : (MELOTOT. MAJU SELANGKAH. TANGAN KANANNYA
DIACUNGKAN KE ARAH WAJAH PEMUDA) Mulutmu kelewat lancang, anak muda.
Pemuda : Mengapa bapak tidak menanyakannya sendiri
kepada Wati secara terbuka? Dia selalu mengeluh padaku, bahwa bapak kian lama
kian mengekang keinginan hidupnya. Seolah-olah hendak menguasainya. Ya.
Seolah-olah bapak hendak menebus kesepian hidup bapak sejak kematian ibu Wati,
dengan jalan mengurung Wati sebagai hidup. Dapatkah bapak membantah kebenaran
ini?!
Bapak : (TANGGANNYA GEMETAR. KAKINYA DIHENTAKKAN)
Tutup mulutmu.
Pemuda : Bapak takut melihat bayangan hitam bapak
sendiri.
Bapak : Setan! Kau mau memfitnah aku ya?
Pemuda : Sama sekali tidak. Sekarang ini dapat kita
buktikan. Coba hadapkan Wati kemari. Beri kesempatan padanya secara terbuka
untuk mencurahkan isi hatinya.
Bapak : Sekarang kau menganggap aku sebagai terdakwa
ya?!
Pemuda : Aku cuma mau menunjuk kepada kebenaran dan
kuncinya ada pada Wati, bukan pada bapak, bukan pula pada diriku.
Bapak : Kau kelewat kurang ajar sekarang. Kau sudah
terlalu jauh ikut campur persoalan keluarga. Cukup sampai di sini, pergi. Dan
jangan coba-coba menghubungi Wati.
Pemuda : Baik. Aku akan pergi. Tapi dalam satu hal
bapak pasti akan gagal. Bagaimanapun juga bapak tidak akan mampu menguasai hati
perawannya. Dia pasti akan membangkang dengan caranya sendiri, dan aku akan
senantiasa berdiri di pihaknya apapun yang terjadi.
Bapak : Diam! Pergi, setan! Pergi!
PEMUDA CEPAT KELUAR.
Bapak : Setan! Kiranya dia lelaki ketiga. Dan itu
berarti bencana bagiku. Bencana. Tapi aku tidak sudi sejarah berulang kembali.
Biarpun setan-setan menghalang, aku tidak akan melepaskan Wati. Tidak akan!
(MEMANDANG POTRET WATI) Wati, apa kau diam-diam bersekongkol dengan dia? Atau,
apa kau diam-diam bercintaan dengan dia di belakangku selama ini? Diakah lelaki
pilihan hatimu? Terkutuklah kalau begitu. Tapi biar serbu setan menghalang
tidak akan kubiarkan lelaki merenggutmu dari tanganku. (MENGHAMPIRI LEBIH
DEKAT) Wati sayang, kau adalah pengganti ibumu dalam hidupku. Kau adalah
pengisi sisa hidupku di alam fana ini. aku akan mati dicekik kesepian bila kau
pergi. Wati sayang, jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku.
DI RUANG DALAM MENDADAK TERDENGAR SUARA MENJERIT.
MULA-MULA TERDENGAR KERAS, MERINTIH MENGULANG KATA)
Suara Wanita : Ibu……! Ibu… ibu… !
BAPAK TERSENTAK KAGET.
PANDANGANNYA MENGARAH KERUANG DALAM. WAJAHNYA MENJADI CEMAS DAN KETAKUTAN.
Bapak : Wati, apa yang terjadi?
0 komentar
Posting Komentar