Sabtu, 31 Desember 2016

Naskah Drama Insan-Insan Malang Bagian 4

PELAMAR II GERAM AKAN MENGHAMPIRI PELAMAR I YANG BERSIKAP TENAG SAJA, TAPI PEMUDA MENGHALANGI

Pemuda            :   Kuminta kalian jangan bikin ribut, tunggu sebentar, aku panggilkan bapak.

PEMUDA BURU-BURU MASUK KERUANG DALAM. PELAMAR II DENGAN SIKAP TEGANG TERUS MEMPERHATIKAN PELAMAR I YANG MASIH BERSIKAP TENANG.

Pelamar II         :   Catat ini, sebentar lagi rakyat akan bangkit untuk mengganyang habis komprador kapitalis busuk macam tuan! Rakyat bukan sapi perahan, rakyat sudah matang kesadaran politiknya, sudah tahu bahwa kapitalis-kapitalis borjuis macam tuan adalah antek-antek nekolim yang selama ini memeras keringat rakyat, melaparkan rakyat.
Pelamar I          :   Sungguh kasian rakyat kita. Mereka terus menerus dikibuli badut-badut politik yang mengaku juru selamat revolusi dan kerjanya cuma main komisi, makan suap, manipulasi, korupsi, bikin inflasi, memproduksi slogan-slogan basi, indoktrinasi-indoktrinasian. Pantas ayam-ayam mati kelaparan dalam lumbung padi. Pantaa komunis dapat pasaran laris untuk main agitasi, dengan berlagak sebagai pendekar rakyat yang kelaparan dengan slogan revolusi berselimutkan baju sosialis.
Pelamar II         :   Sinis! Itu bukti tuan komunisto-phobi, bukti tuan anti rakyat, tuan telah menghina rakyat dan pemimpin revolusi, tuan telah menelanjangi topeng sendiri. Sekarang nampaklah tampang srigala tuan, tampang manusia kontra revolusi! Satu bukti…
Pelamar I          :   Satu bukti bahwa tuan seorang badut yang takut melihat tampangnya sendiri di muka cermin.
Pelamar II         :   Apa? Coba ucapkan sekali lagi.
Pelamar I          :   Cukup satu kali. Tuan bukan orang tuli. Dan tuan tidak perlu main agitasi di sini dengan menunjukkan gigi tuan yang begitu kuning.
Pelamar II         :   Bangsat!

BAPAK MUNCUL DIIKUTI PEMUDA. BAPAK DENGAN PANDANG MARAH MELIHART KE ARAH PELAMAR I DAN II. BAPAK MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA KE ATAS.

Bapak                 :   Ada apa kalian ribut-ribut di sini?
Pelamar II         :   Bangsa borjuis busuk ini…
Pelamar I          :   Tuan komunis tengik ini…
Bapak                 :   Diam semua. Kalau mau ribut, perang tanding, di lapangan sana. Jangan dalam rumahku.

PELAMAR I DAN II MENURUT DIAM. PELAMAR I BERSIKAP TENANG. PELAMAR II TEGANG.
Bapak                 :   Aku kan sudah bilang. Harap kalian sabar menanti keputusanku. Sabar! Sekarang ternyata kalian menyerbu kesini bikin ribut. Mau berkelahi segala. Lantas mau apa kalian kemari lagi tanpa kuundang, hah?
Pelamar I          :   Maafkan. Kedatanganku sebenarnya hanya untuk mencari kehebohan bukan untuk mendesak bapak. Tapi hanya ingin menanyakan tanggal pasti tentang kabar keputusan bapak.
Bapak                 :   Persoalan ini bukan masalah dagang, nak. Aku tidak bisa diikat dengan detik, menit, jam dan hari yang pasti. Itu akan kutetapkan pada saat yang tepat menurut anggapanku sendiri.
Pelamar I          :   Baik, bapak. Aku akan menanti dengan bersabar hati. Ijinkan aku mohon diri. (BERSIKAP HORMAT, MEMBERI SALAM DENGAN KEDUA TANGAN) Maafkan tingkah lakuku yang kurang senonoh, yah. (BAPAK MENGANGGUK MENJABAT TANGANNYA, LALU MELANGKAH CEPAT KELUAR TANPA MENOLEH KANAN KIRI. PELAMAR II MENCIBIR LALU MENGHAMPIRI BAPAK)
Pelamar II         :   Sekarang kawan, eh bapak, saksikan dengan mata kepala sendiri. Betapa tengik mentalnya brojuis kapitalis ini.
Bapak                 :   Dan kau nak, apa urusanmu?
Pelamar II         :   Begini kawan, eh bapak. Aku kurang sabar, tapi bukan aku mau me-fait accompli bapak, makanya aku memerlukannya kemari. Tapi ada satu soal yang urgen yang harus kuberitakan kepada bapak, yakni bahwa kondisi dan situasi politik di tanah air kini sedang sangat gawat. Karena situasi politik yang mengancam jalannya revolusi kita itulah, aku sebagai pekerja politik dihadapkan dengan tugas-tugas yang sangat berat, tugas-tugasku praktis menyita seluruh waktuku. Karena itu aku menyarankan agar bapak bisa menetapkan waktu pernikahanku secepat mungkin, mengingat situasi sekarang pernikahan tidak bisa dilangsungkan dengan resepsi besar-besaran tapi itu gampang, bila kelak situasi mengijinkan pasti kita selenggarakan resepsi massal yang meriah sekali. Yang paling penting sekarang ini, bapak bisa secara resmi atau secara pribadi menyetujui lamaranku.
Bapak                 :   Bagiku soal melamar adalah soal keluarga, bukan soal politik dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan politik. Aku tidak peduli. Pilihanku bukan perhitungan dagang yang dipengaruhi urusan politik. Aku tidak bisa memenuhi desakanmu untuk mengambil keputusan sekarang atau dalam dua tiga hari mendatang. Aku tidak mau didesak-desak dalam hal ini. kalau mau, nak harus bersabar, tapi kalau tidak, pilihlah wanita lin. Habis perkara.
Pelamar II         :   Lho, bukan begitu…
Bapak                 :   Jadi silahkan menunggu saja.
Pelamar II         :   Tentu aku akan menunggu. Tapi bapak harus memahami kondisi poltik sekarang ini…
Bapak                 :   Cukup. Jangan sebut-sebut lagi itu politik. Dalam hal ini aku tidak mau dagang sapi dan tidak ada tawar menawar lagi. nak mau menunggu atau tidak itu terserah.
Pelamar II         :   Ya, apa boleh buat, kalau begitu. Demi masa depan Wati, aku patuh pada kehendak Bapak. Hanya saja…
Bapak                 :   Tidak pakai hanya saja. Aku sudah cukup jelas: mau menunggu atau tidak. Kalau tidak, lamarlah perawan lain saja. Mengerti?
Pelamar II         :   Baiklah, aku mengalah. Aku akan menunggu. Sekarang pamit dulu.

TANPA MEMBERIKAN SALAM HORMAT PADA BAPAK, PELAMAR II CEPAT MELANGKAH KELUAR. BAPAK MENGHEMBUSKAN NAFAS PANJANG DAN DENGAN LESU DUDUK DI KURSI.

Bapak                 :   Berabe. Konyol semua!
Pemuda            :   Bagaimanapun juga bapak harus memilih di antaranya.
Bapak                 :   Aku bilang mereka konyol semua.
Pemuda            :   Apa itu berarti bapak menolak kedua-duanya?
Bapak                 :   Ya. Sekarang ini aku bilang pasti. Keduanya kutolak semua. Dan segera akan kuberitakan lewat surat, agar mereka tidak lagi muncul kesini. Aku muak melihat tampang mereka.
Pemuda            :   Beruntunglah Wati. Karena dia pernah menyatakan tidak seorangpun di anatara keduanya yang menjadi pilihan hatinya. Dan sekarang rasanya terbuka baginya untuk menentukan pilihannya sendiri.
Bapak                 :   (TAJAM MELIHAT PEMUDA) Apa maksudmu?
Pemuda            :   Tentunya sekarang bapak akan menyerahkan pada Wati kembali. Siapa kiranya lelaki yang dipilih untuk menjadi suaminya.
Bapak                 :   Tidak. Aku tidak akan membicarakan lagi soal lamaran lelaki.
Pemuda            :   Tapi bagaimanapun juga Wati harus bapak lepaskan.
Bapak                 :   Tidak. Wati tidak akan kulepaskan.
Pemuda            :   AKu tidak mengerti jalan pikiran bapak.
Bapak                 :   Jelas sudah. Wati tidak akan kulepaskan.
Pemuda            :   Aku yakin itu bertentangan dengan keinginan Wati pribadi.
Bapak                 :   Itu aku tidak peduli.
Pemuda            :   Dia bukan seorang biarawati yang bisa hidup tanpa cinta lelaki. Dia tidak akan bisa hidup dicekik kesepian cinta, untuk mati sia-sia sebagai perawan tua. Dia mutlak merindukan cinta lelaki. Dia memerlukan seorang suami.
Bapak                 :   Jangan berkhotbah ya. Di dunia akulah yang mengenalnya dari siapapun.
Pemuda            :   Tapi bapak mengenalnya sebagai anak kandung sendiri, bukan sebagai jejaka yang secara fitrah tahu arti gairah birahi perawan. Dan kalau memang mengenalnya lebih dari siapapun juga di dunia ini, tentunya bapak tahu kerinduan hati perawan Wati. Mengapa pula bapak hendak mengekang kodrat hidupnya? Bukan bapak yang akhirnya memikul tanggung jawab hidupnya, melainkan Wati pribadi.
Bapak                 :   (MELOTOT. MAJU SELANGKAH. TANGAN KANANNYA DIACUNGKAN KE ARAH WAJAH PEMUDA) Mulutmu kelewat lancang, anak muda.
Pemuda            :   Mengapa bapak tidak menanyakannya sendiri kepada Wati secara terbuka? Dia selalu mengeluh padaku, bahwa bapak kian lama kian mengekang keinginan hidupnya. Seolah-olah hendak menguasainya. Ya. Seolah-olah bapak hendak menebus kesepian hidup bapak sejak kematian ibu Wati, dengan jalan mengurung Wati sebagai hidup. Dapatkah bapak membantah kebenaran ini?!
Bapak                 :   (TANGGANNYA GEMETAR. KAKINYA DIHENTAKKAN) Tutup mulutmu.
Pemuda            :   Bapak takut melihat bayangan hitam bapak sendiri.
Bapak                 :   Setan! Kau mau memfitnah aku ya?
Pemuda            :   Sama sekali tidak. Sekarang ini dapat kita buktikan. Coba hadapkan Wati kemari. Beri kesempatan padanya secara terbuka untuk mencurahkan isi hatinya.
Bapak                 :   Sekarang kau menganggap aku sebagai terdakwa ya?!
Pemuda            :   Aku cuma mau menunjuk kepada kebenaran dan kuncinya ada pada Wati, bukan pada bapak, bukan pula pada diriku.
Bapak                 :   Kau kelewat kurang ajar sekarang. Kau sudah terlalu jauh ikut campur persoalan keluarga. Cukup sampai di sini, pergi. Dan jangan coba-coba menghubungi Wati.
Pemuda            :   Baik. Aku akan pergi. Tapi dalam satu hal bapak pasti akan gagal. Bagaimanapun juga bapak tidak akan mampu menguasai hati perawannya. Dia pasti akan membangkang dengan caranya sendiri, dan aku akan senantiasa berdiri di pihaknya apapun yang terjadi.
Bapak                 :   Diam! Pergi, setan! Pergi!

PEMUDA CEPAT KELUAR.

Bapak                 :   Setan! Kiranya dia lelaki ketiga. Dan itu berarti bencana bagiku. Bencana. Tapi aku tidak sudi sejarah berulang kembali. Biarpun setan-setan menghalang, aku tidak akan melepaskan Wati. Tidak akan! (MEMANDANG POTRET WATI) Wati, apa kau diam-diam bersekongkol dengan dia? Atau, apa kau diam-diam bercintaan dengan dia di belakangku selama ini? Diakah lelaki pilihan hatimu? Terkutuklah kalau begitu. Tapi biar serbu setan menghalang tidak akan kubiarkan lelaki merenggutmu dari tanganku. (MENGHAMPIRI LEBIH DEKAT) Wati sayang, kau adalah pengganti ibumu dalam hidupku. Kau adalah pengisi sisa hidupku di alam fana ini. aku akan mati dicekik kesepian bila kau pergi. Wati sayang, jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku.

DI RUANG DALAM MENDADAK TERDENGAR SUARA MENJERIT. MULA-MULA TERDENGAR KERAS, MERINTIH MENGULANG KATA)
Suara Wanita  :  Ibu……! Ibu… ibu… !
BAPAK TERSENTAK KAGET. PANDANGANNYA MENGARAH KERUANG DALAM. WAJAHNYA MENJADI CEMAS DAN KETAKUTAN.


Bapak                 :   Wati, apa yang terjadi?

0 komentar

Posting Komentar