PELAMAR II HENDAK ANGKAT BICARA TAPI TERDENGAR SUARA
KLAKSON SKUTER DARI LUAR. SERENTAK BAPAK DAN PELAMAR II MENOLEH.
Bapak : Ada yang datang bertamu.
Pelamar II : Siapa dia?
Bapak : Pasti bukan sainganmu, nak. Kau pasti telah
mengenalnya, karena dia sering mengawal Wati. Dia anak pungut mendiangan
adikku. Hubungannya dengan Wati sudah seperti saudara kandung. Kalau berkunjung
kemari selalu dibunyikan skuternya seperti barusan tadi. Tak perlu cemas.
Pelamar I : Ya. Pemuda ganteng itu sudah kukenal. Kukira
dulu kakak kandung Wati, malah aku pernah mencurigainya, jangan-jangan dia
pacar Wati yang berlagak pura-pura sebagai saudara sendiri. Baiklah, kawan, eh
bapak, jika bapak menghendaki aku menunggu dengan sabar, aku akan patuh pada
komando bapak.
Bapak : Selamat siang, nak. Selamat jalan.
Pelamar II : Mudah-mudahan bapak tidak ragu dalam
memilihku.
Bapak : Bersabarlah, calon menantuku. (BAPAK DAN
PELAMAR II BERSALAMAN)
Pelamar II : Selamat siang. Sampai jumpa, bapak mertua.
Bapak : Masih calon bapak mertua. Jangan lupa.
PELAMAR II MENGANGGUK SAMBIL TERSENYUM LEBAR, TERUS
KELUAR. BAPAK MEMBALIK DENGAN MENGIKATKAN KEDUA TANGANNYA DI PUNGGUNG.
MELANGKAH BERHENTI DI HADAPAN POTRET, MENGHEMBUS NAFAS LALU MENCIBIR.
Bapak : Lihatlah, Wati. Betapa keterlaluan pelamar
kedua tadi. Dianggapnya aku kawannya sendiri. Sembrono. Kurang tahu tata krama.
Perhatikanlah gaya yang sok besar. Betapa keranjingannya dalam politik,
semuanya serba politik, urusan keluargapun dipolitikkan. Dan kalau kau sampai
jadi isterinya, sudah pasti kau akan dijadikan alat politiknya, kau akan
dijadikan budak politik, Wati. Uh… berabe kalau begitu. Tidak, Wati. Lelaki
macam begitu tidak cocok menjadi suamimu.
TERDENGAR SUARA KETUKAN PINTU. BAPAK SEDIKIT MENOLEH KE ARAH
PINTU.
Bapak : Ya, ya, terus masuk saja.
PEMUDA MUNCUL. SENYUM MENGHORMAT BAPAK, TETAPI BAPAK TIDAK
MEMBALASNYA.
Pemuda : Sudah selesai rupanya.
Bapak : Apa yang selesai?
Pemuda : Pertemuan bapak dengan kedua pelamar Wati.
Bapak : Kau memata-matai rupanya.
Pemuda : Ah, tidak. Aku hanya menonton dari kejauhan
saja.
Bapak : Bagaimana kau tahu hari ini mereka datang?
Pemuda : Wati sendiri yang melayangkan kabar. Dan aku
hanya datang melihat untuk membuktikannya. Apa bapak dihadapkan kesulitan dalam
menentukan pilihan?
Bapak : Memang. Serba sulit keadaannya.
Pemuda : Tapi bapak harus menentukan pilihan.
Bapak : Itulah yang menyusahkan. Keduanya dalam
penilaianku tidak memuaskan. Yang satu mata duitan, gila harta, kenes,
kebanci-bancian. Satunya lagi gila politik, budak ideologi, kasar, kurang ajar.
Ya, serba berabe keduanya.
Pemuda : Dan penilaian Wati sendiri bagaimana?
Bapak : Wati telah menyerahkan kepadaku.
Pemuda : Jadi Wati tidak hadir?
Bapak : Itu kurang sopan menurut adat, tetapi nak
kurasa itu bukan urusanmu.
Pemuda : Maafkan. Aku bukan mau turut campur urusan
bapak. Aku hanya heran kenapa Wati tidak pernah tampak selama ini. kupikir
mungkin menurut adat kebiasaan yang berlaku pada wanita pingitan. Meski
demikian, seharusnya Wati mempunyai kebebasan untuk sekali-kali muncul di
hadapan umum, atau mungkin bapak sudah melarangnya, aku tidak tahu.
Bapak : Nak, nak, ini bukan urusanmu.
Pemuda : Maklumilah, aku tidak hendakm mencampuri
urusan bapak. Kedatanganku seperti biasanya, hanya ingin bertemu dan mengobrol
dengan Wati seperti dulu.
Bapak : Wati untuk sementara ini tidak boleh bertemu
dengan siapapun, termasuk kau. Pulang sajalah, aku lagi pusing sekarang.
BAPAK BANGKIT, MELANGKAH TAPI MENDADAK MENGHENTIKAN
LANGKAH, MENOLEH KEARAH PEMUDA DENGAN PANDANGAN TAJAM.
Bapak : Kau harus tahu bahwa bila terjadi kegagalan
dengan kedua pelamar Wati, aku akan pergi dari sini untuk selamanya.
Pemuda : Mau pindah kemana?
Bapak : Kemana saja kami kehendaki.
Pemuda : Tapi, apakah itu juga kehendak Wati?
BAPAK CEPAT MASUK KEDALAM RUANG DALAM. PEMUDA
MEMPERHATIKAN DENGAN HERAN. PEMUDA DIKAGETKAN KETUKAN PADA PINTU. KEMUDIAN
MEMBUKANYA, MUNCUL PELAMAR I DENGAN GUGUP, KAGET BERHADAPAN DENGAN PEMUDA.
PELAMAR I SENYUM SAMBIL MENGELUARKAN SAPU TANGAN WANGI DAN MENGUSAP-USAPKAN
PADA WAJAHNYA.
Pelamar I : Ah, kukiranya you. Kukira siapa. Lama
tidak jumpa, ya. Tapi kebetulan sekali you ada di sini. Bagaimana
keadaan Wati?
Pemuda : Aku sendiri sudah sebulan tidak ketemu.
Rupanya sedang dipingit. Bapaknya melarang Wati keluar dan bertemu laki-laki,
termasuk aku. Malahan barusan bapak dengan keras melarangku untuk menemui Wati.
Pelamar I : Well, I kira larangan itu tak
ada buruknya, dan di mana bapak?
Pemuda : Baru saja masuk. Katanya lagi pusing.
Pelamar I : Tapi I
harus ketemu bapak segera. Ada yang I
mau tanyakan
Pemuda : Kukira sekarang bapak tidak mau digangu, tapi
jika memang sangat perlu silahkan menemuinya sendiri.
Pelamar I : I kuatir nanti ia akan penasaran, O ya
apa tadi you melihat sainganku menghadap bapak?
Pemuda : Tidak, aku hanya melihat kepergiannya.
Pelamar I : Mungkin bapak menceritakan pada you tentang
diriku dan sainganku ?
Pemuda : Ooo ..tentang lamaran kalian ?
Pelamar I : Ya..apa bapak berkomentar ? apa beliau bicara
tentang persetujuan ?
Pemuda : maksudnya, siapa yang disetujui ?
Pelamar I ; Ya, siapa yang diterima ?
Pemuda : Tak ada kudengar bapak menyatakan siapa
diantara kalian yang diterima atau ditolak.
Pelamar I : Well, kalau begitu masih merupakan suatu
teka-teki yang menegangkan. But eh tapi mungkin Wati pernah menceritakan secara
pribadi pada you. Siapa diantara kami yang akan menjadi pilihannya ?
Pemuda : Kenapa tidak langsung bung tanyakan sendiri
Pelamar I : Tentang hal itu wati selalu menjawab no
comment
TERDENGAR KETUKAN, PEMUDA DATANG MENGHAMPIRI PELAMAR II,
PELAMAR I DAN II SALING BERTATAPAN DENGAN KEBENCIAN . PELAMAR I DENGAN ACUH TAK
ACUH MENGAMBIL SAPU TANGAN DAN MENUTUP HIDUNGNYA.
Pelamar II : Wah, untung bung ada disini sekarang, aku
perlu bertemu bapak. Tolong panggilkan.
Pemuda : Menyesal sekali aku tak berani
Pelamar II : Tapi bung, aku ada urusan penting sekali
dengan bapak. Penting sekali bung
Pemuda : Semuanya juga punya keperluan yang sama, tapi
akupun tak berani memangilkan bapak, jika bung suka, silahkan tunggu saja dulu
disini
Pelamar II : Begini saja bung, kalau bapak lagi capek biar
saja. Tolong bung panggilkan watiku…
MENDADAK PELAMAR I TERTAWA LALU MENUTUPI MULUTNYA DENGAN SAPUTANGAN
Pelamar II : Aneh, udara dalam ruangan ini berbau apek
Pelamar I : Mengherankan, hawa tiba-tiba berbau tengik.
Pelamar II : Apek!
Pelamar I : Tengik!
Pelamar II : Ya, apek, ya tengik. Sebab disini ada manusia
borjuis komprador nekolim, ketawalah ngakak tapi ingat sebentar lagi rasakan
pembalasan rakyat !
PELAMAR I MENGHAMPIRI PEMUDA LEBIH DEKAT LAGI
Pelamar II : Bung tahu penderitaan rakyat kita sekarang
ini akibat rongrongan kaum nekolim yang melancarkan subversi ekonomi dengan
bantuan antek-anteknya disini. Kaum borjuis kapitalis cekokan Wall street,
sekarang sedang giat melancarkan aksinya untuk merongrong revolusi kita.
Merekalah yang lebih dulu akan kita ganyang, bila saatnya tiba kaum
progresif-revolusioner bangkit dari lembah penderitaan. Saatnya akan tiba
rakyat akan menjadi hakim. Dan pasti manusia borjuis komprador nekolim yang
sekarang akan membeli Wati akan kita ganyang !
Pelamar I : Kasihan Wati kalau sampai jadi istri seorang
tukang obat picisan.
Pelamar II : Sebagai seorang anggota DPR, anggota pimpinan
front Nasional, aku tak bisa terima penghinanan tuan !
Pelamar I : Ooo, tuan bisa saja mengajukan resolusi
kutukan, tapi I hanya menunjuk pada kenyataan, bahwa ada seorang propagandais
obat picisan yang melamar Wati
Pelamar II : Aku peringatkan tuan……..
0 komentar
Posting Komentar