Sabtu, 31 Desember 2016

Naskah Drama Insan-Insan Malang Bagian 2

TERDENGAR KLAKSON MOBIL BAPAK DAN PELAMAR I SERENTAK KEPINTU LUAR

Bapak                 :   Tentulah iu dia yang datang, untuk memenuhi kesanggupannya.
Pelamar            :   Sainganku maksud bapak?
Bapak                 :   Ya, jejaka pelamar kedua. (BAPAK BANGKIT) Berbesar hatilah, nak. Aku tidak akan pilih kasih untuk menentukannya. Aku sudah puas mengenalmu dari dekat. Dan dalam beberapa hal kau cukup berhasil menarik perhatianku. (PELAMAR I KELUAR DIIKUTI BAPAK)
Pelamar I          :   Terima kasih. Perkenankanlah I, eh… aku mohon diri dengan menyebut bapak mertuaku.
Bapak                 :   Sabar itu subur, nak. Untuk sementara aku masih menyebut dirimu calon menantu sampai tiba saatnya nanti. Jadi sekali lagi sabar dalam menunggu. Dan selamat siang. Selamat jalan, calon menantuku. 
Pelamar I          :   Terima kasih. Jika Bapak atau Wati memerlukan sesuatu kumohon jangan ragu segera menghubungi aku, oke? Pasti aku akan membantu.
Bapak                 :   Tawaran manis, nak. Asalkan tidak dimaksud sebagai persekot atau suapan.
Pelamar I          : Oh, sama sekali tidak. Antara kita tidak ada kalkulasi dagang. Semua itu cuma sekedar jasa-jasa baik yang dengan tulus ikhlas ditawarkan.
Bapak                 :   Selamat jalan, calon menantu dermawan. (PELAMAR I KELUAR)
Bapak                 :   Nah, apa katamu tentang pelamarmu yang pertama tadi, Wati? (SAMBIL MELIHAT PHOTO) Betapa sombong dia banggakan harta kekayaannya. Uh.. dikira aku dapat dipikat dengan itu. Aku juga dulu pedagang besar pernah mengenyam hidup mewah. Kalau sekarang aku miskin itu di luar kemauanku. Tapi kau lihat sendiri, aku sama sekali tidak takut hidup miskin. Karena aku memang tidak pernah mengikat hidup dengan duit atau harta. Tapi coba perhatikan calon suamimu tadi, Wati. Lihatlah kepribadiaannya, lihat cxara bicaranya yang sok, sikap hidupnya, cara hidupnya yang kebarat-baratan, kenes, cengeng, sok dermawan lagi… (TERDENGAR KETUKAN PADA LUAR PINTU) Nah, pelamar kedua kini telah datang, Wati.
PELAMAR II DATANG MENGENAKAN PAKAIAN LENGKAP TAPI TANPA DASI, MEMAKAI KACAMATA HITAM. IA TERSENYUM LEBAR TANPA MEMBUNGKUKKAN BADAN, TAPI TERUS MENJABAT SALAM DAN MENGGONCANG-GONCANGKANNYA.

Pelamar II         :   Apa kabar, kawan? Eh, Bapak mertua.
Bapak                 :   Oh, baik-baik saja, calon menantu. Dan sebaiknya dilarat dulu, bukan bapak mertua tapi calon bapak mertua.
Pelamar II         :   (TERTAWA SAMBIL MELEPASKAN PEGANGAN TANGAN) Korek! Dengan ini kuralat kesalahanku, ya kawan, eh calon bapak mertua.
Bapak                 :   Nah, begitu. Selamat datang dan silahkan duduk, calon menantu.

PELAMAR II DUDUK SAMBIL MENUMPANGKAN KAKI KANAN DI ATAS KAKI KIRI. PANDANGANNYA CEPAT MENGARAH KEPOTRET TANPA MENGINDAHKAN SOROTAN MATA BAPAK YANG MEMPERHATIKAN GERAK-GERIKNYA DENGAN WAJAH ANGKER

Pelamar II         :   Lho, mana dik Wati-ku?
Bapak                 :   Menurut adat timur, tentu saja Wati tidak boleh menampakkan diri saat lelaki pelamarnya datang. Cukuplah berurusan dengan aku.
Pelamar II         :   Oh, soal adat timur aku sih setuju-setuju saja. Cuma terus terang aku sudah kelewat rindu pada Wati. Sudah sebulan aku tidak pernah berhasil menemuinya. Bahkan berkabar lewat suratpun tidak pernah. Kuhitung-hitung ada selusin surat yang kulayangkan ke alamat ini. apa Wati-ku sakit barangkali?
Bapak                 :   Kerinduanmu dapat kupahami. Jangan cemas. Wati sekarang seorang perawan pingitan. Dan kalau wati tidak pernah membalas suratmu, kukira bukan dia tidak mau memperhatikanmu, nak. Tetapi semata-mata menjaga kemungkinan terjadinya salah tafsir. Sebab kau tahu yang merindukan Wati bukan nak sendiri, bukan?
Pelamar II         :   Penjelasan kawan, eh bapak, dapat kusetujui tanpa reserve, korek, dan logis. Salut untuk sikap Wati dan Bapak. Memang Wati banyak yang mengincar, namun aku yakin bahwa kasihku padanya dapat diterima dengan baik sekali. Dan aku yakin Wati cukup progresif dalam berpikir dan menentukan pilihannya. Akulah pilihan, karena kami serasi dalam segala bidang. Bidang ideologi…
Bapak                 :   Baiklah, nak. Kau boleh yakin, tapi mari kita bicarakan masalah pokok yang kau hadapi, nak, tentang lamaranmu itu.
Pelamar II         :   Korekt! Memang khusus untuk pinangan, aku kini menghadap kawan, eh bapak, jadi sekarang boleh aku mengajukan lamaranku?
Bapak                 :   Tunggu dulu. Aku ingin mengenal secara dekat calon suami Wati.
Pelamar II         :   Itu aku setuju.
Bapak                 :   Wati pernah bilang padaku, anda masih bujangan?
Pelamar II         :   Tepat. Aku masih bujangan seratus persen, dalam arti belum pernah dengan resmi bertunangan, apalagi kawin dengan wanita lain.
Bapak                 :   Wati pernah bilang bahwa anda pernah belajar tiga tahun di luar negri, ya?
Pelamar II         :   Betul. Dengan keterangan tambahan bahwa aku studi ilmu politik di universitas sosiali. Catat: bukan di negara kapitalis. Aku bukan belajar ilmu politik kaum imperialis, akan tetapi ilmu politik sosialis sejati.
Bapak                 :   Ditambahkan juga oleh Wati, bahwa nak punya kedudukan tinggi di sini?
Pelamar II         :   Betul. Aku adalah wakil pemuda dalam parlemen. Pangkatku sebagai pegawai tinggi adalah F4, dalam skala PGPN. Jabatanku asisten ahli dalam bidang sosial politik kabinet.
Bapak                 :   Hem. Wati juga bilang bahwa sekiranya kelak dia jadi isterimu, nak akan membimbingnya dalam pengetahuan politik? Dan akan menempatkannya dalam pimpinan pergerakan kewanitaan?
Pelamar II         :   Begitulah. Dengan catatan bahwa dia harus tergolong wanita maju. Tinggal saja kutingkatkan pengetahuan politiknya. Intelektual yang berpikiran progresif, yang kumaksud adalah politik kaum sosialis bukannya politik kaum kapitalis imperialis, politik yang berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan yang memihak pada kepentingan kaum komprador, kaum kapitalis imperialis. Dia akan kugembleng sedemikian rupa untuk menduduki pimpinan pergerakan wanita, bukan pergerakan wanita borjuis, akan tetapi pergerakan wanita rakyat progresif yang revolusioner. Dengan bimbinganku, aku yakin isteriku kelak akan menjadi tokoh srikandi yang akan dibanggakan kaum wanita, bukan saja di sini, akan tetapi di seluruh dunia. Namanya akan lestari semerbak wangi sepanjang jaman.
Bapak                 :   Sudah?
Pelamar II         :   Jika bapak memperbolehkan, ingin kuberikan lagi sekedar penjelasan tambahan.
Bapak                 :   Kalau anak masih menganggap belum jelas, silahkan saja.
Pelamar II         :   Kalau sudah jadi isteriku, tidak akan dia kuperlakukan sekedar sebagai benada pemuas seksual belaka. Tidak akan kujadikan berhala hidup yang dikurung dalam sangkar madu, yang sekali tempo dia diperlukan didandani sebagai peragawati yang dapat dijadikan sebagai pameran kebanggaan lelaki. Tidak juga kuperlakukan sebagai ibu rumah tangga yang cuma bertugas memproduksi anak-anak. Tidak. Sikap demikian adalah sikap kaum borjuis. Apalagi memperlakukan isteri tidak lebih sebagai sapi perahan, budak belian sebagai seperti dilakukan kaum feodalis. Itu semua sikap dekaden, sikap imoral yang dikutuk keras oleh kami kaum sosialis. Sebagai seorang sosialis, Wati-ku akan sangat kuhargai dan kuperlakukan sebagai kawan seperjuangan seidiologi, yang sama hak dan derajatnya dengan si suami. Dan kami akan melangkah berdampingan menuju ke arah satu tujuan, satu cita-cita, pahit sama kami derita, manis sama kami nikmati. Itu semua menjamin kebahagiaan kami lahir batin. Jadi kawan, eh bapak, jangan khawatir dengan kebahagiaan dan masa depannya kelak bila menjadi isteriku. Percayalah, masa depan kami gilang gemilang. Baik sebagai suami isteri, ataupun sebagai pasangan pejuang-pejuang politik dalam memperjuangkan masyarakat negara sosialis yang menjadi cita-cita revolusi.
Bapak                 :   Sudah tercurah semua?
Pelamar            :   Ya. Semoga bapak sudah mengetahui diriku luar dalam, tentang sikapku sebagai suami, cita-cita hidupku dalam berkeluarga.
Bapak                 :   Ya. Sekarang semuanya sudah jelas, penjelasanmu dengan segala catatan tambahannya sudah cukup memuaskan.
Pelamar II         :   Jadi, bila aku dengan resmi mengajukan pinangan, bapak akan mengabulkannya, bukan? (BERDIRI SIKAP TEGAK) Dengan resmi aku ajukan lamaranku untuk mohon berkenan memperistri putri bapak.
Bapak                 :   Lamaran dengan resmi kuterima.
Pelamar II         :   (TERSENYUM DAN MENJABAT TANGAN) Marilah kita tetapkan hari pernikahannya secepatnya saja, dalam bulan september ini juga.
Bapak                 :   (MELEPASKAN TANGAN) Tunggu dulu. Yang kuterima lamarannya. Jadi, baru lamaran. Masih banyak yang harus kupertimbangkan.
Pelamar II         :   Oh, begitu. Apa pula yang bapak pertimbangkan? Kehidupan dari segi sosial ekonomi barangkali? Jangan cemas, aku cukup memiliki kemampuan berumah tangga, kondisi yang baik sekali, kondisi elit yang tidak kalah dengan kehidupan dalam borjuis kaya. Setidak-tidaknya aku mempunyai sebuah sedan milik pribadi di samping sebuah FIAT milik negara. Sebuah rumah lengkap dengan segala perabotannya seperti radio, lemari es, televisi. Semua itu milikku pribadi, di samping sebuah rumah dinas milik negara. Dan sebagai anak rakyat, aku punya sawah beberapa hektar yang sangat subur dan kalau panen menghasilkan beras beberapa kwintal. Penghasilanku sebagai pegawai tinggi cukup lumayan. Masih ditambah honorarium dalam jumlah yang cukup banyak sebagai anggota parlemen, pengurus Font Nasional, dan…
Bapak                 :   Ya, ya, itu semua sudah kuperoleh keterangannya dari Wati. Aku percaya bahwa penghasilanmu cukup besar nak, cukup untuk memberi nafkah seorang isteri dan selusin anak. Tapi janganlah salah paham ya nak, apa yang masih harus kupertimbangkan adalah soal lain. karena selain kau nak, masih ada jejaka lain lagi yang menjadi pelamar resmi Wati. Itulah yang masih harus kupertimbangkan dengan teliti.
Pelamar II         :   Berapa orang saingan yang mesti kuhadapi?
Bapak                 :   Hanya seorang lelaki.
Pelamar II         :   Jika tidak keliru, sainganku adalah itu sarjana ekonomi “Made in USA”.
Bapak                 :   Dugaanmu tidak keliru lagi. Apakah kalian tidak berpapasan tadi?
Pelamar II         :   Ya. Jadi, apakah tadi dia sudah lebih dulu majukan lamaran? (BAPAK MENGANGGUK) Kawan, eh bapak, sudah memberikan jawaban? (BAPAK MENGANGGUK) Apakah jawaban itu sudah merupakan keputusan sidang, eh keputusan resmi? (BAPAK MENGANGGUK) Keputusan bapak, berupa persetujuan atau penolakan?
Bapak                 :   Penerimaan lamaran.
Pelamar II         :   Waduh, sudah bapak terima lamarannya?!?
Bapak                 :   Penerimaan lamaran untuk lebih jauh kupertimbangkan.
Pelamar II         :   Oh, begitu?!?
Bapak                 :   Tak mungkin aku mengambil keputusan, sebelum aku menilai kedua calon menantuku
Pelamar II         :   Bagus kalau begitu, sekarang kedua pelamar Wati sudah menghadap bapak, tentulah bapak sekarang sudah dapat memberi penilaian konkrit,dan bagaimana penilaian bapak terhadap sarjana borjois itu ?
Bapak                 :   Dalam beberapa hal ada kesamaan dengan kau nak, misalnya, kalian masih sama jejaka, sama tinggi pangkat dan tingkat kehidupannya, sama berpendidikan tinggi di luar negri….
Pelamar II         :   Dengan catatan, bahwa dia adalah hasil didikan negara kapitalis, sedang aku sosialis, dia anak borjuis, aku anak rakyat sejati sebagaimana halnya dengan bapak dan Wati. Dia pendukung paham imperialis, aku paham sosialis, dan…
Bapak                 :   Ya-ya tentu antara kalian ada perbedaan-perbedaan.
Pelamar II         ;   Perbedaaan yang prinsipil dalam watak dan pandangan hidup, dia sangat sesuai dengan kelasnya, berwatak opotunis, reaksioner, aku sesuai dengan kelasku, berwatak progresif, revolusioner, dalam hal ini perbedaan ini memang sangat penting untuk kawan, eh bapak jadikan landasan dalam memberikan penilaian dan titik tolak dalam menentukan pilihan.
Bapak                 :   Penilaianku dalam hal ini adalah perbedaan dalam watak-watak pribadi, umpamanya…ini hanya sebuah umpama saja ya… satunya berwatak sabar, pemurah, peramah, satunya lagi berwatak pemarah, kepala batu, bakil, kurang ajar, yang lain pengecut dan satunya lagi pemberani.
Pelamar II         :   Oh, begitu. Tapi kuharap kelainan watak dari segi pandangan insan politik, hendaknya dapat bapak jadikan bahan pertimbangan yang prinsipil. Karena aku percaya bahwa bapak sebagai anak rakyat yang progresif revolusioner pasti memiliki kesadaran politik. Tentunya bapak akan sependapat dengan aku bahwa kita adalah masyarakat sosialis, tidak semata-mata untuk berkembang biak, akan tetapi kita mempunyai kewajiban politik untuk senantiasa memperjuangkan martabat dan hak asasi rakyat, untuk senantiasa menantang “I” exploitation de I’homme per I’homme, penindasan rakyat yang dilakukan oleh kaum kapitalis imperialis dan kaum borjuis komprador macam itu sarjana “Made ini USA”. Dan…
Bapak                 :   Ya, ya. Di atas segalanya aku sudah memperoleh bahan yang jauh lebih lengkap tentang dirimu, calon menantuku.
Pelamar II         :   Jangan ragu menentukan menantu. Bapak akan berjasa besar sekali, bahkan lebih dari itu bapak telah membantu secara aktif agar di kelak kemudian hari, Wati tumbuh menjadi sosok tokoh wanita sosialis yang progresif revolusioner yang namanya akan abadi, terpahat dalam lembaran keemasan sejarah pergerakan kewanitaan bangsa kita. Sekali lagi jangan ragu memilih diriku.

Bapak                 :   Baik, baik. Tapi sabar sebentar. Aku perlu waktu untuk mengambil keputusan terakhir. Hendaknya nak suka bersabar menunggu.

0 komentar

Posting Komentar