TERDENGAR KLAKSON MOBIL BAPAK DAN PELAMAR I SERENTAK KEPINTU LUAR
Bapak : Tentulah iu dia yang datang, untuk memenuhi
kesanggupannya.
Pelamar : Sainganku maksud bapak?
Bapak : Ya, jejaka pelamar kedua. (BAPAK BANGKIT)
Berbesar hatilah, nak. Aku tidak akan pilih kasih untuk menentukannya. Aku
sudah puas mengenalmu dari dekat. Dan dalam beberapa hal kau cukup berhasil
menarik perhatianku. (PELAMAR I KELUAR DIIKUTI BAPAK)
Pelamar I : Terima kasih. Perkenankanlah I, eh…
aku mohon diri dengan menyebut bapak mertuaku.
Bapak : Sabar itu subur, nak. Untuk sementara aku
masih menyebut dirimu calon menantu sampai tiba saatnya nanti. Jadi sekali lagi
sabar dalam menunggu. Dan selamat siang. Selamat jalan, calon menantuku.
Pelamar I : Terima kasih. Jika Bapak atau Wati memerlukan
sesuatu kumohon jangan ragu segera menghubungi aku, oke? Pasti aku akan
membantu.
Bapak : Tawaran manis, nak. Asalkan tidak dimaksud
sebagai persekot atau suapan.
Pelamar I : Oh, sama
sekali tidak. Antara kita tidak ada kalkulasi dagang. Semua itu cuma sekedar
jasa-jasa baik yang dengan tulus ikhlas ditawarkan.
Bapak : Selamat jalan, calon menantu dermawan.
(PELAMAR I KELUAR)
Bapak : Nah, apa katamu tentang pelamarmu yang
pertama tadi, Wati? (SAMBIL MELIHAT PHOTO) Betapa sombong dia banggakan harta
kekayaannya. Uh.. dikira aku dapat dipikat dengan itu. Aku juga dulu pedagang
besar pernah mengenyam hidup mewah. Kalau sekarang aku miskin itu di luar
kemauanku. Tapi kau lihat sendiri, aku sama sekali tidak takut hidup miskin.
Karena aku memang tidak pernah mengikat hidup dengan duit atau harta. Tapi coba
perhatikan calon suamimu tadi, Wati. Lihatlah kepribadiaannya, lihat cxara
bicaranya yang sok, sikap hidupnya, cara hidupnya yang kebarat-baratan, kenes,
cengeng, sok dermawan lagi… (TERDENGAR KETUKAN PADA LUAR PINTU) Nah, pelamar
kedua kini telah datang, Wati.
PELAMAR II DATANG MENGENAKAN PAKAIAN LENGKAP TAPI TANPA
DASI, MEMAKAI KACAMATA HITAM. IA TERSENYUM LEBAR TANPA MEMBUNGKUKKAN BADAN,
TAPI TERUS MENJABAT SALAM DAN MENGGONCANG-GONCANGKANNYA.
Pelamar II : Apa kabar, kawan? Eh, Bapak mertua.
Bapak : Oh, baik-baik saja, calon menantu. Dan
sebaiknya dilarat dulu, bukan bapak mertua tapi calon bapak mertua.
Pelamar II : (TERTAWA SAMBIL MELEPASKAN PEGANGAN TANGAN) Korek!
Dengan ini kuralat kesalahanku, ya kawan, eh calon bapak mertua.
Bapak : Nah, begitu. Selamat datang dan silahkan
duduk, calon menantu.
PELAMAR II DUDUK SAMBIL MENUMPANGKAN KAKI KANAN DI ATAS
KAKI KIRI. PANDANGANNYA CEPAT MENGARAH KEPOTRET TANPA MENGINDAHKAN SOROTAN MATA
BAPAK YANG MEMPERHATIKAN GERAK-GERIKNYA DENGAN WAJAH ANGKER
Pelamar II : Lho, mana dik Wati-ku?
Bapak : Menurut adat timur, tentu saja Wati tidak
boleh menampakkan diri saat lelaki pelamarnya datang. Cukuplah berurusan dengan
aku.
Pelamar II : Oh, soal adat timur aku sih setuju-setuju
saja. Cuma terus terang aku sudah kelewat rindu pada Wati. Sudah sebulan aku
tidak pernah berhasil menemuinya. Bahkan berkabar lewat suratpun tidak pernah.
Kuhitung-hitung ada selusin surat yang kulayangkan ke alamat ini. apa Wati-ku
sakit barangkali?
Bapak : Kerinduanmu dapat kupahami. Jangan cemas. Wati
sekarang seorang perawan pingitan. Dan kalau wati tidak pernah membalas
suratmu, kukira bukan dia tidak mau memperhatikanmu, nak. Tetapi semata-mata
menjaga kemungkinan terjadinya salah tafsir. Sebab kau tahu yang merindukan
Wati bukan nak sendiri, bukan?
Pelamar II : Penjelasan kawan, eh bapak, dapat kusetujui
tanpa reserve, korek, dan logis. Salut untuk sikap Wati dan Bapak.
Memang Wati banyak yang mengincar, namun aku yakin bahwa kasihku padanya dapat
diterima dengan baik sekali. Dan aku yakin Wati cukup progresif dalam berpikir
dan menentukan pilihannya. Akulah pilihan, karena kami serasi dalam segala
bidang. Bidang ideologi…
Bapak : Baiklah, nak. Kau boleh yakin, tapi mari kita
bicarakan masalah pokok yang kau hadapi, nak, tentang lamaranmu itu.
Pelamar II : Korekt! Memang khusus untuk pinangan,
aku kini menghadap kawan, eh bapak, jadi sekarang boleh aku mengajukan
lamaranku?
Bapak : Tunggu dulu. Aku ingin mengenal secara dekat
calon suami Wati.
Pelamar II : Itu aku setuju.
Bapak : Wati pernah bilang padaku, anda masih
bujangan?
Pelamar II : Tepat. Aku masih bujangan seratus persen,
dalam arti belum pernah dengan resmi bertunangan, apalagi kawin dengan wanita
lain.
Bapak : Wati pernah bilang bahwa anda pernah belajar
tiga tahun di luar negri, ya?
Pelamar II : Betul. Dengan keterangan tambahan bahwa aku
studi ilmu politik di universitas sosiali. Catat: bukan di negara kapitalis.
Aku bukan belajar ilmu politik kaum imperialis, akan tetapi ilmu politik
sosialis sejati.
Bapak : Ditambahkan juga oleh Wati, bahwa nak punya
kedudukan tinggi di sini?
Pelamar II : Betul. Aku adalah wakil pemuda dalam
parlemen. Pangkatku sebagai pegawai tinggi adalah F4, dalam skala PGPN.
Jabatanku asisten ahli dalam bidang sosial politik kabinet.
Bapak : Hem. Wati juga bilang bahwa sekiranya kelak
dia jadi isterimu, nak akan membimbingnya dalam pengetahuan politik? Dan akan
menempatkannya dalam pimpinan pergerakan kewanitaan?
Pelamar II : Begitulah. Dengan catatan bahwa dia harus
tergolong wanita maju. Tinggal saja kutingkatkan pengetahuan politiknya.
Intelektual yang berpikiran progresif, yang kumaksud adalah politik kaum
sosialis bukannya politik kaum kapitalis imperialis, politik yang berpihak
kepada kepentingan rakyat, bukan yang memihak pada kepentingan kaum komprador,
kaum kapitalis imperialis. Dia akan kugembleng sedemikian rupa untuk menduduki
pimpinan pergerakan wanita, bukan pergerakan wanita borjuis, akan tetapi
pergerakan wanita rakyat progresif yang revolusioner. Dengan bimbinganku, aku
yakin isteriku kelak akan menjadi tokoh srikandi yang akan dibanggakan kaum
wanita, bukan saja di sini, akan tetapi di seluruh dunia. Namanya akan lestari
semerbak wangi sepanjang jaman.
Bapak : Sudah?
Pelamar II : Jika bapak memperbolehkan, ingin kuberikan
lagi sekedar penjelasan tambahan.
Bapak : Kalau anak masih menganggap belum jelas,
silahkan saja.
Pelamar II : Kalau sudah jadi isteriku, tidak akan dia
kuperlakukan sekedar sebagai benada pemuas seksual belaka. Tidak akan kujadikan
berhala hidup yang dikurung dalam sangkar madu, yang sekali tempo dia
diperlukan didandani sebagai peragawati yang dapat dijadikan sebagai pameran
kebanggaan lelaki. Tidak juga kuperlakukan sebagai ibu rumah tangga yang cuma
bertugas memproduksi anak-anak. Tidak. Sikap demikian adalah sikap kaum
borjuis. Apalagi memperlakukan isteri tidak lebih sebagai sapi perahan, budak
belian sebagai seperti dilakukan kaum feodalis. Itu semua sikap dekaden, sikap
imoral yang dikutuk keras oleh kami kaum sosialis. Sebagai seorang sosialis,
Wati-ku akan sangat kuhargai dan kuperlakukan sebagai kawan seperjuangan
seidiologi, yang sama hak dan derajatnya dengan si suami. Dan kami akan
melangkah berdampingan menuju ke arah satu tujuan, satu cita-cita, pahit sama
kami derita, manis sama kami nikmati. Itu semua menjamin kebahagiaan kami lahir
batin. Jadi kawan, eh bapak, jangan khawatir dengan kebahagiaan dan masa
depannya kelak bila menjadi isteriku. Percayalah, masa depan kami gilang
gemilang. Baik sebagai suami isteri, ataupun sebagai pasangan pejuang-pejuang
politik dalam memperjuangkan masyarakat negara sosialis yang menjadi cita-cita
revolusi.
Bapak : Sudah tercurah semua?
Pelamar : Ya. Semoga bapak sudah mengetahui diriku luar
dalam, tentang sikapku sebagai suami, cita-cita hidupku dalam berkeluarga.
Bapak : Ya. Sekarang semuanya sudah jelas,
penjelasanmu dengan segala catatan tambahannya sudah cukup memuaskan.
Pelamar II : Jadi, bila aku dengan resmi mengajukan
pinangan, bapak akan mengabulkannya, bukan? (BERDIRI SIKAP TEGAK) Dengan resmi
aku ajukan lamaranku untuk mohon berkenan memperistri putri bapak.
Bapak : Lamaran dengan resmi kuterima.
Pelamar II : (TERSENYUM DAN MENJABAT TANGAN) Marilah kita
tetapkan hari pernikahannya secepatnya saja, dalam bulan september ini juga.
Bapak : (MELEPASKAN TANGAN) Tunggu dulu. Yang kuterima
lamarannya. Jadi, baru lamaran. Masih banyak yang harus kupertimbangkan.
Pelamar II : Oh, begitu. Apa pula yang bapak
pertimbangkan? Kehidupan dari segi sosial ekonomi barangkali? Jangan cemas, aku
cukup memiliki kemampuan berumah tangga, kondisi yang baik sekali, kondisi elit
yang tidak kalah dengan kehidupan dalam borjuis kaya. Setidak-tidaknya aku
mempunyai sebuah sedan milik pribadi di samping sebuah FIAT milik negara.
Sebuah rumah lengkap dengan segala perabotannya seperti radio, lemari es, televisi.
Semua itu milikku pribadi, di samping sebuah rumah dinas milik negara. Dan
sebagai anak rakyat, aku punya sawah beberapa hektar yang sangat subur dan
kalau panen menghasilkan beras beberapa kwintal. Penghasilanku sebagai pegawai
tinggi cukup lumayan. Masih ditambah honorarium dalam jumlah yang cukup banyak
sebagai anggota parlemen, pengurus Font Nasional, dan…
Bapak : Ya, ya, itu semua sudah kuperoleh
keterangannya dari Wati. Aku percaya bahwa penghasilanmu cukup besar nak, cukup
untuk memberi nafkah seorang isteri dan selusin anak. Tapi janganlah salah
paham ya nak, apa yang masih harus kupertimbangkan adalah soal lain. karena
selain kau nak, masih ada jejaka lain lagi yang menjadi pelamar resmi Wati.
Itulah yang masih harus kupertimbangkan dengan teliti.
Pelamar II : Berapa orang saingan yang mesti kuhadapi?
Bapak : Hanya seorang lelaki.
Pelamar II : Jika tidak keliru, sainganku adalah itu
sarjana ekonomi “Made in USA”.
Bapak : Dugaanmu tidak keliru lagi. Apakah kalian
tidak berpapasan tadi?
Pelamar II : Ya. Jadi, apakah tadi dia sudah lebih dulu
majukan lamaran? (BAPAK MENGANGGUK) Kawan, eh bapak, sudah memberikan jawaban?
(BAPAK MENGANGGUK) Apakah jawaban itu sudah merupakan keputusan sidang, eh
keputusan resmi? (BAPAK MENGANGGUK) Keputusan bapak, berupa persetujuan atau
penolakan?
Bapak : Penerimaan lamaran.
Pelamar II : Waduh, sudah bapak terima lamarannya?!?
Bapak : Penerimaan lamaran untuk lebih jauh
kupertimbangkan.
Pelamar II : Oh, begitu?!?
Bapak : Tak mungkin aku mengambil keputusan, sebelum
aku menilai kedua calon menantuku
Pelamar II : Bagus kalau begitu, sekarang kedua pelamar
Wati sudah menghadap bapak, tentulah bapak sekarang sudah dapat memberi
penilaian konkrit,dan bagaimana penilaian bapak terhadap sarjana borjois itu ?
Bapak : Dalam beberapa hal ada kesamaan dengan kau
nak, misalnya, kalian masih sama jejaka, sama tinggi pangkat dan tingkat
kehidupannya, sama berpendidikan tinggi di luar negri….
Pelamar II : Dengan catatan, bahwa dia adalah hasil
didikan negara kapitalis, sedang aku sosialis, dia anak borjuis, aku anak
rakyat sejati sebagaimana halnya dengan bapak dan Wati. Dia pendukung paham
imperialis, aku paham sosialis, dan…
Bapak : Ya-ya tentu antara kalian ada
perbedaan-perbedaan.
Pelamar II ; Perbedaaan yang prinsipil dalam watak dan
pandangan hidup, dia sangat sesuai dengan kelasnya, berwatak opotunis,
reaksioner, aku sesuai dengan kelasku, berwatak progresif, revolusioner, dalam
hal ini perbedaan ini memang sangat penting untuk kawan, eh bapak jadikan
landasan dalam memberikan penilaian dan titik tolak dalam menentukan pilihan.
Bapak : Penilaianku dalam hal ini adalah perbedaan
dalam watak-watak pribadi, umpamanya…ini hanya sebuah umpama saja ya… satunya
berwatak sabar, pemurah, peramah, satunya lagi berwatak pemarah, kepala batu,
bakil, kurang ajar, yang lain pengecut dan satunya lagi pemberani.
Pelamar II : Oh, begitu. Tapi kuharap kelainan watak dari
segi pandangan insan politik, hendaknya dapat bapak jadikan bahan pertimbangan
yang prinsipil. Karena aku percaya bahwa bapak sebagai anak rakyat yang
progresif revolusioner pasti memiliki kesadaran politik. Tentunya bapak akan
sependapat dengan aku bahwa kita adalah masyarakat sosialis, tidak semata-mata
untuk berkembang biak, akan tetapi kita mempunyai kewajiban politik untuk senantiasa
memperjuangkan martabat dan hak asasi rakyat, untuk senantiasa menantang “I”
exploitation de I’homme per I’homme, penindasan rakyat yang dilakukan oleh
kaum kapitalis imperialis dan kaum borjuis komprador macam itu sarjana “Made
ini USA”. Dan…
Bapak : Ya, ya. Di atas segalanya aku sudah
memperoleh bahan yang jauh lebih lengkap tentang dirimu, calon menantuku.
Pelamar II : Jangan ragu menentukan menantu. Bapak akan
berjasa besar sekali, bahkan lebih dari itu bapak telah membantu secara aktif
agar di kelak kemudian hari, Wati tumbuh menjadi sosok tokoh wanita sosialis
yang progresif revolusioner yang namanya akan abadi, terpahat dalam lembaran
keemasan sejarah pergerakan kewanitaan bangsa kita. Sekali lagi jangan ragu
memilih diriku.
Bapak : Baik, baik. Tapi sabar sebentar. Aku perlu
waktu untuk mengambil keputusan terakhir. Hendaknya nak suka bersabar menunggu.
0 komentar
Posting Komentar