Sabtu, 31 Desember 2016

Naskah Drama Insan-Insan Malang Bagian 1

Berikut ini naskah drama 3 orang karya B. Sularto.

PARA PELAKU

BAPAK : Usia 55 tahun
PEMUDA             : Usia 28 tahun
PELAMAR I          : Usia 30 tahun
PELAMAR II         : Usia 31 tahun

BABAK I


DALAM RUANG TAMU. PERABOTAN TERDIRI DARI SATU STEL MEJA KURSI TAMU SEDERHANA DENGAN SEBUAH ASBAK. Sebuah bufet, di atasnya terletak sebuah potret wati ukuran dua kali kartu pos, berbingkai. Di dinding tergantung sebuah kalender, bulan september 1965. waktu kira-kira jam 11.00. Bapak berdiri selangkah di hadapan buffet. pandangannya mantap kearah potret. Bapak mengambil potret, didekatkannya kearah mukanya. BApak senyum sambil mengembalikan potret ketempatnya semula. Bapak mangut-mangut pandangannya tidak pernah lepas dari arah potret.

Bapak                 :   Kau, begitu manis Wati. Semanis Almarhumah bundamu. Tapi kau anakku. Dan kini kau sudah matang untuk menjadi ibu. Lalu tibalah saatnya kau tinggalkan aku. Ya, kau akan pergi bersama seorang lelaki tentu.

Bapak melangkah kearah kAlendeR mendekatkan pandangannya, sambil bergumam

Bapak                 :   September bulan kesembilan, september bulan penuh kenangan.                   (memandang potret, lalu sejenak mengelengkan kepala). Kalau saja kau tahu apa yang terjadi dalam bulan kesembilan ini, dua puluh tahun yang lalu, Wati. Datanglah pada waktu itu dibulan september, dua orang pemuda gagah sama melamar ibumu. Heh ya sebagaimana juga aku, mereka sama tergila-gila pada kemanisan bundamu. Tapi tahu kau Wati; mengapa justru aku yang bisa menangkan pertandingan dalam merebut ibumu? Sederhana saja Wati, sederhana, sebab kedua teruna perkasa tadi saling bersaing dalam memperebutkan bundamu. Mereka pertaruhkan segalanya, termasuk nyawanya. Akibatnya yang satu mati ditikam saingannya yang satu lagi jadi boronan polisi. Lelaki-lelaki sial. Dan datanglah aku, lelaki ketiga. Datang untuk melihat dan menang. (ketawa kecil, lalu melangkah ke kursi, pandangannnya sejenak kearah kelender) Sekarang bulan kesembilan bulan penuh kenangan. Bulan penuh kenangan. Dan siang ini akan datang dua pemuda kemari melamar Wati. Dan keduanya tentu saling bersaing. Akan datang pulakah lelaki ketiga untuk melihat, menang memboyong Wati pergi? Akan terulangkah apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu ? Heh, tapi pasti aku yang paling merugi, karena Wati musti dibawa pergi laki-laki. Dan aku akan kehilangan.
TERDENGAR KETUKAN PADA PINTU LUAR. BAPAK MENULEH KEARAH PINTU SAMBIL BANGKIT DENGAN GERAK LAMBAN

Bapak                 :   Kalau aku tidak salah duga, tentu ini sang pahlawan

BAPAK MELANGKAH KEARAH PINTU LALU MEMBUKANYA, MUNCULAH PELAMAR I MENGENAKAN PAKAIAN LENGKAP BERDASI MENTERENG. PELAMAR I MENGHORMAT DENGAN MEMBUNGKUKKAN BADAN. SAMBIL SENYUM MENJABAT SALAM BAPAK DENGAN KEDUA TANGANNYA.

Bapak                 :   Selamat datang.
Pelamar I          :   maafkan, I oh, aku terlambat tiba sepuluh menit.
Bapak                 :   Ah, tak mengapa. Silahkan duduk. Yang penting anak hari ini telah datang untuk memenuhi janji. Terlambat sepuluh saja, tak kuperhitungkan. Karena, aku tak biasa mengikat diri pada perputaran menit dan detik.
Pelamar I          :   Terima Kasih. ( duduk dengan sikap hormat tapi kikuk)

Bapak duduk dihadapannya dengan wajah angker menyoroti. Pelamar I mencoba menghindari sorotan mata bapak dengan melirik kearah potret.

Bapak                 :   Bagaimana ?
Pelamar I          :   Oh, oh Wati sehat-sehat sajakah ?
Bapak                 :   Kau pasti meindukannya, bukan ? ya, itu aku dapat mengerti. Ketahuilah nak, Wati kini segar bugar sesegar murai. Dan tentu ; kini dia berdebar hati dalam menanti lamaran bakal suami. Karenanya, wati lebih suka tidak menampakkan diri sejak beberapa lama.

PELAMAR I SENYUM LEBAR SAMBIL MENGELUARKAN SAPU TANGAN WANGI DAN DIUSAP-USAPKANNYA KEPIPI KANAN KIRI.

Pelamar I          :   Itu bukti, bahaw Wati seorang wanita yang yahu harga diri.
Bapak                 :   Itu penilaian bagus, nak. Tapi bagaimana dengan kemantapan hatimu dalam memilih calon istri ?
Pelamar I          :   Rasanya pilihan hatiku sekarang sudah teramat pasti. Tertuju pada seorang wanita semata, yaitu Wati.
Bapak                 :   itu sekarang ya, nak. Dulu bagaimana ? pernahkah nak mencintai wanita lain sebelum ketemu Wati ?
Pelamar i          :   Never, eh tidak pernah. Demi Tuhan, bagiku yang pertama dan yang terakhir adalah Wati.

BAPAK MANGGUT-MANGGUT SAMBIL SENYUM

Bapak                 :   Hem, aku jadi ingat masa lalu. Ya, dulu seperti ucapanmu itulah, aku pernah bersumpah didepan almarhumah ibu wati.dan ternyata sumpahku itu berhasil menyakinkan mereka betapa agung kasih cintaku. Maka, dengan tidak berpikir dua kali dikabulkannyalah lamaranku.
Pelamar I          ;   Maka jiak bapak berkenan di hati. Ijinkanlah I eh, aku dengan segala kerendahan hati dan dengan penuh takzim menghadap bapak untuk melamar Wati. Kan kujadikan istri bahagia sampai akhir hayatku
Bapak                 :   Tunggu dulu ya, nak sebenarnyalah aku ingin , untuk lebih dulu mengetahui lebih dekat dengan bakal menantuku. Wati pernah menceeritakan bahwa kau seorang sarjana ekonomi lulusan perguruan tinggi luar negri. Punya kedudukan tinggi sebagai direktu perusahaan industri obat-obatan. Punya rumah gedung betingkat dua. Punya dua mobil sedan , masih bujangan . itulah yang kuketahui tentang dirimu. Tapi bagaimana cita hidupmu dalam berkeluarga ?
Pelamar I          :   Cita hidupku sederhana saja. Yaitu, membina satu lembaga keluarga sejahtera, lahir batin hidup dalam bahagia.
Bapak                 :   Bagus sekali cita hidupmu, ketahuilah, nak begitu kira-kira ucapanku dulu dua pulub tahun yang laluketika melamar almarhumah ibu wati dihadapan orang tuanya.
Pelamar I          :   Terima kasih, maka kiranya berkenan hati, komohon bapak akan mengabulkan pinanganku…..
Bapak                 :   Tunggu dulu. Kalau kau sudah berumah tangga , apakah menginginkan kehadiran anak?
Pelamar I          :   itu adalah program keluarga yag vital, urgent. Tanpa kehadiran anak-anak kehidupan keluarga akan dicekik kesepian yang paling mengerikan, dan matilah keturunan kami, karena tiada pewaris lagi.
Bapak                 :  Bagus sekali nak, Berapa putra-puti yang anak idamkan kiranya ?
Pelamar I          :   well,ya, itu tergabtung dari banyak faktor, selain faktor kesuburan, Tuhan jua yang menentukan, tapi bagiku ideal sekali memiliki anak empat –lima.
Bapak                 :   Empat-lima. Hem, dulu akupun mengharapkan anak sebanyak itu pula. Tapi seperti katamu tadi nak, Tuhanlah yang menentukan. Kami Cuma dianugrahi seorang putri, si Wati. Dan bagaimana kelak anak Cuma dianugrahi seorang anak saja ? Apalagi jika seorang dara.
Pelamar I          :   Pasti aku akan sangat mencintainya
Bapak                 :   Sangat mencintainya ?
Pelamar I          :   Tapi bagaimanapun kelak bila telah dewasa pasti akan kulepaskan untuk dipersunting seorang jejaka yang cocok untuk jodohnya.
Bapak                 :   Melepaskannya kalau sudah dewasa ya, nak. Hem ya
Pelamar I          :   Apakah bapak berat hati untuk melepaskan Wati ?

BAPAK TERSENYUM LALU MENATAP KEARAH POTRET

Bapak                 :   Setiap kali kulihat wati, setiap kali itu pula kuteringat bundanya. Kelmbutan hatinya, kemanisan wajahnya, kesejukan pandangannya, seluruhnya menitis pada tubuh Wati.
Pelamar I          :   Tepatlah lukisan bapak tadi, betapa kenanisan wati dan keluhuran budinya diwariskan dari ibunya, maka ya bapak, semogalah bapak akan berkenan di hati untuk mengabulkan lamaranku ?
Bapak                 :   Hem, tapi ketahuilah pelamar Wati tidak Cuma Satu.
Pelamar I          :   Ya, memang itu aku tahu. Aku memang mempunyai saingan disini. Tapi semoga aku tidak terlambat tiba.
Bapak                 :   Syukurlah kalau anak sudah tahu, anak tercatat sebagai pelamar wati yang pertama, jadi tak usah resah gelisah, tapi aku ahrus beralku adil, bila untuk wati terdaftar dua orang pelamar resmi ? aku harus mempertimbangkannya dengan sangat teliti sekali, karena wati hanya seorang dan hanya seorang lelaki yang mempersuntingnya
Pelamar I          :   Sikap hati-hati bapak sangat kumengerti, namun kalau bapak memperkenankan, pada kesempatan kali ini aku menghaturkan jaminan pribadi. Maaf bukannya aku ingin menilai Wati sebagai benda taruhan atau benda ekonomis. Aku hanya ingin memamerkan kemampuanku sebagai seprang suiami.
Bapak                 :   Tentu nak, kau berhak berusaha untuk memikat calon mertuamu dengan segala cara yang bisa menyakinkan hati.
Pelamar I          :   Tidaklah berlebihan jika I eh, aku menghaturkan tiga macam jaminan pribadi. Pertama, kesetiaan, kedua, kehidupan makmur mewah sampai hari tua dan yang ketiga warisan harta benda yang berlimpah untuk keturunan kami nanti.
Bapak                 :   Hem, ya tapi nak, tentang kesetiaanmu apakah nanti bisa menjadi jaminan karena itu baru berupa pernyataan kesangguipan. Belum menjadi kenyataan Apa yang terjadi nanti sulit ditebak bukan? Tentang kehidupan makmur mewah itu nisbi, karena sepeti katamu tadi. Tuhanlah yang menentukan. Nasibmu sekarang baik tapi entah suatu saat nanti, takdir memaksa roda hidupmu berputar kebawah. Dan tentang janji warisan melimpah, apalah gunanya nanti jika kau tidak mempunyai anak? Atau jika kau mempunyai anak tetapi takdir menentukan anak-anakmu lebih dulu meninggal, tapi nak diatas segalanya memang jaminan-jaminanmu itu cukup mengapit hati setiap calon bapak mertua.
Pelamar I          :   Terima kasi untuk wawasan bapak yang kritis itu. Dan perkenankanlah seiring dengan ini secara resmi aku mengajukan lamaran untuk dalam waktu dekat ini mempersunting Wati sepanjang hayatnya.
Bapak                 :   Ya..ya dengan resmi pula lamaran nak kuterima dengan baik sekali
Pelamar            :   Terima kasih…terima kasih. Dan semoga bapak secara resmi mengabulkannya

Bapak                 :   Sabarlah dulu calon menantuku, ingat masih ada pelamar kedua yang akan datang,kau dan sainganmu masih harus kuberikan penilaian yang menentukan, jadi kuharap nak akan pula berkenan bersabar dalam menunggu.

0 komentar

Posting Komentar