Selasa, 13 Desember 2016

Naskah Drama Orkes Madun 1 Bagian 10

WASKA
Kembali soal mati, dapat saya katakana bahwa pada umumnya orang mengisi waktu dan usianya dengan segala macam kegiatan yang mengarah pada suatu angan-angan yang gila, yaitu…. Eh, begini sederhananya: hidup bagi sebagian besar orang adalah persiapan untuk menghadapi cara mati. Untuk saya pribadi….

SESEORANG DAN LAIN-LAIN
Nanti dulu bapak, nanti dulu

WASKA
Belum, belum. Saya bicara apa tadi?

SESEORANG
Untuk saya pribadi

WASKA
Untuk saya pribadi hidup adalah hidup, mati adalah mati

SESEORANG
Maksud bapak?

WASKA
Aku sendiri tidak begitu jelas

WASKA LALU BANGKIT DAN BERGERAK

SESEORANG
Kemana bapak?

WASKA
Mau ngopi

NYANYIAN ANGIN BERGELOMBANG, WASKA MUNCUL LAGI MERAUNG MARAH. NYANYIAN LAGI. WASKA MUNCUL LAGI, MARAH, NYANYI DAN TERUS NYANYI SAMPAI TERDENGAR SUAR TEMBAKAN YANG SANGAT MEMEKAKAN TELINGA YANG MENJADIKAN SEMUA ORANG TERDIAM DAN FIRASAT MASING-MASING MENGATAKAN BAHWA ITU PASTI KEMATIAN WASKA

DAN BENAR KEMUDIAN MUNCUL SEMAR DENGAN SAPU TANGAN SEDIHNYA.

NABI
Siapa yang mati, Semar?

SEMAR
Waska

SESEORANG
Polisi yang nembak? Karena ia melarikan diri? Atau salah seorang di antara kita yang dengki? (Baris ini menyebabkan Madekur merasa nggak enak) jelaskan kalau memang jelas, Semar!

NABI
Siapa yang menembaknya?

SEMAR
Mula-mula begini…..

SESEORANG
Tidak perlu bagaimana permulaannya, yang penting siapa yang menembak. Kalau ada persoalan, itu urusan mereka berdua. Kita hanya perlu tahu siapa yang menembaknya.

SEMUA ORANG MENDUKUNG ORANG TADI


SESEORANG
Bagaimana pun, kita banyak berhutang kepada Waska. Bukan saja ia telah memberikan jalan terang kepada kita ketika kita luntang-lantung meraba-raba hampir putus asa dalam kegelapan dan kesemrawutan jalan-jalan Jakarta.

SESEORANG
Ia juga menuntun kita setiap kali kita tersesat ke dalam sikap putus asa

SESEORANG
Ia juga memutuskan tali yang telah dipersiapkan buat menggantung leher kita sendiri

SESEORANG
Ia yang mengurungkan telunjuk kita menarik pelatuk pistol yang akan ditembakkan atas kepala kita

SESEORANG
Dan ia yang menyadarkan dan membangunkan harga diri kita

SESEORANG
Dan ia juga yang membelokkan kita dari jalan hina para pengemis

SESEORANG
Singkat kata, dialah ‘api nan tak kunjung padam’ bagi barisan para penganggur yang memenuhi kota-kota yang gemerlap namun gelap, yang gelap namun gemerlap

SESEORANG MENANGIS SANGAT MEMILUKAN SEKALI

SESEORANG
Tangis yang panjang yang paling panjang yang pilu yang paling pilu tak akan juga seimbang untuk menghormati jenazah yang mulia itu. Tuhan, Tuhan…

NYANYIAN
Angin berwarna ungu
Angin berwarna ungu
Menghembus perlahan batang-batang
Cemara yang kelabu
Dan sepi menunggunya
Dan sepi menunggunya

Waska
Lelaplah dalam senyap
Lelap lelap senyap senyap
Angin berwarna ungu

NABI
Sebentar, Semar. Saya kira orang-orangmu sudah keterlaluan menanggapi tokoh Waska

SEMAR
Saya kira juga, tuanku. Malah lebih dari itu, mereka sudah menyimpang dari teks

SESEORANG
Sebentar, sebentar, jangan ngobrol yang tidak-tidak dulu. Pertanyaan kami belum dijawab. Siapa yang menembak Waska?

SEMAR
Waska ditembak tepat pada pelipisnya dengan lubang peluru yang mengagumkan lurusnya dan penembaknya adalah Waska sendiri.

SEMUA ORANG MENGATAKAN BAHWA PERBUATAN ITU TIDAK MUNGKIN DILAKUKAN OLEH WASKA

SEMAR
Coba, tenang sebentar. Jangan bicara sendiri-sendiri. Kalau terus kalian bicara begini, penonton yang sebenarnya dan nanti mereka menduga-duga secara berlebihan seperti bisaanya

SESEORANG
Saya tahu motif serta alas an mengapa Waska bunuh diri

SEMAR
Kamu tidak tahu. Yang tahu Cuma Arifin, saya dan Tuhan. Sebab itu dengarkan. Waska bunuh diri karena malu

SESEORANG
Lantaran hutang?

SEMAR
Selebihnya bukan urusan kamu dan siapapun. Itu semata-mata urusan Waska sendiri, pribadi

SEMUA ORANG SEKETIKA MUNDUR KETIKA  MUNCUL TARKENI YANG EMRAYAP-RAYAP SECARA MENGERIKAN SEKALI. SELURUH TUBUHNYA PENUH DENGAN BOROK KECIL-KECIL YANG SEMUANYA BERNANAH. SETIAP BOROK KECIL ITU DIBUMBUI OLEH BEBERAPA EKOR LALAT, SEMENTARA DARAH KERING DI PINGGIR-PINGGIRNYA DAN NANAH KENTAL MELELEH. TARKENI DENGAN SUSAH PAYAH MENDEKATI MADEKUR YANG MASIH TIDUR SANGAT NYENYAK.

NABI
Sejuta borok kecil mengerumuni keindahanmu. Berjuta lalat singgah mengerumuni borok-borokmu. Dan darah dan nanah meleleh-leleh

SESEORANG
Bagaimana pun perasaan kita, hidung kita tetap tidak tahan akan baunya

SESEORANG
Seharusnya kamu berobat

TARKENI
Jelas

SESEORANG
Kenapa tidak?

TARKENI
Nggak punya duit

SESEORANG
Cari dong

TARKENI
Tidak usah nyocot. Tanpa kamu bilang aku sudah berusaha, hanya saja aku belum dapat

SESEORANG
Saya kira lebih baik dia pergi ke rumah sosial

TARKENI MELUDAH

SESEORANG
Atau dia bisa datang ke rumah pastur atau dokter atau sosiawan atau….

TARKENI
Aku tidak akan pernah datang ke rumah-rumah mereka. Penyakit dan kelaparan yang sekarang kutanggung adalah penyakitku dan kelaparanku, bukan penyakit mereka kelaparan mereka

SESEORANG
Tempo hari pernah ada seorang pelacur yang menderita seperti dia datang ke rumah seorang dokter-pastur dan beberapa bulan kemudian dia sudah kembali cantik seperti keluar dari kap salon dan kemudian ia aktif lagi sebagai pelacur

SESEORANG
Kemarin pernah orang cerita….

DAN KEMUDIAN SETIAP ORANG BERCERITA MENGENAI PENGALAMANNYA YANG HAMPIR SERUPA ITU, MENDENGAR ITU SEMUA, TARKENI  JADI  JENGKEL DAN IA PUN SEGERA MELEMPARI ORANG-ORANG ITU DENGAN APA SAJA YANG DIDAPAT  DAN ORANG-ORANG ITU PUN MNEYINGKIR SEMUA.
SETELAH ITU, TARKENI MEMBANGUNKAN MADEKUR DENGAN MESRA SEKALI, SEPERTI IA MEMBANGUNKAN MADEKUR DI KAMAR YANG INDAH DI SEBUAH RUMAH KAMPUNG DI DESANYA.

TARKENI
Mad, Mad….

MADEKUR (Sambil bangun menggeliat enak sekali)
Ah, matahariku

TARKENI
Menyenangkan mimpimu?

MADEKUR
Luar biasa, tapi mencapekkan pinggang

TARKENI
Aku juga mimpi yang sama

MADEKUR
Sebentar lagi luka-lukamu kering, sayang. Jangan kecil hati

TARKENI
Aku tidak pernah kecil hati seperti kau tahu

MADEKUR
Memang, dan itulah yang membuatku tergila-gila padamu

TARKENI
Bagaimana pun, samar-samar aku masih bisa membayangkan ketika pada suatu sore kau mengintip aku mandi

MADEKUR
Waktu itu aku masih bocah dan aku malu karena tertangkap basah

TARKENI
Mad….

MADEKUR
Tar….

KEDUANYA SALING MENATAP SAMA TERSENYUM, TAMPAK BETAPA KEDUANYA SALING MENCINTA

MADEKUR
Waktu tidak berhasil merusak keheningan matamu, sayang. Matamu tetap bulat bening seperti ketika untuk pertama kalinya aku memperhatikanmu

TARKENI
Ketika aku belajar mengaji di rumah Nyi Rohmah?

MADEKUR
Ya, kau pakai kerudung….

TARKENI
Oh, tiba-tiba aku ingin berkerudung sekarang

MADEKUR
Sapu tangan ini bisa kau gunakan sebagai kerudung

LALU TARKENI MEMAKAI KERUDUNG

MADEKUR
Siapa bilang kau busuk?

TARKENI
Jangan hiraukan omongan orang

MADEKUR
Kau tetap cantik mengagumkan

TARKENI
Aku selalu gemetar setiap mendengar suaramu

MADEKUR
Kita berbahagia, bukan

TARKENI
Sangat, sangat

MADEKUR
Ya, karena ternyata kita berhasil dan selalu berhasil mengatasi penderitaan demi penderitaan

TARKENI
Mad, aku merasa sebentar lagi aku akan mati

MADEKUR
Aku juga merasa begitu

TARKENI
Kalau begitu, setubuhi aku. Aku ingin….

MADEKUR
Aku mengerti, aku mengerti.

ANGIN PUN BERDESIR

TARKENI
Mad….

MADEKUR
Tar….

NYANYIAN
Bunga-bunga plastik warna-warni
Tidak bergoyang, tidak bergoyang
Sementara angin menghembusnya
Hanya debu-debu yang menari-nari

Nanah yang meleleh
Dosa yang meleleh
Langit pun terbuka
Memberkas cahaya

Cahaya perak kemerlap
Bumi pucat senyap
Dedaun perak kemeralp
Melayang meratap

Nanah yang meleleh
Dosa yang meleleh
Menyerbu angkasa
Menggedor cahaya

Madekur mandi cahaya
Semua jadi bunga
Tarkeni mandi cahaya
Semua jadi doa

IBM
Para penonton yang berbahagia – semoga. Amien.
Bertahun-tahun lamanya Ibu Madekur mengembara sebagai pengemis di jalan-jalan Jakarta, mencari dan mencari Madekur dan Tarkeni. Tidak seorang pun tahu. Tidak seorang pun yang tahu. Dan pada suatu dini hari di bawah jembatan Semanggi perempuan tua itu, yang sedang kedinginan dalam tidur sepinya dibangunkan oleh seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan – sepasang kuda putih. Kedua anak kecil itu membisikan di telinganya bahwa Madekur dan Tarkeni telah wafat. Mendnegar itu, Ibu Madekur bangkit dan kedua anak itu kemudian gaib menjelma dua titik embun.

Begitulah perempuan tua itu kembali mengembara dan mengembara dan kali ini bermaksud menziarahi kuburan anak-anaknya; Madekur dan Tarkeni. Tapi tidak seorang pun tahu. Tidak seorang pun yang tahu. Dan pada suatu senja di sebuah tong sampah perempuan tua itu mengais-ngais, tapi tong itu kosong.  Tong itu kosong. Tapi ibu it terus mengais dan mengais, lantaran percaya di bawah tong itulah pasti Madekur dan Tarkeni terkubur. Dan benar, perempuan itu menemukan Madekur dan Tarkeni yang sedang nyenyak tidur berpelukan. Dipandanginya anak-anak itu, diciuminya anak-anak itu, direstuinya anak-anak itu. Dan seketika Madekur dan Tarkeni gaib menjelma dua lembar daun kering yang siap menjadi debu.

Para penonton yang bahagia – semoga, Amin.
Kemudian ibu itu berbisik pada daun-daun kering itu
“Bagaimana pun kalian adalah putra-putra ku yang terbesar bagiku….”


TAMAT

0 komentar

Posting Komentar