(SEBUAH JALAN SEPI. ADA POHON
MERANGGAS. MUNCUL DULACIS MENGAYUN SEPEDA TUA BERPAKAIAN SERAGAM KOPRI.
BERKOPIAH SERTA MEMBAWA TAS HITAM DIGONCENG SEPEDA SEPEDANYA. TIBA – TIBA BAN
SEPEDA MELETUS BERSAMAAN DENGAN BERHENTINYA LAGU ).
Astaga…! lalalala…(TURUN DARI
SEPEDA) Wah…! gembos, padahal saya harus
buru – buru ! (MEMERIKSA BAN SEPEDA) Astaga ! Paku ! (PADA PENONTON)
Saudara lihat sendiri dijalan sepi begini, sepeda saya yang saunya ini kena
paku ! Saudara – saudara tahu paku dari
mana kiranya ? tahu – tahu kok ada dijalan sepi ini. Apa mungkin paku ini jatuh
dari truk yang pernah mengangkut bahan – bahan proyek pembangunan SD Inpres,
dimana saya bekerja disana, dibalik bukit itu (MELIHAT ARLOJI). Waduh ! Pasti
terlambat ! Saudara – saudara, saya ini mau upacara tujuh belasan, makanya saya
buru – buru tadi. Saya kebut sepeda tua
ini biar cepat sampai, eh…malah jadi kena paku. Sekarang apa yang harus saya
lakukan ? (DIAM BERFIKIR SEJENAK) apa sepeda ini ditaruh saja disini ? atau
ditinggal sendirian …? Atau saya gendong saja ke balik bukit sana…? (MENGHITUNG
– HITUNG JARI) Bawa, tinggal, bawa, tinggal, bawa, tinggal…(TERTAWA) Ya, harus
ditinggal ! (SEPEDA DISANDARKAN PADA POHON). Nah ! Kau terpaksa kutinggalkan
disini sepedaku. Tapi bagaimana nanti kalau hilang ? (PADA PENONTON) Kalau
kutinggalkan lalu hilang wah ! Saya merasa berdosa, karena sepeda ini merupakan
sepeda warisan dari pak Odin. Tak baik kalau kutinggalkan (SEPEDA DITUNTUN).
Lebih baik dibawa saja. Tapi kalau kubawa pasti terlambat. Pasti upacara tujuh
belasan sudah selesai. Akibatnya, wah… repot juga ! (BERFIKIR SESAAT) Baiklah
sepeda ini tidak akan dibawa dan biarlah saya terlambat, tidak ikut upacara
tujuh belasan. Walaupun tidak biasa. Soalnya terus terang…(PADA PENONTON) Saya
terbiasa disiplin. Wong saya ini pegawai negeri. Wong ada Saptya Prasetya. Tapi bagaimana kalau
saya sekali ini absen upacara tujuh belasan. Asal jangan mangkir saja ya ? Kalu
seorang guru mangkir ngajar, ya kalau bisa jangan. Apa lagi sering mangkir.
Ngono ya ngono, tapi yo ojo ngono (TERTAWA SAMBIL MENYANDARKAN SEPEDANYA
KEMBALI). Bagaimanapun tugas seorang guru itu berat dan mulia. Saya jadi ingat
kisah legendaris tentang seorang guru dari desa kelahiran saya, namanya Odin.
Sedang nama saya Acis (MENEPUK SEPEDANYA). Sepeda ini adalah warisan dari tokoh
legendaris itu. Tentu saudara – saudara ingin tahu, bagaimana ceritanya dan
kenapa sepeda ini diwariskan kepada saya ? Memang panjang ceritanya. Jangan
tertawakan saya saudara – saudara, meski sepeda tua ini agak reyot, tapi nilai
pengabdian dan kesejarahannya itu. Semua orang tahu siapa guru Odin. Mereka
akan berdecak kagum memuji – mujinya. Pasti diantara saudara – saudara ada yang
berfikir. Kenapa saya tidak mencicil motor saja, biar mudah kesana - kemari dan
tidak akan terlambat pergi mengajar atau mengikuti upacara tujuh belasan ?
(TERTAWA) Bukan tidak mau saya mencicil motor. Guru kecil seperti saya tentu
jadi sasaran yang empuk untuk yang namanya kreditan atau cicil – cicilan, tapi
saya ini ibarat ; Maksud hati ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai.
Maksud hati ingin motor atau yang sejenisnya , tapi apa daya gaji pas – pasan,
bahkan cekak – cekakkan. Jadinya yang ada saja. Ada sepeda ini. Apalagi sepeda
ini warisan dari guru Odin. Terus – terang Saya bangga mengendarainya. Siapa
tahu ngalap berkah. Baiklah saya akan bercerita tentang kisah sepeda ini ketika
diwariskan kepada saya. Juga sedikit tentang riwayat guru Odin yang legendaris
itu. Bagaimana kalau saya bercerita ambil merokok. Biar afdol (MENGHISAP
ROKOK). Kita mulai saja. Kenapa saya katakan guru Odin itu seorang guru yang
legendaris, khususnya untuk didaerah sekitarnya, dimana saya lahir dan
dibesarkan. Konon, dulu ketika yang namanya sekolah masih jarang. Kalaupun ada
baru sampai kekecamatan di daerah yang masih dianggap terpencil. Masuklah
seorang guru dengan memperkenalkan dirinya, Odin. Orangnya kecil namun
trengginas, gesit, dan pantang menyerah. Waktu itu guru Odin masih muda. Saya
juga belum lahir. Guru Odin datang ke dukuh kami itu atas permintaan guru ngaji
di dukuh kami. Pada awalnya orang –
orang dukuh memandang sebelah mata atas kehadiran guru Odin. Tapi budi
pekertinya yang baik, sikapnya yang jujur. Segala bentuk tantangan
diselesaikannya dengan tenang dan damai. Akhirnya guru Odin merubah wajah dukuh
kami. Dukuh yang tadinya terkenal suka memasok gadis – gadis kekota, untuk dipekerjakan
sebagai pembantu rumah tangga. Dukuh yang tadinya banyak orang – orang
bergajulan, kini banyak yang jadi teladan, menghasilkan guru – guru terpuji.
Yang dalam bahasa sekarang, tampil menjadi manusia – manusia pembangunan !
Dukuh – dukuh sekitarnya pun berkat bantuan dan uluran tangan guru Odin,
akhirnya secara bersama – sama sepakat mengusulkan agar dijadikan satu desa dan
minta diadakan sekolah serta sarana ibadah yang baik. Masih berkat usaha guru
Odin. Akhirnya sekolah didirikan dan sarana ibadah sebagai pendampingnya.
Karena itu guru Odin dan guru ngaji kami yang biasa dipanggil Wak Udin
Solehudin. Mereka berdua menjadi suri tauladan. Mereka biasa dipanggil dua
serangkai. Perintis-perintis pemekaran pendidikan di Desa kami. Dan sekarang
mereka telah tiada. Lalu ketika saya lahir, kemudian mengenyam sekolah di
sekolah dasar. Guru Odin jadi kepala sekolahnya. Saya suka bangga kalau disuruh
membawa tas kulit hitamnya. Apalagi sekali-sekali saya suka dibonceng di
belakang sepedanya. Saya suka ikut-ikutan nembang bareng-bareng sama beliau.
Beliau suka nembang Dangdang gulo (NEMBANG) Nanging yen sira ngguguru kaki/
Amiliha manungsa kang nyata/ Ingkangna becik martabate/ Sarta kang wruh ing
hukum/ Kang ngibadah lan kang wirangi/ Sukur oleh wong tapa/ Ingkang wus
amungkul/ Tan mikir pawewehing ijan/ Iku
pantes sira guronnana kaki/ Saratane kawruhana. Artinya; Kalau tidak salah
tentu benar (TERTAWA). Jika kamu berguru/ Pilihlah manusia yang memiliki
persyaratan/ Yang baik martabatnya/ Dan tahu akan hukum/ Yang beribadah dan
tahu malu/ Syukur dapat orang yang suka bertapa/ Yang sudah tak memikirkan
apa-apa lagi/ Tidak memikirkan pemberian orang lain/ Itu pantas kau gurui/ Dan
juga perlu kau ketahui. Begitulah saudara-saudara. Maka ketika kawan-kawan
sepermainan saya memilih pergi ke kota mengadu nasib di sana, saya tetap
lanjutkan sekolah hingga bangku SMP, lalu masuk sekolah guru SPG. Terus terang,
berkat uluran tangan guru Odin, saya dapat jadi pegawai negeri. Jadi anggota
KORPRI. Dan dengan lantang penuh semangat selalu menyanyikan lagu Mars KORPRI:
Satukan irama langkahmu/ Bersatu tekad menuju ke depan/ Berjuang bahu membahu/
Memberikan tenaga tak segan/ Membangun negara yang jaya/ Membina bangsa besar
sejahtera/ Memakai akal dan daya/ Membimbing membangun mengemban/ Berdasar
pancasila dan undang-undang dasar 45/ Serta dipandukan oleh haluan negara kita
maju terus/ Dibawah panji korpri/ Kita mengabdi tanpa pamrih/ Dibawah naungan
Tuhan Yang Maha Kuasa/ Korpri… Nganjuk terus ! (PADA PENONTON) Salah ? Dimana
salahnya ? Syair akhir ? Memangnya saya nyanyi apa ? (TERTAWA) Maaf,
saudara-saudara. Ini Cuma guyon bagaimana kalau saya ralat; dibawah naungan
Tuhan Yang Maha Kuasa Korpri maju terus ! Seharusnya begitu kan ?
Ngomong-ngomong, saudara-saudara, rata-rata pegawai negeri seperti saya, atau
pegawai swasta, pelajar, mahasiswa, wiraswastawan, seniman, pokoe wong kabeh yo
kita semua tahu, harga sudah sampai ke desa. Desa sekarang bukan desa dulu.
Sekarang koran dan bahkan parabola sudah ada di tempat-tempat terpencil. Begitu
harga diumumkan disesuaikan di Ibukota. Sekejap sudah bergema di desa-desa.
Otomatis ! Artinya kita harus siap apapun yang terjadi. Ya, kita harus
menerimanya. Wong kita… apalagi saya, abdi negara. Abdi masyarakat
memementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi ataupun golongan
(MELIHAT ARLOJI). Wah ! Saudara-saudara pasti upacara tujuh belasan sudah
selesai sudah kelar ya ? Maaf, saya harus pergi. Walaupun siap ditegur oleh
kepala sekolah. Sepeda ini akan saya bawa. Sampai jumpa lagi saudara-saudara !
Sampaikan salam saya pada semua abdi negara dimanapun berada ! Sekali guru
tetap guru. Kita bangga jadi pahlawan tanpa tanda jasa monggo.! (LAGU HIMNE
GURU TERDENGAR PERLAHAN). Selesai.
0 komentar
Posting Komentar