Selasa, 13 Desember 2016

Naskah Drama Orkes Madun 1 Bagian 1

Karya Arifin C. Noer

Catatan:
Naskah ini diketik ulang dari buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation ISBN 979-541-119-5
Publikasi naskah ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan naskah drama dan sebagai bahan referensi pembelajaran bagi individu atau kelompok-kelompok teater yang membutuhkannya.
Disarankan bagi siapa saja yang memiliki cukup akses, agar membeli buku terkait. Itupun dalam upaya membantu pengarang dan keluarganya. Kekayaan hak intelektual naskah ini tetap ada pada pengarangnya.
                Dan dimohon bagi pengunduh naskah ini untuk tidak menghapus catatan ini, sebagai bukti pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang.

Terima kasih.
Lee Birkin

PENGANTAR
Ketika menulis naskah Madekur dan Tarkeni, Arifin pernah bilang bahwa naskahnya ini adalah bagian dari sebuah trilogy, yaitu Orkes Madun yang terdiri dari Madekur dan Tarkeni, Umang-umang dan Ozone. Selesai dengan Umang-umang, Arifin menulis lagi dengan judul Sandek; Pemuda Pekerja, yang semula dikiran teman-teman Teater Ketjil adalah naskah yang berdiri sendiri. Tetapi, menjelang latihan Sandek, Pemuda Pekerja yang bersamaan dengan penulisan naskahnya (Kebisaaan Arifin, latihan sambil menulis naskahnya) dia tulis pada sampul naskah judulnya sebagai Sandek, Pemuda Pekerja atawa Orkes Madun IIa, dan tidak pernah diubah. Selanjutnya dia menulis Ozone atawa Orkes MAdun IV. Lalu ia nyatakan bahwa Orkes Madun adalah sebuah pentalogi, dan bahwa yang kelima akan berjudul Magma ia bercerita kemana-mana tentang Magma. Juga kepada anak-anak sekolah Perancis di Jakarta, hingga beberapa dari mereka tergerak membuat komik Magma yang juga dimuat dalam kumpulan naskah ini. Tetapi, Arifin tak sempat sama sekali menulis Magma. Lalu orkes Madun III, ya, Sandek, Pemuda Pekerja itulah yang ketika rencananya trilogy, dia adalah IIb, tetapi ketika rencana berubah pentalogi, dia pun menjadi III. Namun tidak sempat Arifin mengubahnya, Arifin meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1995 karena Kanker dan Sirosis hati.

SATU
MEREKA SEMUA MENYANYIKAN LAGU KEBANGSAAN. SAYA TIDAK TAHU APAKAH MEREKA KHUSYUK TIDAK DALAM MENYANYIKANNYA.

DUA
BADUT PERTAMA
Tuhan, kedua belah tangan yang kotor ini adalah tangan bumi, dan tangan ini memohon ampun atas segala perbuatan yang tidak pernah jelas mengandung dosa atau kebajikan; kalimat-kalimatmu terlalu tinggi mutu sastranya, sehingga tidak terlalu jelas isi maksudnya. Karena itulah, kalau tangan ini merentang semata-mata lantaran kalimatMu. Dan apabila kelak ternyata tiada dosa atas perbuatan kami padahal kami telah terlanjur memohon ampun, maka limpahkanlah kami apa saja yang bernama berkah, entah pangan ujudnya maupun angan-angan. Sebentar, Tuhan.

Para penonton yang bahagia maupun yang tidak, terlebih dahulu sebelum ada kesalahpahaman perlu saya jelaskan  bahwa ini sandiwara sungguh-sungguh sandiwara, dan ini sandiwara menyangkut masalah pencopet dan pelacur dan segala tetek bengek persoalan-persoalan lain yang terseret tidak disengaja dan tidak dinyana. Dan sebagai lumrahnya ini sandiwara sekedar permainan, namun sedikit banyak mengandung kesungguhan dan kesungguh-sungguhan, bak kehidupan itu sendiri laiknya.

Dipandang dari segala sudut sandiwara, ini dijamin baik mutunya dan pasti disenangi oleh segala lapisan masyarakat, tua maupun muda, baik pencopet maupun pelacur, baik dokter hewan maupun dokter lainnya, baik komunis maupun muslim. Dan kenapa ini sandiwara pasti akan disenangi, sebab ini sandiwara dan sandiwara merupakan hiburan buat hati yang lara. Sebentar penonton. Siapa berhati lara?

BADUT KEDUA
Saya

BADUT KETIGA
Saya!

BADUT KEEMPAT
Saya!!

BADUT KELIMA
Saya!!!

KEMUDIAN BEBERAPA ORANG LAIN, DIANTARANYA SEORANG LELAKI BUNTUNG, KEDUA TANGANNYA MAKSUD SAYA, JUGA ADA SEORANG PEREMPUAN BUTA, JUGA ADA… PENDEKNYA ADA BEBERAPA ORANG YANG CACAT BADAN MAUPUN JIWA. MEREKA SEMUANYA SALING ATAS MENGATAS DALAM MENGATAKAN SAYA. SEHINGGA PENTAS JADI SANGAT RIUH, KACAU DAN BISING. SEMENTARA ITU BADUT PERTAMA YANG KEMUDIAN NANTI AKAN JELAS BAHWA IA BERNAMA SEMAR DAN USIANYA DUA RIBU EMPAT RATUS TAHUN.  SETENGAH MATI BERUSAHA MEREDAKAN KEKACAUAN ITU. MULA-MULA IA BERSIKAP SEPERTI SEORANG KHOTIB YANG MENCOBA MENENANGKAN HADIRINNYA, TAPI GAGAL. KEMUDIAN IA KELIHATAN AGAK PUTUS ASA. IA MEMERAS KERINGAT DAN MONDAR-MANDIR DIANTARA KEKACAUAN INI, TIBA-TIBA IA MENEMUKAN AKAL DAN TEPAT PADA SAAT ITU SESEORANG MEMBERIKAN KEPADANYA SEHELAI KARTON BEKAS. SAMBIL MEMBAWA KARTON ITU IA KEMBALI KE ATAS MIMBARNYA, DENGAN KEYAKINAN YANG PASTI, DAN SAMBIL MEMPERHATIKAN ORANG-ORANG DISEKITARNYA YANG SEMAKIN KACAU IA MENGGULUNG KARTON TADI YANG AKAN IA GUNAKAN SEBAGAI MEGAPON

BADUT PERTAMA (dengan megapon)
Polisi! Polisi! Polisi!

(SEKETIKA PENTAS JADI SENYAP, SEMUA ORANG TUTUP MULUT. DAN SEKETIKA PENTAS KEMBALI SEPERTI SEBUAH UPACARA KEAGAMAAN, SEPERTI SEBELUMNYA. DAN DENGAN AMAN DAN GAYA KETUA-TUAAN, BADUT PERTAMA MEMPERINGATKAN SEMUA ORANG DENGAN ISYARAT JARI PADA MULUTNYA. SEMENTARA SESEKALI MATANYA MELIHAT KE ATAS. DAN SEMUA ORANG MELIHAT KE ATAS DAN MENGERTI DAN SALING MEMPERINGATKAN DENGAN CARA YANG SAMA. SEMUANYA KEMUDIAN MENGANGGUK-ANGGUK MENGERTI).

BADUT PERTAMA
Resapkan resep-resep Tuhan, niscaya kesembuhan selalu kita dapatkan. Dan tenang, tertib. Dalam mengajukan permohonan, pengaduan dan lain-lain sebagainya tidak perlu berebutan seperti rakyat Indonesia pada seperempat abad usia kemerdekaannya. Tertib, tenang, aman. Nah, sekarang silakan mengacungkan tangan siapa-siapa saja berhati lara.

SERENTAK SEMUANYA MENGACUNGKAN TANGAN, KECUALI YANG BUNTUNG TADI TENTU DAN SEORANG PEREMPUAN YANG TULI DAN BISU (BARU KEMUDIAN TIRU-TIRU). SI BUNTUNG TAMPAK BETAPA IA MENDERITA LANTARAN TIDAK MAMPU MENYATAKAN IHWAL DERITANYA. KELIHATAN IA MAU PROTES, TAPI KETIKA INGAT AKAN ‘LANGIT ITU’ IA KEMUDIAN HANYA LANGAK-LONGOK GERAK SETENGAH MENANGIS , SEMENTARA SI BISU SESEKALI MEMPERHATIKAN TERSENYUM (SEBELUMNYA IA JUGA MENDERITA KETIKA ORANG-ORANG MENERIAKKAN SUARANYA) AKHIRNYA SI BUNTUNG NGGAK TAHAN DAN BICARALAH HATI-HATI KEPADA ORANG DI DEKATNYA

SI BUNTUNG
Saya lara

ORANG YANG DI DEKATNYA CUMA MENGISYARATKAN AGAR MENGACUNGKAN TANGAN. DAN SI BUNTUNG  MENGGELENGKAN KEPALA. LALU ORANG ITU TIDAK MAU AMBIL PEDULI DAN KEMBALI MEMBANGGAKAN ACUNGAN TANGANNYA

SI BUNTUNG (berteriak)
Saya lara! Saya lara!

(SEMUA ORANG MENGHUS DAN IA SETENGAH MENANGIS BERTERIAK TANPA SUARA ‘SAYA LARA’)

BADUT PERTAMA
Acungkan tangan saja, gampang dan tertib.

SI BUNTUNG (Hati-hati dan lembut sekali. Tertahan)
Saya tidak bisa.

BADUT PERTAMA
Ya, bodohnya.

SI BUNTUNG
Saya bunting

BADUT PERTAMA
Yang kanan?

SI BUNTUNG
Dua-duanya

BADUT PERTAMA
Apa sebab demikian lengkap? Kecelakaan?

SI BUNTUNG
Kecelakaan alam

SEMUA ORANG MEMBELALAKAN MATANYA KARENA HERAN KEPADA LELAKI ITU

SI BUNTUNG
Ketika lahir saya sudah begini. Pernah dan keinginan untuk menanyakan hal brengsek ini kepada orang tua saya, tapi keinginan itu hanya tinggal keinginan sebab sampai sekarang saya tidak tahu siapa orang tua saya. Tapi seseorang kemudian saya temui yang ternyata Ibu saya. Ibu saya bilang “nggak tahu ya, tahu-tahu begitu”

BADUT PERTAMA
Bagaimana dengan kaki?

SI BUNTUNG
Alhamdulillah, lengkap.

BADUT PERTAMA (Memberi isyarat dengan mengangkat megapon dan seketika semua diam, lalu ia bicara bisa)
Tetap tenang dan tertib. Sekarang acungkan tangan setinggi-tingginya bagi kalian yang berhati paling lara – biar Tuhan tahu.

SERENTAK MEREKA MENGACUNGKAN TANGAN SETINGGI-TINGGINYA, DAN SEPERTI BISAA KEMUDIAN MEREKA SALNG ATAS MENGATASI. SEMENTARA ITU SI BUNTUNG TADI MENANGIS SEPI SENDIRIAN. ADA SEKALI IA MENCOBA DENGAN MELONJAK-LONJAKKAN BADANNYA, MELOMPAT-LOMPAT TAPI KEMUDIAN PUTUS ASA DAN SEMENTARA DENGAN SIKAP LUMAYAN SESEORANG YANG BERTUBUH PENDEK KUNTET MEMPERHATIKANNYA

BADUT PERTAMA

Jangan berlebihan, Tuhan tidak akan senang. (Dan semua orang pun mewajar-wajarkan dirinya) Sekarang turunkan tangan serendah-rendahnya, siapa yang berhati terlara!? (serentak semuanya menurunkan tangan dan sebisa-bisanya menyembunyikannya) Nah, sekarang kau bisa, Buntung. Ternyata kau yang terlara.

SEKETIKA SI BUNTUNG MENYADARI HAL ITU DAN LALU MELONJAK-LONJAK KEGIRANGAN KAYAK ANAK KECIL SEMENTARA YANG LAINNYA MENCIBIR

SESEORANG

Demonstratif!

SESEORANG

Sok!

SESEORANG

Kolokan!

SESEORANG

Emangnya elu raja sengsara? Gua jadi penasaran!

DAN SEGERA PENTAS PUN KEMBALI BISING

BADUT PERTAMA

Tenang, tenaaaaaaang! Ingat ada apa di atas!! (Serentak bunyi kembali mengunci mulut mereka, hening pun terjelma) Sekarang, suarakan apa saja yang menurut hati kalian masing-masing bermakna  keluh dan pengaduan, atau kalau tidak, bagi yang tidak bisa melakukannya lebih baik segera membeli karcis dan duduk sebagai penonton.

KEMUDIAN SEMUANYA MEMPERDENGARKAN SUARANYA YANG MENURUT MASING-MASING ADALAH BAHASA KELUH DAN PENGADUAN. KALI INI SUDAH TENTU MERUPAKAN PUKULAN BUAT SI BISU. SETENGAH MENANGIS, IA BERLARI-LARI DI ANTARA GEROMBOLAN JEMAAH ITU, KEMUDIAN BERHENTI MEMPERHATIKAN SEKITAR SAMBIL MEMUKUL-MUKUL MULUTNYA SENDIRI. TIBA-TIBA IA SADAR BAHWA (SETELAH MEMPERHATIKAN DENGAN CERMAT ORANG DI DEKATNYA) YANG DIPERLUKAN HANYA SUARA, MAKA IA PUN MELONJAK-LONJAK KETAWA. TENTU SAJA YANG LAIN-LAIN, SAMBIL TERUS BERSUARA, JADI MERASA HERAN ATAS TINGKAHNYA. DAN MENYADARI AKAN SOROTAN PERHATIAN INI LALU SI BISU MENGAUM KAYAKNYA ANGJING SAKIT KELAPARAN. DAN SEBAGAI KLIMAKS DI ANTARA MEREKA YANG MENGHENTAK-HENTAKKAN KAKINYA ATAU MEMBUAT GADUH YANG LAIN

BADUT PERTAMA

Kau saksikan sendiri, Tuhan saya tidak mempengaruhi sedikit pun mereka dalam demonstrasi dan pengaduan ini. Mereka berkumpul di sini karena di sini bisaa mereka berkumpul, maklum ini pasar. Mereka mengacungkan tangan mereka karena mereka ingin mengacungkannya. Dan sesuai dengan anjuranMu dalam semua buku-buku karanganMu, saya bersama-sama mereka setiap kali datang menghadap kepadaMu mengadu sambil mengadu untung kalau-kalau kejatuhan reze…rezekiMu. Kau sendiri yang memanggil kami, dan kami memenuhi panggilanMu.

Kalau sekarang mereka telah menurunkan tangan mereka, itu pun saya yakin, lantaran kemauan mereka sendiri. Selama ini saya hanya sekedar bertanya. Coba (kepada seseorang) kenapa kamu menurunkan tangan?

BADUT KEDUA

Karena saya capek.

BADUT PERTAMA

Kau dengar sendiri, Tuhan. Apa katanya. Capek. Coba lagi (kepada semua) siapa yang merasa capek, acungkan tangan!

SERENTAK SEMUA MENGACUNGKAN TANGAN, KECUALI SI BUNTUNG TENTU

Lihat, semuanya kecapekan. Capek dalam arti yang luas sekali. Kau tentunya lebih tahu sebagai generasi. Dan kalau mereka terlalu capek bukan tidak mungkin mereka lalu melakukan hal yang bukan-bukan., maklum orang capek. Kau tentu lebih tahu sebagai spesialis. Dan kalau demikian halnya, maksud saya kalau sampai terjadi semacam huru-hara, baik taraf perorangan maupun taraf gerombolan, jelasnya taraf taraf masyarakat, siapakah yang salah?

SEMUA
kami? Enak saja. Orang sudah capek dimarahin.

BADUT PERTAMA

Atau kau? Jelas saya tidak akan seceroboh itu dan sebodoh itu menyalahkan kau. Seperti sejarah pun tidak pernah membela kami. Saya sendiri yakin dan menginsyafi ini bukan lagi persoalan salah menyalahkan antara kita, sebab kalau demikian kita tidak akan pernah punya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang lain. Sudah pasti dan sudah jelas Kau tidak salah – setidak-tidaknya tidak mau disalahkan – dan mereka, maksud saya Kami pun tidak mau disalahkan; kalau pun sesekali ada di antara kami yang mau bilang bersalah, saya percaya tak lebih banyak basa-basi semata.

SEMUA (Menggumam)
Hhhh, capek…..

BADUT PERTAMA

Kedudukan ini adalah kedudukan yang paling sulit tapi paling tepat dan adil dan paling masuk akal (rasional), sekali pun kedudukan ini tetapi tidak pernah menguntungkan antara kita sebab kita sama-sama saling tidak pernah, sama-sama bernafsu untuk menetapkan siapa diantara kita yang benar dan yang salah, atau…. Kau tidak ada.

SEMUA(Marah)
Capek!

BADUT PERTAMA

Istirahat dong, kan gampang! Turunkan tangan, lemaskan otot-otot sambil….

0 komentar

Posting Komentar