Karya Arifin C. Noer
Catatan:
Naskah ini
diketik ulang dari buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh
Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford
Foundation ISBN 979-541-119-5
Publikasi
naskah ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan naskah drama dan sebagai bahan
referensi pembelajaran bagi individu atau kelompok-kelompok teater yang
membutuhkannya.
Disarankan
bagi siapa saja yang memiliki cukup akses, agar membeli buku terkait. Itupun
dalam upaya membantu pengarang dan keluarganya. Kekayaan hak intelektual naskah
ini tetap ada pada pengarangnya.
Dan dimohon
bagi pengunduh naskah ini untuk tidak menghapus catatan ini, sebagai bukti
pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang.
Terima kasih.
Lee Birkin
PENGANTAR
Ketika menulis naskah Madekur dan
Tarkeni, Arifin pernah bilang bahwa naskahnya ini adalah bagian dari sebuah
trilogy, yaitu Orkes Madun yang terdiri dari Madekur dan Tarkeni, Umang-umang
dan Ozone. Selesai dengan Umang-umang, Arifin menulis lagi dengan judul Sandek;
Pemuda Pekerja, yang semula dikiran teman-teman Teater Ketjil adalah naskah
yang berdiri sendiri. Tetapi, menjelang latihan Sandek, Pemuda Pekerja yang bersamaan
dengan penulisan naskahnya (Kebisaaan Arifin, latihan sambil menulis naskahnya)
dia tulis pada sampul naskah judulnya sebagai Sandek, Pemuda Pekerja atawa
Orkes Madun IIa, dan tidak pernah diubah. Selanjutnya dia menulis Ozone atawa
Orkes MAdun IV. Lalu ia nyatakan bahwa Orkes Madun adalah sebuah pentalogi, dan
bahwa yang kelima akan berjudul Magma ia bercerita kemana-mana tentang Magma.
Juga kepada anak-anak sekolah Perancis di Jakarta, hingga beberapa dari mereka
tergerak membuat komik Magma yang juga dimuat dalam kumpulan naskah ini.
Tetapi, Arifin tak sempat sama sekali menulis Magma. Lalu orkes Madun III, ya,
Sandek, Pemuda Pekerja itulah yang ketika rencananya trilogy, dia adalah IIb,
tetapi ketika rencana berubah pentalogi, dia pun menjadi III. Namun tidak
sempat Arifin mengubahnya, Arifin meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1995
karena Kanker dan Sirosis hati.
SATU
MEREKA SEMUA MENYANYIKAN LAGU
KEBANGSAAN. SAYA TIDAK TAHU APAKAH MEREKA KHUSYUK TIDAK DALAM MENYANYIKANNYA.
DUA
BADUT PERTAMA
Tuhan, kedua belah tangan yang
kotor ini adalah tangan bumi, dan tangan ini memohon ampun atas segala
perbuatan yang tidak pernah jelas mengandung dosa atau kebajikan;
kalimat-kalimatmu terlalu tinggi mutu sastranya, sehingga tidak terlalu jelas
isi maksudnya. Karena itulah, kalau tangan ini merentang semata-mata lantaran
kalimatMu. Dan apabila kelak ternyata tiada dosa atas perbuatan kami padahal
kami telah terlanjur memohon ampun, maka limpahkanlah kami apa saja yang
bernama berkah, entah pangan ujudnya maupun angan-angan. Sebentar, Tuhan.
Para penonton yang bahagia maupun
yang tidak, terlebih dahulu sebelum ada kesalahpahaman perlu saya jelaskan bahwa ini sandiwara sungguh-sungguh
sandiwara, dan ini sandiwara menyangkut masalah pencopet dan pelacur dan segala
tetek bengek persoalan-persoalan lain yang terseret tidak disengaja dan tidak
dinyana. Dan sebagai lumrahnya ini sandiwara sekedar permainan, namun sedikit
banyak mengandung kesungguhan dan kesungguh-sungguhan, bak kehidupan itu
sendiri laiknya.
Dipandang dari segala sudut
sandiwara, ini dijamin baik mutunya dan pasti disenangi oleh segala lapisan
masyarakat, tua maupun muda, baik pencopet maupun pelacur, baik dokter hewan
maupun dokter lainnya, baik komunis maupun muslim. Dan kenapa ini sandiwara
pasti akan disenangi, sebab ini sandiwara dan sandiwara merupakan hiburan buat
hati yang lara. Sebentar penonton. Siapa berhati lara?
BADUT KEDUA
Saya
BADUT KETIGA
Saya!
BADUT KEEMPAT
Saya!!
BADUT KELIMA
Saya!!!
KEMUDIAN BEBERAPA ORANG LAIN, DIANTARANYA
SEORANG LELAKI BUNTUNG, KEDUA TANGANNYA MAKSUD SAYA, JUGA ADA SEORANG PEREMPUAN
BUTA, JUGA ADA… PENDEKNYA ADA BEBERAPA ORANG YANG CACAT BADAN MAUPUN JIWA.
MEREKA SEMUANYA SALING ATAS MENGATAS DALAM MENGATAKAN SAYA. SEHINGGA PENTAS
JADI SANGAT RIUH, KACAU DAN BISING. SEMENTARA ITU BADUT PERTAMA YANG KEMUDIAN
NANTI AKAN JELAS BAHWA IA BERNAMA SEMAR DAN USIANYA DUA RIBU EMPAT RATUS
TAHUN. SETENGAH MATI BERUSAHA MEREDAKAN
KEKACAUAN ITU. MULA-MULA IA BERSIKAP SEPERTI SEORANG KHOTIB YANG MENCOBA
MENENANGKAN HADIRINNYA, TAPI GAGAL. KEMUDIAN IA KELIHATAN AGAK PUTUS ASA. IA
MEMERAS KERINGAT DAN MONDAR-MANDIR DIANTARA KEKACAUAN INI, TIBA-TIBA IA
MENEMUKAN AKAL DAN TEPAT PADA SAAT ITU SESEORANG MEMBERIKAN KEPADANYA SEHELAI
KARTON BEKAS. SAMBIL MEMBAWA KARTON ITU IA KEMBALI KE ATAS MIMBARNYA, DENGAN
KEYAKINAN YANG PASTI, DAN SAMBIL MEMPERHATIKAN ORANG-ORANG DISEKITARNYA YANG
SEMAKIN KACAU IA MENGGULUNG KARTON TADI YANG AKAN IA GUNAKAN SEBAGAI MEGAPON
BADUT PERTAMA (dengan megapon)
Polisi! Polisi! Polisi!
(SEKETIKA PENTAS JADI SENYAP,
SEMUA ORANG TUTUP MULUT. DAN SEKETIKA PENTAS KEMBALI SEPERTI SEBUAH UPACARA
KEAGAMAAN, SEPERTI SEBELUMNYA. DAN DENGAN AMAN DAN GAYA KETUA-TUAAN, BADUT
PERTAMA MEMPERINGATKAN SEMUA ORANG DENGAN ISYARAT JARI PADA MULUTNYA. SEMENTARA
SESEKALI MATANYA MELIHAT KE ATAS. DAN SEMUA ORANG MELIHAT KE ATAS DAN MENGERTI
DAN SALING MEMPERINGATKAN DENGAN CARA YANG SAMA. SEMUANYA KEMUDIAN
MENGANGGUK-ANGGUK MENGERTI).
BADUT PERTAMA
Resapkan resep-resep Tuhan,
niscaya kesembuhan selalu kita dapatkan. Dan tenang, tertib. Dalam mengajukan
permohonan, pengaduan dan lain-lain sebagainya tidak perlu berebutan seperti
rakyat Indonesia pada seperempat abad usia kemerdekaannya. Tertib, tenang,
aman. Nah, sekarang silakan mengacungkan tangan siapa-siapa saja berhati lara.
SERENTAK SEMUANYA MENGACUNGKAN
TANGAN, KECUALI YANG BUNTUNG TADI TENTU DAN SEORANG PEREMPUAN YANG TULI DAN
BISU (BARU KEMUDIAN TIRU-TIRU). SI BUNTUNG TAMPAK BETAPA IA MENDERITA LANTARAN
TIDAK MAMPU MENYATAKAN IHWAL DERITANYA. KELIHATAN IA MAU PROTES, TAPI KETIKA
INGAT AKAN ‘LANGIT ITU’ IA KEMUDIAN HANYA LANGAK-LONGOK GERAK SETENGAH MENANGIS
, SEMENTARA SI BISU SESEKALI MEMPERHATIKAN TERSENYUM (SEBELUMNYA IA JUGA
MENDERITA KETIKA ORANG-ORANG MENERIAKKAN SUARANYA) AKHIRNYA SI BUNTUNG NGGAK
TAHAN DAN BICARALAH HATI-HATI KEPADA ORANG DI DEKATNYA
SI BUNTUNG
Saya lara
ORANG YANG DI DEKATNYA CUMA
MENGISYARATKAN AGAR MENGACUNGKAN TANGAN. DAN SI BUNTUNG MENGGELENGKAN KEPALA. LALU ORANG ITU TIDAK
MAU AMBIL PEDULI DAN KEMBALI MEMBANGGAKAN ACUNGAN TANGANNYA
SI BUNTUNG (berteriak)
Saya lara! Saya lara!
(SEMUA ORANG MENGHUS DAN IA
SETENGAH MENANGIS BERTERIAK TANPA SUARA ‘SAYA LARA’)
BADUT PERTAMA
Acungkan tangan saja, gampang dan
tertib.
SI BUNTUNG (Hati-hati dan lembut sekali. Tertahan)
Saya tidak bisa.
BADUT PERTAMA
Ya, bodohnya.
SI BUNTUNG
Saya bunting
BADUT PERTAMA
Yang kanan?
SI BUNTUNG
Dua-duanya
BADUT PERTAMA
Apa sebab demikian lengkap?
Kecelakaan?
SI BUNTUNG
Kecelakaan alam
SEMUA ORANG MEMBELALAKAN MATANYA
KARENA HERAN KEPADA LELAKI ITU
SI BUNTUNG
Ketika lahir saya sudah begini.
Pernah dan keinginan untuk menanyakan hal brengsek ini kepada orang tua saya,
tapi keinginan itu hanya tinggal keinginan sebab sampai sekarang saya tidak
tahu siapa orang tua saya. Tapi seseorang kemudian saya temui yang ternyata Ibu
saya. Ibu saya bilang “nggak tahu ya, tahu-tahu begitu”
BADUT PERTAMA
Bagaimana dengan kaki?
SI BUNTUNG
Alhamdulillah, lengkap.
BADUT PERTAMA (Memberi isyarat dengan mengangkat megapon dan seketika semua
diam, lalu ia bicara bisa)
Tetap tenang dan tertib. Sekarang
acungkan tangan setinggi-tingginya bagi kalian yang berhati paling lara – biar
Tuhan tahu.
SERENTAK MEREKA MENGACUNGKAN
TANGAN SETINGGI-TINGGINYA, DAN SEPERTI BISAA KEMUDIAN MEREKA SALNG ATAS MENGATASI.
SEMENTARA ITU SI BUNTUNG TADI MENANGIS SEPI SENDIRIAN. ADA SEKALI IA MENCOBA
DENGAN MELONJAK-LONJAKKAN BADANNYA, MELOMPAT-LOMPAT TAPI KEMUDIAN PUTUS ASA DAN
SEMENTARA DENGAN SIKAP LUMAYAN SESEORANG YANG BERTUBUH PENDEK KUNTET
MEMPERHATIKANNYA
BADUT
PERTAMA
Jangan berlebihan, Tuhan tidak
akan senang. (Dan semua orang pun mewajar-wajarkan dirinya) Sekarang
turunkan tangan serendah-rendahnya, siapa yang berhati terlara!? (serentak
semuanya menurunkan tangan dan sebisa-bisanya menyembunyikannya) Nah, sekarang
kau bisa, Buntung. Ternyata kau yang terlara.
SEKETIKA SI BUNTUNG MENYADARI HAL
ITU DAN LALU MELONJAK-LONJAK KEGIRANGAN KAYAK ANAK KECIL SEMENTARA YANG LAINNYA
MENCIBIR
SESEORANG
Demonstratif!
SESEORANG
Sok!
SESEORANG
Kolokan!
SESEORANG
Emangnya elu raja sengsara? Gua
jadi penasaran!
DAN SEGERA PENTAS PUN KEMBALI
BISING
BADUT
PERTAMA
Tenang, tenaaaaaaang! Ingat ada
apa di atas!! (Serentak bunyi kembali mengunci mulut mereka, hening pun
terjelma) Sekarang, suarakan apa saja yang menurut hati kalian
masing-masing bermakna keluh dan
pengaduan, atau kalau tidak, bagi yang tidak bisa melakukannya lebih baik
segera membeli karcis dan duduk sebagai penonton.
KEMUDIAN SEMUANYA MEMPERDENGARKAN
SUARANYA YANG MENURUT MASING-MASING ADALAH BAHASA KELUH DAN PENGADUAN. KALI INI
SUDAH TENTU MERUPAKAN PUKULAN BUAT SI BISU. SETENGAH MENANGIS, IA BERLARI-LARI
DI ANTARA GEROMBOLAN JEMAAH ITU, KEMUDIAN BERHENTI MEMPERHATIKAN SEKITAR SAMBIL
MEMUKUL-MUKUL MULUTNYA SENDIRI. TIBA-TIBA IA SADAR BAHWA (SETELAH MEMPERHATIKAN
DENGAN CERMAT ORANG DI DEKATNYA) YANG DIPERLUKAN HANYA SUARA, MAKA IA PUN
MELONJAK-LONJAK KETAWA. TENTU SAJA YANG LAIN-LAIN, SAMBIL TERUS BERSUARA, JADI
MERASA HERAN ATAS TINGKAHNYA. DAN MENYADARI AKAN SOROTAN PERHATIAN INI LALU SI
BISU MENGAUM KAYAKNYA ANGJING SAKIT KELAPARAN. DAN SEBAGAI KLIMAKS DI ANTARA
MEREKA YANG MENGHENTAK-HENTAKKAN KAKINYA ATAU MEMBUAT GADUH YANG LAIN
BADUT
PERTAMA
Kau saksikan sendiri, Tuhan saya
tidak mempengaruhi sedikit pun mereka dalam demonstrasi dan pengaduan ini.
Mereka berkumpul di sini karena di sini bisaa mereka berkumpul, maklum ini
pasar. Mereka mengacungkan tangan mereka karena mereka ingin mengacungkannya.
Dan sesuai dengan anjuranMu dalam semua buku-buku karanganMu, saya bersama-sama
mereka setiap kali datang menghadap kepadaMu mengadu sambil mengadu untung
kalau-kalau kejatuhan reze…rezekiMu. Kau sendiri yang memanggil kami, dan kami
memenuhi panggilanMu.
Kalau sekarang mereka telah
menurunkan tangan mereka, itu pun saya yakin, lantaran kemauan mereka sendiri.
Selama ini saya hanya sekedar bertanya. Coba (kepada seseorang) kenapa
kamu menurunkan tangan?
BADUT
KEDUA
Karena saya capek.
BADUT
PERTAMA
Kau dengar sendiri, Tuhan. Apa
katanya. Capek. Coba lagi (kepada semua) siapa yang merasa capek, acungkan
tangan!
SERENTAK SEMUA MENGACUNGKAN
TANGAN, KECUALI SI BUNTUNG TENTU
Lihat, semuanya kecapekan. Capek
dalam arti yang luas sekali. Kau tentunya lebih tahu sebagai generasi. Dan
kalau mereka terlalu capek bukan tidak mungkin mereka lalu melakukan hal yang
bukan-bukan., maklum orang capek. Kau tentu lebih tahu sebagai spesialis. Dan
kalau demikian halnya, maksud saya kalau sampai terjadi semacam huru-hara, baik
taraf perorangan maupun taraf gerombolan, jelasnya taraf taraf masyarakat,
siapakah yang salah?
SEMUA
kami? Enak saja. Orang sudah capek dimarahin.
kami? Enak saja. Orang sudah capek dimarahin.
BADUT
PERTAMA
Atau kau? Jelas saya tidak akan
seceroboh itu dan sebodoh itu menyalahkan kau. Seperti sejarah pun tidak pernah
membela kami. Saya sendiri yakin dan menginsyafi ini bukan lagi persoalan salah
menyalahkan antara kita, sebab kalau demikian kita tidak akan pernah punya
waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang lain. Sudah pasti dan sudah jelas Kau
tidak salah – setidak-tidaknya tidak mau disalahkan – dan mereka, maksud saya
Kami pun tidak mau disalahkan; kalau pun sesekali ada di antara kami yang mau
bilang bersalah, saya percaya tak lebih banyak basa-basi semata.
SEMUA (Menggumam)
Hhhh, capek…..
BADUT
PERTAMA
Kedudukan ini adalah kedudukan
yang paling sulit tapi paling tepat dan adil dan paling masuk akal (rasional),
sekali pun kedudukan ini tetapi tidak pernah menguntungkan antara kita sebab
kita sama-sama saling tidak pernah, sama-sama bernafsu untuk menetapkan siapa
diantara kita yang benar dan yang salah, atau…. Kau tidak ada.
SEMUA(Marah)
Capek!
Capek!
BADUT
PERTAMA
Istirahat dong, kan gampang!
Turunkan tangan, lemaskan otot-otot sambil….
0 komentar
Posting Komentar