BOROK
Lalu suara radion itu? apakah suara
itu hanya rekaman dan ada seseorang di sekitar sini yang menghidupkannnya
kembali?
RANGGONG
Ya, jangan-jangan ada seseorang atau
sesuatu mahluk di sekitar sini yang menyimpan suara-suara itu.
(Semakin
heran mereka ketika suara-suara itu melenyap diterbangkan sesuatu entah kemana)
BOROK
Hilang
RANGGONG
Hilang. Tanpa sisa sama sekali.
BOROK
Bahkan desispun tak ia tinggalkan
RANGGONG
Tak ada riak. Tak ada gelombang.
BOROK
Modar! Otak saya mulai bekerja
RANGGONG
Saya mulai mengerti, tapi belum paham
benar.
WASKA
Rupanya yang namanya suara atau bunyi
tidak pernah hilang. Sekali ia dilontarkan ia akan terus mengelana kemana-mana.
Alam tetap menyimpannya.
(Sambil
menjelaskan hal itu, Waska dengan tenang membuka helmnya sehingga suaranya
tenti saja akan berubah akibatnya. Kedua sahabatnya hanya melohok saja)
WASKA
Pada kondisi tertentu, alam akan
menghadirkan kembali suara-suara yang disimpannya. Saya sendiri baru sekarang
menyaksikan bukti atas teori ini. Ajaib sekali. Ternyata pengetahuan kita
memang masih sangat terbatas mengenai banyak hal. Baru saya sadari sekarang
bahwa sunggu-sungguh kita tidak pernah sampai kepada pengetahuan yang lengkap
alias kebenaran. Kita hanya selalu sampai pada sisi-sisi kebenaran. Tapi, kita
memang sok jagoan di bumi. Dan kalau kita terperangkap dalam kenyataan seperti
sekarang ini, baru kita sadari bahwa kita sungguh bodoh.
RANGGONG
Tapi bagaimana dengan suara itu,
Waska?
BOROK
Saya belum paham betul.
WASKA
Dulu juga saya tidak dapat memahami.
Bahkan tidak mau menerima teori ini. Pernah, saya kira sekitar menjelang abad
20 akan berakhir, saya bertemu dengan seorang kiayi di suatu desa di kaki
gunung Ciremai. Masih muda orangnya. Dari dua puluh empat jam sehari ia hanya
menyisakan waktu tiga jam untuk tidur dan tiga jam untuk bertani. Jam-jam
selebihnya ia isi dengan sembahyang dan dzikir dan dzikir.
(Tanpa
sadar, saking tertarik akan cerita Waska. Ranggong dan Borok menanggalkan helm
mereka masing-masing)
RANGGONG
Dzikir dan dzikir
BOROK
Dzikir dan dzikir
WASKA
‘laa ilahaa illallah..’ begitulah ia
isi setiap helaan napasnya. Saya anggap perbuatan gila macam apa itu? tapi
kalian tahu saya selalu respek kepada orang-orang yang berkeyakinan dan
berpendirian. Jadi saya pun dengan sopan bertanya kepada kyai itu, kenapa dan
untuk apa ia berbuat seperti itu?
BOROK
Untuk apa?
RANGGONG
Apa jawabnya?
BOROK
Kayak main jailangkung?
WASKA
Tidak tepat begitu tapi serupa itu.
cobalah. Nah, saya mulai mendengar sebur bunyi ombak. Saya harap ombak itu di
pantai Cirebon.
BOROK
Ya, ombak.
RANGGONG
Saya juga mendengarnya. Juga deru
angin.
BOROK
Sekarang saya dengar gemerisik
daun-daun bamboo kering diinjak kaki entah siapa.
RANGGONG
Kambing-kambing mengembik. Suara
kerbau.
BOROK
Suara jangkrik dan cacing
(Suara dan bunyi itu memang kemudian perlahan hadir di sekitar
mereka. Takjub mereka. Lalu gemuruh dzikir yang bagai koor alam yang berisi
magis. Semua itu tidak terlalu lama. Lalu lenyap. Tapi ketika Borok mau angkat
bicara)
SUARA KYAI (Biasa saja)
Saya ini orang bodoh. Karena itu saya
percaya bahwa yang namanya suara itu tidak akan pernah hilang. Bahkan apa saja
yang di ala mini tidak pernah hilang atau kurang. Karena itu saya dzikir.
Artinya dzikr saya juga tidak akan pernah hilang. Kalau kata orang pintar, alam
kita sekarang sudah terkena banyak polusi. Di sekitar kita ini sudah terlalu
penuh dengan suara-suara dan bunyi-bunyi kotor, kata-kata kotor dan lain
sebagainya. Jadi mudah-mudahan dzikir saya akan mengimbangi suara-suara kotor
itu.
BOROK
Menyesal sekali. Saya justru
sebaliknya dari kyai itu. dari dua puluh empat jam, dua puluh jam saya gunakan
untuk memaki.
RANGGONG
Saya tidak pernah separah kamu tapi
tidak sedikit kata-kata saya yang kotor saya lontarkan setiap hari ketika saya
masih hidup. Apalagi kalau saya sedang marah.
BOROK
Lebih-lebih kalau saya sedang ngibing
di kompleks perempuan….gituan. kotor lagi kata-kata saya!
RANGGONG
Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian
tiada berguna.
BOROK
Menyesal sekalis aya. Kalau saya saya
tahu mengenai teori suara dari kyai itu, tentu saya akan menjaga mulut saya.
Modar! Waduh, kotor lagi mulut saya. Oh, ketika saya masih hidup….
RANGGONG
Jangan mulai ngaco lagi, Waska.
Biarpun kamu dulu bos di dunia, di sini kamu harap membatasi diri. Boleh saja
kamu petantang-petengteng tapi jangan mulai menggoyahkan keyakinan saya dakan
kondisi mati saya.
BOROK
Tolong jangan bangunkan saya dari
nikmat mati ini.
RANGGONG
Saya memang merasa kasihan melihat
kamu yang rupanya masih juga dalam keadaan shock tapi….
BOROK
Tapi saya nggak sabar. Nggak sabar
dengan sikap kamu yang lembek ini, Waska. Tegarlah kamu, insyaflah. Sadarilah.
Kamu ini sudah mati.
WASKA
Saya masih hidup seperti halnya
kalian.
BOROK
Maaf Waska. Saya tidak bisa lagi
ketawa seperti tadi menghadapi kamu.
RANGGONG
Saya terus terang mulai merasa
jengkel. Saya kuatir, lama-lama saya juga mulai goyah oleh sikap bimbang kamu.
Lama-lama saya bisa jadi tidak yakin bahwa saya sudah mati.
WASKA
Kamu tidak perlu yakin. Kamu emmang
masih hidup.
BOROK (Marah besar)
Waska! Modar!
RANGGONG
Bergurau ada batasnya. Persoalan mati
ini sudah menyangkut persoalan iman, jangan dibikin mainan.
(Setelah
mengambil helm dan tabungnya yang tergeletak di tanah dengan kalem Waska
nggeloyor menuju pesawatnya)
BOROK
Eh, ngeloyor malah. Bisa tambah marah
saya. Dan kalau sampai terjadi saya bisa ngelunjak lantaran ninju karung sperma
bocor yang tua itu, wah bisa menyesal selama-lamanya saya. Sialan. Belum pernah
selama saya menjadi asistennya selama berabad-abad berniat maker. Padahal saya
mampu kalau saya mau. Tapi saya tidak mau. Saya tidak punya niat, karena memang
saya respek sama itu bandot tua. Biar bagaimana pun dia bangkotan kemanusiaan
nomor wahid sepanjang sejarah.
RANGGONG
Tongkrongannya emang kriminil tapi
nuraninya bersih penuh cahaya kebaikan persahabatan manusia.
BOROK
Semangat lelaki tua itu telah
menyelamatkan bermilyar manusia yang putus asa oleh kemiskinan dan kebodohan.
Dia angkat derajat manusia. Dia bangkitkan semangat manusia.
RANGGONG
Dia pahlawan. Saya masih ingat betul
ketika malam itu dia bertarung melawan ajal dan menolak ajal.
BOROK
Saya masih ingat ketika kita berdua
menemui petapa tua di puncak Himalaya untuk menapatkan ramuan obat yang dapat
menangkal ajal dan maut.
RANGGONG
Saya ingat ketika kita merambu jamu
Dadar bayi yang telah menyebabkan kita bertiga kebal ajal.
BOROK
Saya ingat ketika setelah itu kita
serempak secara mendadak bergerak menggedor seluruh toko, supermarket, kantor,
pabrik di seluruh dunia.
RANGGONG
Saya ingat pesta pora itu
BOROK
Saya ingat kemajuan demi kemajuan
RANGGONG
Sementara kita tidak pernah maju
karena kita tidak pernah mati.
BOROK
Dan sekarang setelah kita mati, eh dia
malah rewel. Bikin jengkel lagi.
(Dengan santai di kejauhan kelihatan Waska sedang menyalakan rokok
dan menyedotnya dalam-dalam. Sebelumnya dia minum sesuatu)
BOROK
Dia selalu bikin saya pusing. Dia
selalu memaksa otak saya bekerja. Padahal saya paling malas berpikir. Tapi dia
selalu menggoda.
RANGGONG
Dan sekarang dengan kalem ia sedang
menggoda kita dengan kebimbangan dan kesangsiannya. Sudah jelas kita sudah koit
tapi dia masih juga ngutak-ngatik-ngusik-ngusik mengatakan kita masih hidup.
BOROK
Bisa gampang goyah kalau iman tipis
menghadapi dia.
RANGGONG
Kita malah sekarang sedang goyah.
BOROK
Modar! Saya tidak boleh goyah! Saya
harus tetap yakin bahwa saya sudah mati.
RANGGONG
Tapi dia dengan gayanya yang kayak
celeng berotak jenius, lihat, ia betul-betul sedang menggoyahkan iman kita.
BOROK
Jahat dia, Modar! Cara dia merokok
begitu rupa seperti mengejek keyakinan kita.
RANGGONG
Celakanya lagi dia tiak hanya berpikir
dengan otaknya tapi seluruh dirinya. Bahkan rambutnya ikut berpikir karena
seluruh dirinya memuat begitu banyak disket dengan berbagai program yang tak
terhitung jumlahnya.
BOROK
Bahkan gayanya. Gayanya ikut berpikir.
ngeledek betul dia.
RANGGONG
Mau tidak mau kita terpaksa harus
mengejar mendekati dia. Bagaimana pun dia magnit sementara kita Cuma
sekrup-sekrupnya.
BOROK
Modar!
RANGGONG
Ayo kita dekati dia. Kita ngalah.
BOROK
Saya setuju kita dekati dia, tapi saya
tidak mau ngalah. Kita harus mengalahkan dia. Iman kita harus mengalahkan
imannya. Pokoknya dia harus ngaku bahwa dia sudah mati. Kalau dia nggak mau
ngaku juga bahwa dia sudah mati, paling tidak, dia harus menyatakan bahwa kita
berdua sudah mati.
RANGGONG
Kita coba.
BOROK
Janji dulu.
RANGGONG
Janji
BOROK
Ikrar nih ya!?
RANGGONG
Ikrar.
BOROK
Ayo, tapi jangan lupa tebalkan dulu
iman kita.
(Lalu mereka berjalan menuju tempat Waska tidak jauh dari pesawat.
Helm dan tabung dan lain-lain, mereka tidak sentuh. Lupa ngkali. Begitu sampai
di sana baik Ranggong maupun Borok tidak segera omong. Beberapa saat mereka Cuma
diam saja. dan Waska tetap sayik dengan rokoknya. Sesekali melintas meteor)
WASKA
Bagaimana?
(Ranggong
dan Borok Cuma saling pandang)
WASKA
Sudah yakin sekarang?
BOROK
Sudah. Yakin sekali.
WASKA
Yakin apa?
BOROK
Yakin kita sudah mati.
RANGGONG
Ya Waska, maafkan kami berdua karena
kami terpaksa harus memaksa mulut kamu supaya menyatakan bahwa kita bertiga
sudah mati.
BOROK
Kasarnya kamu harus ngaku bahwa kamu
sudah mati. Terus terang saya tidak mau main kasar dalam hal ini.
RANGGONG
Selama ini kita bersahabat. Hidup
bersahabat, hendaknya mati juga kita tetap bersahabat.
(Waska
tertawa)
BOROK
Jangan paksa saya main tangan, Waska.
Ketika hidup saya memang tangan kanan kamu, asisten kamu. Tapi sekarang status
sedikit banyak berubah pada kita.
RANGGONG
Tolong waska, jangan mendorong Borok,
pembantumu yang setia dan saya yang selalu loyal ini terdorong untuk menghajar
kamu.
(Makin
hebat Waska ketawa. Tak sabar dan tak dapat menahan diri, maka Borok langsung
meninju Waska sampai lelaki tua itu terpental agak jauh. Naumn, Waska tidak
jatuh. Ada darah di mulutnya tapi dia tetap kukuh berdiri. Bahkan rokoknya
masih di tangannya. Dengan tenang dan tersenyum Waska menghapus darah itu.
sementara Ranggong menahan Borok )
RANGGONG
Tahan diri, Borok! Tahan diri! Atau
kamu akan berhadapan dengan saya sendiri!
BOROK
Cara becanda dia kelewatan.
RANGGONG
Jangan lupa, bagaimana pun kita berdua
tidak akan mampu berbuat banyak tanpa dia.
WASKA
Untuk pertama kali saya dipukul anak
buah sendiri. pahit-pahit-manis.
RANGGONG
Maafkan Borok Waska
WASKA
Tentu saja saya harus memaafkan
kalian, kalau tidak, pastilah saya pemimpin kampungan yang bodoh. Apa kata saya
tadi? Pahit-pahit-manis, bukan? Ya, menerima tamaparan dari anak sendiri itu
pahit-pahit-manis. Pahit karena sakit tapi sekaligus manis karena bahagia
menyaksikan keberanian anaknya yang sedang tumbuh menjadi dirinya.
(Tiba-tiba Borok lari menghambur dan mendekap kaki Waska,
sementara Ranggong ikut mengejarnya karena kuatir)
BOROK
Maafkan saya, Waska. Kamu sendiri tahu
tangan saya kadang suka dol.
0 komentar
Posting Komentar