WASKA
Sudah tentu saya memaafkan kamu. Saya
bukan pemimpin bodoh yang tidak berpendidikan. Kamu kira saya pemimpin yang
sakit jiwa yang begitu gampang tersinggung dan selalu punya hambatan psikologis
dalam menghadapi tangan bawahannya?
RANGGONG
Kami selalu kagum kepadamu, Waska.
WASKA
Kalian memang tangan kanan dan kiri
saya.
(Lalu Borok bangkit, malu. Lalu menyerbu dalam pelukan Waska. Erat
pelukan. Ranggong juga menyerbu. Mereka bertiga erat berpelukan)
BERTIGA
Kita adalah tiga batang lilin dengan
warna ungu yang dibakar rindu.
(Saling ketawa mereka, saling senyum mereka. Dan kembali mereka
bersahabat)
WASKA
Sekarang yakinlah saya bahwa kita
belum mati
BOROK
Tolong Waska, jangan mulai lagi.
RANGGONG
Kita bertiga sudah happy forever,
Waska. Tolong dongeng kita jangan diubah endingnya.
WASKA
Tadi kalau kalian mengatakan kasihan
melihat saya. Sekarang saya kasihan melihat kalian. Ikuti saya.
(Lalu Waska membawa mereka ke tempat di mana helm-helm dan lainnya
tergeletak dan dalam-dalam Waska menyedot lagi rokoknya)
WASKA
Apa ini?
(Tanyanya sambil menyepak salah satu helm yang tergeletak)
WASKA
Tahu apa artinya ini?
RANGGONG
Saya tidak mengerti. Apa maksud kamu?
BOROK
Sejak tadi kita tidak pakai helm dan
kita tidak mengalami perubahan apapun. Bahkan kita bisa berkomunikasi langsung,
saling bicara, kita bersuara
BOROK
Modar!
RANGGONG
Tidak mungkin, Waska. Kita sudah mati
sejak pertama kita menanggalkan helm.
BOROK
Dan pertama kali kita menginjakkan
kaki di sini kita sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
RANGGONG
Baru setelah kita mengenakan helm kita
bisa saling mendengar suara kita.
WASKA
Buktinya sekarang kita bisa saling
mendnegar suara kita tanpa bantuan gelombang radio sama sekali. Kita juga
bernapas dengan normal.
RANGGONG
Lalu ketika semula kita tidak bisa
saling mendengar suara kita?
WASKA
Itu semua ilusi
BOROK
Modar!
WASKA
Lapisan udara di sini rupanya sudah
ebrubah tanpa kita ketahui. Sekitar sini ternyata sudah mulai dipenuhi udara
sekalipun masih terasa agak pengap.
RANGGONG
Tidak mungkin Waska. Jangan bilang
begitu, Waska.
BOROK
Jangan patahkan harapan saya Waska.
Modar!
WASKA
Masih banyak bukti lain. Tapi bukti
darah yang muncrat dari gusi saya karena ditinju Borok cukup kuat untu
menyadarkan kita akan kondisi kita sebenarnya.
RANGGONG
Jadi betul-betul kita belum mati?
BOROK
Modar!
WASKA
Apa boleh buat kita harus menerima
kenyataan pahit ini. Kita memang masih hidup.
RANGGONG
Sial! Sial!
BOROK
Modar! Kok kita nggak mati-mati sih!
(Keduanya menangis. Menangis tua)
BOROK
Kita sudah capek!
RANGGONG
Kita sudah di atas kegilaan yang
paling gila!
BOROK
Tahu begini, lebih baik saya kerja
paksa di Siberia!
RANGGONG
Atau dipanggang di padang Sahara!
(Keduanya menangis sedih sekali, menangis tua. Waska sekuat tenaga
menahan keharuannya. Lalu fade in bunyi gelombang-gelombang radio. Dan fade in
suara nyanyian yang merdu itu. lalu fade in)
SUARA GAYAH
Waska!
(Waskapun
segera bangkit mencari arah suara itu)
SUARA GAYAH
I Love you, Waska!
(Waska
masih mencari arah suara itu. dan lalu suara nyanyian lagi)
RANGGONG
Satu-satunya harapan ada di bumi. Kita
sebaiknya kembali ke sana!
BOROK
Buat apa? Di sana kita akan semakin
tersiksa oleh kekosongan ini!
RANGGONG
Kita cari monyet tua itu. Albert
Tambayong, petapa tua itu. wiku. Wiku. Empu yang arif itu. dari dia dan
istrinya kita mendapatkan formula obat penangkal ajal. Maka bukan mustahil kita
bisa mendapatkan dari ia formula lain yang mampu membunuh kita.
WASKA
Ya, sejak tadi saya juga sedang
berpikir tentang petapa tua dan istrinya itu. saya curiga ini semua ulah
mereka.
BOROK
Modar! Kemana kita akan mencari
mereka?
RANGGONG
Seperti dulu kita temui mereka. Di
salah satu desa di puncak Himalaya
BOROK
Modar!
WASKA
Kita kembali ke bumi!
(Serentak
semua lampu padam. Layar turun untuk istirahat)
BABAK DUA
(Suatu padang pasir yang sangat amat kering dengan lengkung tajam
lereng sebuah bukit karang yang sangat amat tandus. Kelengangan seolah
bertambah lantaran cahaya yang sangat terang dan menyilaukan. Di sana-sini
kelihatan beberapa batang pohon tua yang hangus di samping puing yang berserak
tanda sisa suatu peradaban yang telah punah. Tak ada sama sekali tanda-tanda
kehidupan kecuali pada satu dua bongkah tanah keras yang ditumbuhi rumput
jarang-jarang kering dan liar.
Itulah yang akan disaksikan penonton ketika babak ini dimulai. Dan
biarkan beberapa saat mereka meneliti pemandangan dari suatu alam serta
kebudayaan yang telah hancur.
Fade in kedengaran pusingan angin putting beliung. Saat demi saat
dengung angin itu bertambah besar serta seram kita dibuatnya. Dan debu kering,
pasir kering, kayu-kayu kering serta sampah kering beterbangan begitu muncul
angin dahsyat itu berpusing-pusing . Cahaya pun segera menjadi keruh)
OS NINI
Wiku! Wiku!
(Terdengar lirih seru suara perempuan tua di sela-sela gemuruh
desau angin. Tidak lama kemudian terbang
berlawanan arah dua ekor burung Condor dengan suara seraknya. Dari suatu puncak
yang tak jelas lantaran deru debu muncul Nini, petapa perempuan tua)
NINI
Wiku! Wiku! Albert! Albert! Amin!
Amin! Wiku!
(Ia menuruni lereng sambil terus menyerukan nama suaminya. Tapi tidak
ada sahutan sama sekali. Burung pemakan bangkai tadi kini menjauh serta
menyayupkan suaranya)
NINI
Wiku! Albert! Amin! Tambayong!
(Dekat
puing juga ia tak mendapatkan sahutan. Juga ia tidak menemukan siapa-siapa
ketika memeriksa gundukan tanah keras)
NINI
Wiku!
(dan angin pun reda. Desinngnya menyayup ketika Nini berdiri
setengah putus asa digundukan tanah bercampur puing yang lain. Ia masih tetap
berdiri sambil terus meneliti sekitar lembah sementara cahaya yang panas
menyilaukan kembali menggelarkan kekosongan dan uap. Udara masih sedikit keruh)
NINI
Bandel! Bandel!
(katanya setengah menangis sambil duduk. Tubuhnya berselaput debu)
NINI
Lelaki tua yang bandel. Badung! Sudah
saya bilang jangan pergi jauh-jauh. Jangan lama-lama. Waktu tak menentu. Semua
segala kacau balau sekarang. Kita harus hati-hati. dia belum makan siang lagi.
Pasti masuk angin dia.
(menangis ia. Betul-betul menangis)
OS WIKU
Ni! Ni!
(Sayup
samar terdengar suara tua memanggil-manggil nama itu. tapi Nini masih menangis
karena tak mendengarnya)
OS WIKU
Ni! Ni!
(Berhenti menangis Nini. Ia mulai mendengar panggilan itu. ia
berdiri)
NINI
Wiku!
OS WIKU
(masih lirih, sayup)
Ni!
(Diamatinya
sekitar tapi Nini tetap tak tahu darimana asal suara kekasihnya)
NINI
Kamu di mana sayang?
OS WIKU
Di sini!
NINI
Di sini di mana?
OS WIKU
Coba dengarkan baik-baik.
(Lalu kedengaran bunyi batu yang dipukul-pukulkan pada sesuatu.
Nini dengan kekuatan pendengarannya yang masih penuh dalam ketuaannya, Nini
tekun meneliti mencari sumber bunyi yang makin jelas itu)
NINI (dengan volume yang tepat dan hati-hati)
Wiku
OS WIKU (Makin Jelas)
Saya di sini, sayang. Di bawah puing.
NINI
Puing yang sebelah mana?
OS WIKU
Tidak jauh dari tempat kita menemukan
mayat Goldwater kemarin
NINI (ngeh sekarang)
Oh, Wiku
(Segera
Nini mengais-ngais pasir kering dan sampah yang menggunduk tidak jauh dari sisa
tembok tua yang hangus)
NINI
Nah, uni upahnya anak nakal. Kamu
memang badung, untung saya datang tepat waktu. Kalau tidak, bagaimana coba?
Celaka kamu. Kamu tidak akan bisa makan. Mau makan apa?
(Perempuan
tua yang hampir seperti batu itu betul-betul luar biasa. Walau tua namun tetap
perkasa. Dengan susah payah akhirnya berhasil juga Wiku yang juga purbani itu
dikeluarkan dari lubang yang bertimbun puing, sampah dan pasir karang)
WIKU
Segar. Segar.
(Serunya
sambil senyum lebar. Kayak bangun tidur saja)
NINI
Segar?
WIKU
Ya, segar sekali
NINI
Mulai pikun kamu?
WIKU
I am not! Tuaku, tuamu, tua kita tua
perkasa!
NINI
Kalau tidak pikun ya sakit jiwa
(Wiku
menyanyi sambil membersihkan pakaian dan tubuhnya)
NINI
Betul-betul Schizoprenia!
(dengan gerundelan Nini ikut membantu suaminya membersihkan
pakaian dan rambutnya. Wiku terus saja menyanyi gembira)
NINI
Penyakit abad 20 jangan di bawa-bawa
ke sini. Kacau lagi nanti. Itu kebudayaan jungkir balik! Yang putih dibilang
hitam, yang betul dibilang salah.
(Seperti sedang menghirup udara segar pagi hari, Wiku
mengembangkan ke dua lengannya lebar-lebar)
NINI
Nah, baret sedikit. Mudah-mudahan
tidak infeksi.
(Katanya sambil mengobati luka itu dengan ludahnya)
WIKU
Kamu bilang apa tadi? Saya akan
kelaparan kalau saya tidak bisa keluar dari lubang itu?
NINI
Ya. Mau makan tanah?
WIKU
Oho, oho, nee! Di sana saya menemukan
sejenis akar yang lembut sekali dan….? Itu yang lebih sensasional. Sejenis
cacing yang juga sangat lembut.
NINI
Oh ya?
WIKU
Ya, Sayang.
(Lalu Nini menghamburkan diri ke dalam pelukans suaminya yang siap
menerima dengan cintanya yang tanpa batas)
NINI
Alhamdulillah.
WIKU
Dua tanda harapan di tengah kehancuran
planet bumi yang malang ini.
NINI
Ini pasti berita yang menggembirakan
hati Sandek muda.
WIKU
Seharusnya ini jadi headline besar di
semua Koran di dunia.
NINI
Tapi dunia tidak lagi punya Koran.
WIKU
Semua kota hancur. Semua Negara hancur.
Dunia sedang dalam kehancurannya. Bumi hangus kering dan melepuh. Semua
manusia, semua bangsa punah sudah.
(Nini segera menutup mulut suaminya dengan jemarinya yang
berkeriput tapi lentik itu. dan segera suasana tiba-tiba jadi berubah)
NINI
Tidak baik kita katakana lagi semua
itu.
(Wiku menganggukan kepala)
NINI
Tidak perlu kita timbuni kesedihan ini
dengan kata-kata sedih.
WIKU
Tapi tetap saja saya tidak bisa
berhenti menyesal. Saya menyesal. Saya menyesal. Sedikit banyak semua
kehancuran ini disebabkan oleh saya.
NINI
Kamu bilang apa dulu? Ketika ada
orang-orang yang memaksa kita member formula Jamu Dadar Bayi, ramuan penangkal
ajal, dan kemudian saya menangis sedih sekali? Apa yang kamu bilang dulu? Tugas
semesat lebih berat dari kita.
(Wiku hanya terpatung oleh penyesalannya)
NINI
Ayolah, jangan beku hanya lantaran
kesedihan. Jiwa manusia lebih keras daripada kamu, kamus erring bilang kalau
saya sedang murung” Senyum dong. Senyum”.
(Wiku masih terpaku. Tanpa diketahui mereka, di belakang mengintip
Wanara yang sangat berhaja setengah telanjang itu)
NINI
Tugas kita masih banyak. Mayat-mayat
masih banyak yang mnunggu tangan kita untuk menguburkan mereka.
(Wiku tersadar dan bangun dari kesedihannya)
NINI
Ternyata tidak sedikit mayat-mayat
Asia sekalipun sebagian besar, mereka tidak terlibat dalam perang yang fatal
itu.
WIKU
Saya jadi ingat mayat kepala suku itu.
begitu rupanya, hingga saya kagum akan kegagahannya saya jadi lupa
menguburkannya
NINI
Kalau begitu, ayolah kita kembali
bekerja
WIKU
Moga-moga arwahnya sudi mmaafkan saya
NINI
Ayolah.
(Begitu mereka bergerak, Wanara lari sembunyi)
WIKU
Kamu ternyata lebih perkasa dari saya.
NINI
Dan kamu ternyata lebih perasa dari
saya
(Dan begitu
mereka meninggalkan tempay itu, muncul Wanara. Sebentar tengok ke kiri dan
kanan lalu berjalan ke tempat orang-orang tua tadi bicara. Hewankah ia? Bukan.
Manusiakah ia? Entah. Segera ia sembunyi ketika mendengar suara-suara orang datang)
0 komentar
Posting Komentar