Empat
DI DESA, KELUARGA MADEKUR
MENEMPATI BALE PERTAMA DAN KELUARGA TARKENI MENEMPATI BALE KEDUA. ADEGAN DI
BAWAH INI ADEGAN DUET, AYAH MADEKUR BERDUET DENGAN AYAH TARKENI, IBU DENGAN
IBU, MADEKUR DENGAN TARKENI
AYAH & AYAH
Tidak mungkin, tidak mungkin
IBU & IBU
Tapi
AYAH & AYAH
Coba, kamu bisa membayangkan apa
kata orang-orang seluruh desa ini kalau Madekur / Tarkeni kawin dengan Tarkeni
/ Madekur. Aib, aib. Betapa sia-sianya dia kerja payah-payah di Jakarta. Kamu
mimpi apa semalam?
IBU & IBU
Saya kira nggak mimpi apa-apa
AYAH & AYAH
Saya kira! Tidak mungkin kamu nggak
mimpi apa-apa. Pasti kamu mimpi, hanya kamu lupa. Kalau kamu mau mengingat-ingat
pasti kamu akan menjerit karena ternyata kamu mimpi buruk
IBU & IBU (Menjerit)
AYAH & AYAH
Kenapa?
IBU & IBU
Ya, saya mimpi
AYAH & AYAH
Nah, apa kata saya!? Kamu pasti mimpi
mandi di kubangan Haji Bakir.
IBU & IBU
Bukan. Saya kira dalam mimpi itu
saya mandi di comberan di … saya kira…. Dekat pelabuhan di Cirebon.
AYAH & AYAH
Di comberan? Di dekat pelabuhan?
Kamu tahu comberan dekat pelabuhan artinya air kotoran orang seluruh jagat
bertemu jadi satu dan itu berarti mempunyai takwil yang bukan saja buruk tapi
aib setebal tahi kerbau!?
IBU & IBU
Ya, saya ingat. Tahi kerbau.
AYAH & AYAH
Sudah pasti, kemudian kamu
megap-megap hanyut….
IBU & IBU
Nggak. Kemudian saya terbangun
karena asma saya.
AYAH & AYAH
Persetan! (Pada penonton)
pernahkah Anda bayangkan anak anda kawin dengan seorang pelacur / copet? Sudah
tentu Anda pernah sekali membayangkan hal yang jelek-jelek kalau pikiran Anda
sedang gurem. Tapi saya percaya pikiran Anda ssaat ini cukup jernih untuk ikut
merundingkan soal ini. Anda punya seorang anak. Bukan main senang bahagia
ketika melayani dia ketika kecil sebab banyak boneka. Siang malam kita melayani
dia, lalu kita sekolahkan dengan harapan dia kelak menggantikan kita, menjadi
kebanggaan kita, jadi raja kek kalau bisa. Tiba-tiba setelah dewasa, punya
pekerjaan, punya penghasilan yang lumayan dia datang keapda kita mengutarakan
niatnya akan kawin dengan seorang pelacur / pencopet. Buat saya yang tidak
punya penyakit jantung hal itu tidak begitu membahayakan jiwa, dan saya bisa
secara jernih menimbang dan merundingkan dan meyakinkan, tapi buat yang
berpenyakit jantung? (Kepada istrinya) tidak, tidak – kamu jangan
sekali-kali membantu dia untuk memaksa saya mengambil keputusan gila
IBU & IBU (Pada penonton)
Pada satu hari, anak saya berkata
pada saya “ Bu, saya pengen pergi ke Jakarta”
AYAH & AYAH
Siapa pun tahu di Jakarta orang
bisa jadi apa saja, bahkan menjadi presiden sekali pun.
IBU & IBU
Tapi yang pertama kali saya
pikirkan bukan itu. Saya takut anak saya tertubruk mobil, karena kata orang di
sana lebih banyak mobil daripada pohon kelapa.
AYAH & AYAH
Saya tahu betul di dalam benak
kepala anak saya berkumpul seluruh impian termasuk di dalamnya impian-impian saya.
IBU & IBU
Saya kira siapa pun lebih senang
mati di tanah sendiri.
AYAH & AYAH
Tapi tak ada orang yang sempat
memilih tempat buat dia mati.
IBU & IBU
Selain itu saya kira di sini pun
dia akan bisa besar, berkeluarga dan mati.
AYAH & AYAH
Saya punya cerita. Anak tetangga
saya, Fadoli namanya. Saya belum pernah melihat anak yang lebih bodoh dari dia,
sekali pun ayahnya termasuk orang penting di desa ini. Walapun saya tidak
pernah diberitahu tapi saya tahu ketika sekolah rakyat anak saya mendapat penghasilan
dari Fadoli karena ikut merampungkan pekerjaan menghitungnya. Ketika sekolah
menengah ia dikirim orang tuanya ke Jakarta, tiggal bersama pamannya. Dan
beberapa minggu yang lalu ia dan keluarganya mampir ke desa ini. Semua orang di
desa ini ternganga melihat anak sebodoh itu bisa punya mobil. Saya tidak tahu
persis jadi apa ia, tapi yang pasti ia orang penting. Nah, sekarang gampang
diduga apa yang ada dalam kepala saya ketika anak saya bilang mau ke Jakarta.
Segera saya bilang kepadanya: pergilah anakku. Selamat berjuang! Ya, saya kira
saya sangat bijaksana waktu itu. Dan memang Jakarta medan juang yang paling gampang
karena musuh kita di sana cuma sesama, sedangkan di sini musuh kita semata-mata
alam dan kita hanya memiliki satu pacul untuk sebelas petak.
IBU & IBU
Di sana terlalu banyak orang, dan
saya tidak bisa membayangkan darimana mereka bisa makan. Saya selalu
membayangkan di sana banyak orang makan orang. Saya punya cerita. Anak tetangga saya Rogayah namanya. Saya belum
pernah melihat anak yang lebih pintar dari dia, sekalipun orang tuanya buta
huruf. Beberapa tahun yang lalu, setelah lepas sekolah menengah ia pergi ke
Jakarta. Seperti umumnya banyak orang ia ke sana dengan ijazah sekolahnya dan
cita-cita sederhana. Setahun lamanya dia cari pekerjaan dan tidak pernah
berhasil, sehingga tentu saja bibinya pada siapa ia numpang makan semakin
bermuka kecut. Pada tahun kedua ia minta diri bibinya untuk kembali ke desa
ini, tapi sebenarnya ia tidak pernah kembali. Beberapa bulan putus hubungan
antara Rogayah dengan keluarganya. Sampai pada suatu hari seluruh orang desa
ini gempar ketika seorang pemuda membawa selembar Koran di mana termuat mayat
Rogayah. Saya dengar ada belati di perutnya dan rupanya sebelum peristiwa naas
itu ia telah mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dari sebuah
keluarga orang kaya.
AYAH & AYAH
Cerita serupa itu tidak perlu di
Jakarta. Beberapa bulan lalu di Toangan dekat jembatan sana kami menemukan
mayat. Pendek kata Jakarta adalah jalan pendek. Dan nyatanya?
IBU & IBU
Memang hanya beberapa bulan saja
kemudian Madekur/Tarkeni anak saya kembali terbungkus pakaian yang sangat bagus
yang kami sendiri tidak pernah mampu membelinya. Benar-benar hari itu hari yang
bahagia buat kami. Oh, gusti saya tidak pernah memimpikan anak saya segagah dan
secantik itu.
AYAH & AYAH
Ya, dan sebelas perut ditambah dua
perut kami benar-benar buncit saat itu.
IBU & IBU
Ia membelikan saya seperangkat
pakaian.
AYAH & AYAH
Ia membelikan saya sehelai kain
palekat cap delima buatan Tasik, di samping sebuah korek api yang sangat bagus.
Sampai sekarang korek api itu tidak pernah saya pergunakan. Saya simpan saja
dan saya pajang sebagai hiasan di lemari.
IBU & IBU
Ya Gusti, ia mengenakan arloji
emas dan cincin emas.
AYAH & AYAH
Ya, dan sekarang akankah ia kita
biarkan memilih jalan yang salah kawin dengan seorang pelacur/pencopet? Apakah
akan kita biarkan ia melumuri wajahnya dengan Lumpur aib seorang
pelacur/pencopet?
IBU & IBU (Kepada Suami)
Tapi ia bilang, ia cinta
AYAH & AYAH
Tidak kurang gadis/jejaka di desa
ini untuk dicintai. Dan demi segala kehormatan saya tidak akan mau dan sudi
berhubungan keluarga dengan keluarga jahanam itu. Sebelum lahir saya sudah
membenci keluarga yang sok suci itu. Tingeling!
IBU & IBU
Lalu?
AYAH & AYAH
Kau tinggal saja di sini, saya
kira akan bicara sendiri dengan anak itu.(Perempuan itu akan bangkit
kembali) Diam di sini!
LALU AYAH DAN AYAH PERGI KELUAR
Lima
IBU & IBU (Kepada Penonton)
Yang paling sulit adalah….
IBU II (pada yang lain)
Kamu duluan deh.
IBU I
Yang paling sulit adalah kedudukan
ibu. Siapa pun tahu tidak gampang memilih pihak, lebih-lebih semua pihak
sama-sama berarti dan dicintai dan celakanya adat hidup selalu menjatuhkan kita
pada salah satu pihak sekalipun kita tidak menjatuhkan pilihan alias kita tidak
bisa lepas dari kedudukan sebagai korban. Karena itu sekali waktu kita
menganggap menjatuhkan pilihan adalah yang terbaik dalam hidup ini, sebab kita
memerlukan kepuasan memiliki hak memilih sebagai kompensasi atas kesia-siaan
kita.
IBU & IBU
Secara pribadi saya punya
pendirian lain dengan suami saya
IBU I
Yang penting buat saya anak saya
senang, biarlah dia kawin dengan siapa pun yang dia maui kalau memang sudah
merupakan jodohnya. Coba saja meskipun kita ngotot dalam hal ini pasti anak
saya yang akan keluar sebagai pemenang, karena dalam zaman ini kedudukan anak
sedang mendapat angin. Selain itu, saya belum yakin benar bahwa Tarkeni menjadi
pelacur di Jakarta seperti yang dibisikan banyak orang. Juga saya demikian
terharu mengetahui betapa anak saya yang sejak kecil diam-diam mencintai
Tarkeni.
IBU II
Pernah suami saya memergoki mereka
sedang jalan berduaan di pematang sawah dekat pekuburan Ki Kede dan tanpa
komentar suami saya menyeret Tarkeni pulang. Di dapur, suami saya mencambuk Tarkeni
dengan ikat pinggangnya yang setebal telapak tangan. Bagaimana tangis Tarkeni
tidak perlu diceritakan.
IBU I
Keluarga itu sudah bebuyutan,
sudah sedemikian tua permusuhan kami sampai kami sendiri tidak pernah tahu
duduk masalahnya.
IBU & IBU
Satu-satunya yang kami tahu sejak
kecil adalah kami bermusuhan
IBU II
Ada seorang paman kami pernah
mencoba menjelaskan kenapa kami bermusuhan . pada suatu malam pada bulan puasa,
kakek kami ketika masih perjaka
berkelahi dengan kakek mereka di pekarangan
mesjid. Persoalannya kakek kami dan kakek mereka sama-sama jatuh cinta kepada
seorang gadis, kalau tidak salah ingat gadis itu dari keluarga moyang mang
Miskak juru kunci mesjid. Siapa yang menang sudah pasti kakek kami karena paman
bilang itu kakek jago silat. Hanya sayangnya nasib berkata lain, sehingga
dua-duanya tidak sempat mengawini gadis itu lantaran tergesa meninggal. Nah,
sebenarnya bisa saja kemudian sama-sama saling menuduh telah berbuat jahat
terhadap sang gadis. kakek kami menuduh kakek mereka telah mengirimkan
guna-guna agar gadis itu terpaut hanya pada hatinya, tapi agaknya salah mantra
sehingga menyebabkan gadis itu malah meninggal secara mendadak.
IBU I
Seorang paman kami pernah
bercerita bahwa sebenarnya moyang kami pernah besanan dengan moyang mereka.
Jelasnya buyut kami pernah satu tempat tidur dengan salah seorang buyut mereka,
tapi lantaran buyut perempuan mereka terbukti serong dengan laki-laki lain,
maka buyut kami menjatuhkan talak tiga sekaligus terhadap buyut perempuan
mereka (dengan gaya mengucapkan rahasia) memang keluarga mereka keluarga
gampang gatel.
IBU II
Sedangkan salah seorang bibi kami
pernah menceritakan bahwa pada suatu hari jumat… (Kesal dengan ceritanya
sendiri)
IBU I
Sedangkan salah seorang uwak kami
pernah menceritakan bahwa pada suatu hari Sabtu…. (Kesal dengan ceritanya
sendiri)
IBU & IBU
Pendeknya begitulah. Sekarang saya
sudah saatnya saya harus berusaha menimbun lobang permusuhan bebuyutan ini
sebab kita sama-sama tidak menghendaki akhir Romeo dan Juliet terulang dalam
sandiwara ini. Jadi, sekali lagi, saya tidak berkeberatan anak-anak saya kawin
dengan anak-anak mereka, meskipun saya akan lebih senang kalau anak saya bisa
memilih jodoh yang lain (bersemangat) tidak. Tidak. Saya harus berani
mengutarakan pikiran saya blak-blakan kepada suami saya kalau memang anak saya
berani membujuk suami saya supaya berubah sikap, lantaran toh akhir sandiwara
ini mereka akan kawin juga.
0 komentar
Posting Komentar